Saturday, May 07, 2016

Captain America: Civil War (2016)

Intisari.

Mereka yang sudah mengenal saya mungkin akan ingat betapa saya cenderung membela film-film besutan DC. Memang sedari dulu, apabila topik DC vs Marvel muncul, saya selalu (mungkin sampai nanti) mengambil posisi di kubu DC. Sayangnya, untuk urusan film, DC tidak punya Kevin Feige dan pula saya yakin meski Marvel sudah membayar mahal untuk jasa Feige, saya pikir masih terlalu murah. Ini bukti betapa hebatnya Feige membawa segerombolan superhero menyatu di dalam satu cerita. Lebih dari itu, Feige juga cukup piawai untuk memastikan aktor-aktornya tidak kabur setelah satu atau dua film. Itu Robert Downey Jr. bisa saja minta gaji berlipat-lipat dari yang ia terima sekarang untuk main di film-film Avenger berikutnya.

Ini satu hal yang coba ditiru oleh DC. Sayang, sampai sekarang usaha itu sepertinya tidak (belum?) membuahkan hasil.

Meskipun agak berat untuk saya akui, "Civil War," pada saat tulisan ini dibuat, bukan hanya film paling terkini di dunia film Marvel, tapi juga yang terbaik. Mungkin hanya trilogi Batman-nya Nolan yang jelas superior secara kualitas dari film ini. Benar-benar top.

Pembandingan yang tak terelakkan.

"Civil War" dibangun di atas ide bahwa superhero, meskipun dengan niat yang mulia untuk menyelamatkan umat manusia, dalam proses-nya menuju ke sana akan mengakibatkan kehancuran yang mungkin menyebabkan orang-orang yang tak bersalah ikut menanggung akibatnya. Mereka yang kehilangan orang-orang tercintanya akibat ulah superhero ini, lagi, meskipun mereka punya tujuan yang mulia, sudah pasti akan menyalahkan para superhero ini. Bahkan seorang yang paling logis sekalipun akan kehilangan akal sehatnya ketika orang yang dicintainya terenggut dengan paksa dari sisinya. Begitu ceritanya.

Ide ini, mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, sudah dijelajahi oleh "Dawn of Justice" yang dirilis tidak lama sebelum ini. Dua bulan? Di "Dawn of Justice," ide ini disampaikan melalui kacamata seorang Bruce Wayne ketika dia berlarian di antara reruntuhan kota Metropolis, mencoba untuk menyelamatkan pegawainya ketika dua orang Dewa bertempur dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa di langit kota Metropolis. Di akhir adegan ini, Bruce Wayne, merengkuh seorang anak kecil yang kemungkinan kehilangan orang tuanya di antara puing puing gedung yang hancur, menatap ke angkasa dengan penuh angkara ke arah dua Dewa yang menurutnya, bertempur tanpa mengindahkan kehidupan manusia di sekelilingnya. Ini sebetulnya adegan yang bagus. Efektif. Saya suka bagian ini.

Di "Civil War," ide yang sama ini dirpresentasikan oleh Daniel Brühl yang di film ini memerankan lakon penjahat utama. Karakternya kehilangan keluarganya di even cerita "The Avengers: Age of Ultron." Di sini, alih-alih murka, dia berbincang pelan, namun penuh dengan emosi dan kesedihan yang memdalam dengan Chadwick Boseman tentang keputusan yang dia ambil. Keputusannya ini makin diperkuat dengan adegan singkat yang sejenak menyorot layar handphone-nya.

Kalau adegan Metropolis di "Dawn of Justice" saya sebut sebagai adegan yang efektif, adegan "Civil War" ini langsung menonjok muka, mencabik-cabiknya dan kemudian menyebar serpihannya ke empat arah mata angin. Karakter Daniel Brühl mungkin tidak memiliki kekuatan super, tapi itu justru membuat karakternya makin menarik dan membuat saya tanpa ragu menempatkan karakternya sebagai lakon penjahat utama terbaik dari film-film Marvel. Mungkin kedua setelah Joker-nya Heath Ledger.

Perbedaan yang cukup mencolok lainnya dari kedua film ini, berkaitan dengan ide dasar yang melandasinya, bahwa jika di "Dawn of Justice," Bruce Wayne yakin bisa mengalahkan Dewa, di "Civil War," karakter Daniel Brühl tahu bahwa dia tidak akan sanggup mengalahkan para Dewa. Dari sini, lahir kepahaman, dan dari situ, kebijaksanaan. Ini memberikan "Civil War" sisi yang sangat manusiawi ketimbang "Dawn of Justice" yang lantas menjadikannya film yang jauh lebih baik darinya.

Padat. Tapi mengalir.

Tak bisa dipungkiri, ketika sekumpulan superhero dikumpulkan dalam satu film, akan ada banyak hal yang harus dirangkai. Selain kebutuhan untuk memajukan alur dengan wajar, film ini juga harus meluangkan waktu untuk mengenalkan Black Panther dan mengenalkan kembali Spider-Man. Pun demikian, saya cukup senang dengan bagaimana akhirnya film ini mengeksekusi transisi antar plot dan adegan aksi yang menyertainya. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada adegan aksi yang tiba-tiba muncul tanpa konteks seperti adegan Batman di masa depan pada film "Dawn of Justice." Semuanya pas. Adegan keroyokan di bandara yang digadang-gadang di trailer film ini pun rupanya bukan adegan terakhir meskipun secara kuantitas paling banyak pesertanya.

Adegan bandara ini benar-benar dibangun dengan sangat baik. Meskipun tokoh yang terlibat di situ lebih banyak dari jari di kedua tangan saya, setiap orang dapat spotlight yang cukup dan tidak bertele-tele. Dan yang paling penting, gampang diikuti. Semua kru yang membidani adegan ini, mulai dari penulis, perancang set, aktor, stunman, sampai sutradara layak diacungi jempol karena memang layak dihadiahi jempol.

Lagi, meskipun agak tidak terima, saya pikir setelah film ini, DC mendingan tidak usah terlalu ngoyo untuk mengumpulkan superhero-superhero mereka di satu film. Kecuali mereka bisa mencari orang seperti Kevin Feige. Damn, untuk urusan membangun Movie Universe, Marvel benar-benar sukses meng-KO DC.

Kok bisa Captain America jadi keren gini?

Ketika "The First Avenger" diumumkan, rasa ingin tahu saya tergelitik. Saya benar-benar penasaran waktu itu tentang bagaimana Captain America dibawa ke film. Menurut saya, Captain America ini superhero yang membosankan. Hampir seperti Superman. Saya cenderung mengasosiasikan Captain America sesuai dengan nama yang disandangnya. Patriotik, heroik, selalu menjadi contoh yang baik karena yah, dia merupakan representasi dari nilai-nilai yang menjadikan Amerika sebagai Amerika yang ideal. Tidak ada abu-abu di visinya. Hanya Hitam, dan Putih. Benar, dan Salah. Tidak ada ambigu dalam pilihan yang diambilnya. Selalu yang "benar."

"The First Avenger," sejauh yang bisa saya amati, tidak pernah mengubah karakter Captain America yang saya pahami selama ini. Dan di luar dugaan saya, menjadi film yang sangat menghibur.

Lalu kemudian "The Winter Soldier" muncul. Sebelum "Civil War," "The Winter Soldier" mungkin salah satu film terbaik dari Marvel Cinematic Universe. Saya suka ide-nya yang simpel, mengenai privasi yang di dunia nyata, paska Snowden, merupakan isu yang semakin relevan. Saya juga lebih menyukai pendekatan berantem tangan kosong yang mungkin akan menjadi trademark dari Captai America.

"Civil War" masih ajeg mengikuti aturan-aturan ini dan dieksekusi dengan lebih baik. Berantem tangan kosong? Cek. Ide yang sederhana? Yah, mungkin tidak sesederhana itu, tapi Cek.

Banyak yang bilang bahwa Robert Downey Jr. tidak tergantikan sebagai Iron Man. Yap, dia memainkan karakter Iron Man dengan SANGAT BAIK. Begitu baik bahkan sampai-sampai bisa dianggap bahwa sesungguhnya Tony Stark terinspirasi oleh Robert Downey Jr. Namun ini justru menjadi bumerang buat saya karena begitu Iron Man pertama lewat, kita sudah tidak bisa lagi membedakan RDJ dengan Tony Stark sehingga di film-film berikutnya, karakternya cenderung jalan di tempat.

Beda dengan Chris Evans. Secara kualitas akting Chris Evans mungkin tidak sebaik RDJ tapi ini justru menjadi kekuatan dia. Saya bisa melihat bagaimana Chris Evans, juga Steve Rogers, karakter yang ia perankan, menjadi lebih baik dari film ke film. Sampai-sampai kita bisa merasakan bagaiman Steve Rogers (dan Chris Evans) menjadi makin dewasa dan makin bijak dari film ke film. Saya sungguh menikmati perkembangan karakternya.

Dalam hal ini, saya pikir tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa lebih dari RDJ, buat saya justru Chris Evans yang perannya sebagai Captain America sulit tergantikan.

Berikutnya?

Kita sudah berada cukup jauh di dalam Marvel Cinematic Universe. Jadi, meskipun saya pikir kecuali Marvel memelankan tempo dan membuat skope film berikutnya lebih kecil akan sulit menyamai kualitas "Civil War," apapun yang terjadi, kecuali Marvel benar-benar membuat blunder yang super besar, kita akan tetap berbondong-bondong ke bioskop untuk mengetahui kelanjutan cerita dari Marvel Cinematic Universe.

Monday, April 11, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016)

Jeblog.

Oookay... mari kita bicarakan yang pahit-pahit dulu tentang film ini. Dianggap "gagal" oleh kritikus, dan meskipun sukses di box-office pada minggu pertamanya, mencetak rekor tekor pada minggu kedua (drop 69%) yang bisa dilihat sebagai indikasi bahwa meskipun film ini mampu menarik minat penonton pada tayangan perdananya, sepertinya banyak juga yang jiper dan lebih memilih untuk nunggu donlotan atau DVD bajakannya setelah mendengar respons dari penonton yang melihatnya di minggu pertama.

Basically, saya bisa mahfum dengan kenapa film ini dianggap jeblog secara kualitas. Pun demikian, saya tidak akan membahas tentang itu lagi karena toh para kritikus profesional sudah banyak yang mewakili suara saya. Alih-alih demikian, saya akan mencoba menulis tentang kenapa saya malah terhibur dengan film ini dan pada akhirnya tidak berkeberatan dengan prospek Zack Snyder menyutradarai superhero DC berikutnya.

Batman v Superman. Risky.

Ketika mereka pertama kali mengumumkan niatan untuk membuat film "Batman vs Superman," pikiran pertama yang terlintas di kepala saya adalah, "Okay, gw tertarik, tapi gw gak akan berharap banyak." Because really, if you are going to collide two of the biggest superheroes in DC universe, you are going to have a lot of small things that could go wrong and would fuck up the entire movie. Ditambah, DC punya niatan untuk catching up dengan Marvel dan berniat untuk membuat film ini sebagai pengenalan untuk film keroyokan superhero DC a la "The Avengers." Because, D-U-I-T.

So, jadilah, film yang menceritakan dua bintang besar, ditambah ada kebutuhan untuk menyisipkan cerita-cerita "mini" di dalamnya supaya nanti kalau film keroyokannya jadi muncul bisa dibilang "make sense," dalam sebuah kerangka cerita yang kalau bisa gak lebih dari tiga jam. Wajarlah kalau akhirnya saya, pada awalnya, tidak terlalu berharap banyak dari film ini.

Messy, yes, but also, Fun.

Ada hikmahnya karena ternyata saya cukup senang dan menikmati film ini. Yes, it is still a mess, beberapa kunci plot disederhanakan sedemikian rupa sehingga terlihat bodoh di film (kepentingan durasi tentunya), tapi "fun" factor yang diberikan oleh film ini ternyata cukup tinggi. Paling tidak itu yang saya rasakan.

Film ini dimulai (lagi-lagi) dari masa kecil Batman. Agak susah untuk menikmati bagian ini karena sudah terlalu sering diulang dan sepertinya setiap film Batman (dengan bintang baru) jadi seperti punya kewajiban untuk mereka ulang adegan matinya kedua orang tua Bruce Wayne. Saya begitu tidak nyaman dengan adegan ini sampai saya harus mengatakan ke diri sendiri kalau-kalau siapa tahu Snyder mengubah adegan ini dengan slow-motion ciri khas dia dan bisa paling tidak menyamai setengah dari kualitas adegan pembuka Watchmen. I was right about the slow-motion part, but I was wrong about it being half as good as Watchmen's opening sequence.

Tapi kemudian, adegan berikutnya, ketika Bruce Wayne berlarian di antara kota reruntuhan kota Metropolis sementara Superman dan Jendral Zod berantem di angkasa, mampu membayar ketidaknyamanan saya terhadap adegan pembuka barusan. Adegan ini, menempatkan seorang manusia biasa (meskipun Bruce Wayne, super kaya, super atletis, tak bisa dibilang sebagai manusian "biasa") di tengah kerusakan yang ditimbulkan oleh dua makhluk luar angkasa yang memiliki kekuatan seperti Dewa. Dan satu dari makhluk luar angkasa tinggal di Bumi. Dari adegan ini, saya bisa memahami kenapa Batman, pada awalnya menentang kehadiran Superman di tengah-tengah umat manusia.

Sayangnya, setelah adegan ini, kekacauan dari film ini dimulai. Adegan demi adegan muncul silih berganti seperti tanpa ada koheren. Beberapa adegan mengenalkan tokoh, menyiapkan karakter untuk kelanjutan cinematic universe di masa depan, atau sebagai alat untuk memajukan plot, atau (dalam kasus Batman masa depan) terlihat seperti hanya alasan untuk menyisipkan adegan keren.

Well, the scenes went on, and on. Meskipun saya tidak merasa bosan, saya bisa memaklumi pendapat negatif tentang film ini. They were, well, just too damn obvious to be ignored.

Princess of Awesome-ness.

Tapi akhirnya, kita sampai pada apa yang mungkin menjadi adegan terbaik di sepanjang film. Wonder Woman.

Dengan soundtrack yang super keren, adegan munculnya Wonder Woman sepertinya merupakan adegan yang paling berkesan dari film ini. Snyder, I think, at least gets her right. Gelang, tameng, pedang, dan lasonya meninggalkan kesan yang mendalam. Pula, bagaimana cara Wonder Woman bergerak, mengincar titik lemah lawannya, bagaimana bahkan dia bisa menyeriangi ketika dijatuhkan oleh Doomsday, menunjukkan bahwa Wonder Woman tidak main-main dengan titel Warrior of Amazon yang disandangnya. Sedari "Fast and Furious," saya sudah naksir berat sama Gal Gadot sampai-sampai saya merasa geram ketika di film tersebut, ada cowok Asia yang menciumnya. Dan peran dia di Wonder Woman semakin menguatkan hasrat saya padanya. Itu jelas. Saya pikir akan sangat sulit kedepannya ketika dia harus pensiun dan para sineas harus menggantinya. Well, paling tidak untuk empat lima film ke depan, posisi dia relatif "aman." Kecuali jika Wonder Woman dibatalkan karena film ini yang tidak sesuai harapan. Well, can't do anything about it.

Kesimpulan. Give Snyder a Chance.

Banyak yang bilang bahwa Snyder tidak paham akan karakter Superman sehingga film tentang Superman yang dia sutradarai tidak bisa meng-capture esensi dari Superman itu sendiri.  Terus terang, saya tidak perduli dengan Superman. Di komik, pribadinya terlalu tulus, kekuatannya tidak tertandingi (sumber kekuatan, matahari), dan sepertinya tanpa cela. Boring. Tapi saya pikir Cavill cukup sukses memerankan Superman di sini bahkan bisa saya bilang kalau Cavill adalah Superman terbaik yang pernah muncul di layar. Yes, bahkan lebih baik dari (alm) Reeve.

Mengenai Batman, ada adegan di mana Batman menyalahi kode etiknya sendiri. Kode etik yang sepertinya sampai film ini dipegang teguh oleh komik dan film-film Batman sebelumnya. Saya tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Ketika fans Batman yang lain ribut, "Loh, kok Batman begini?" saya hanya mengernyitkan dahi dan mumble, "Oh, wow, menarik." Ribut-ribut fans Batman ini bahkan sampai membuat Snyder merasa perlu untuk membuat video klarifikasi. Bagi saya bagaimana Snyder memperlakukan Batman adalah hak perogratif dia sebagai penulis dan sutradara. Toh, pada akhirnya kalau dilihat, personaliti Batman yang ditampilkan di film ini cocok dengan atmosfir dan dunia tempat film ini diceritakan. Shouldn't be a problem. It was an interesting take, and I personally find it refreshing.

Kesimpulannya, yes, Batman v Superman plotnya berantakan. Meskipun demikian, saya pribadi sangat menikmatinya, Batman dan Wonder Woman were phenomenal here, dan pada akhirnya jika Snyder harus menyutradarai film berikutnya dari cinematic universe DC, tidak ada sedikitpun masalah dari itu.

Saturday, January 30, 2016

"Perdido Street Station" Review

Pertama membaca "Perdido Street Station," saya serasa langsung terbawa ke dunia yang meskipun pada awalnya terlihat akrab dan biasa, dengan cepat berubah menjadi dunia yang fantastis, bahkan terkadang mengerikan. Pada awalnya saya seperti menyusuri jalan pasar Agrabah di cerita Aladin, dan kemudian ke dunia mekanikal yang penuh dengan kontruksi robot yang penuh dengan roda gigi, piston, uap dipasang carut marut tidak seimbang sehingga ketika bergerak terlihat kikuk, dan ribut. Clank... clank... clank. Berjalan lebih jauh ke dalam dunia ini, saya lantas disajikan dunia yang benar-benar berbeda. Cenderung mengerikan. Dunia yang seperti dibuat oleh serpihan-serpihan mimpi buruk pengarangnya. "Perdido Street Station" nyata cerita ber-genre fantasi yang berbeda dari kebanyakan cerita fantasi lainnya.
Ini pertama kalinya saya membaca China Miéville. Awalnya saya pikir "Station" adalah novel fiksi ilmiah karena memang pada awalnya saya mengambil buku ini karena saya pikir buku ini adalah novel fiksi ilmiah.
Wajar saja kalau kemudian saya sedikit terkejut ketika ternyata dari beberapa halaman awal pun sudah langsung bisa disimpulkan bahwa "Station" ber-genre fantasi. Dan bukan High fantasy macam "The Lord of the Rings" yang biasa saya baca.
Untungnya, rasa terkejut saya dengan cepat menghilang ketika saya berkenalan dengan dunia "Perdido Street Station" dan karakter-karakter yang menghuninya. Meskipun, karakter-karakter ini tidak selamanya enak dibaca (atau dibayangkan). Ada manusia kaktus, ada manusia berkepala kumbang, makhluk air yang bila dibaca sekilas merupakan manifestasi dari Jabba the Hut dari seri Star Wars, dan lain-lain. Ini yang "normal." Ada beberapa makhluk yang menurut saya lebih baik dibaca dan dibayangkan sendiri.
Sedikit butuh waktu untuk ceritanya berkembang menuju klimaks. Sebagina besar chapter awal fokus pada pengembangan karakter, dan penjalinan plot yang memang cenderung ruwet. Akan tetapi, klimaks dari cerita ini relatif layak ditunggu. Cukup epik, cukup baik untuk dijadikan film aksi, misalnya.
Akan tetapi, mengadaptasi buku ini menjadi film rasanya susah karena pada akhirnya cerita yang diangkat di buku ini tidak bisa dibilang cerita yang "menyenangkan." Akhir ceritanya, yah, let's say ada banyak cara bagi si penulis untuk mengakhiri cerita ini di nada yang lebih "ceria" ketimbang yang akhirnya dipilih oleh Miéville. It's good, though. Buat saya, cukup menyegarkan ketimbang akhir cerita yang biasa-biasa saja.
Kesimpulannya, perkenalan yang baik untuk akhirnya membaca Miéville untuk pertama kali. Meskipun demikian, saya akan coba buku lain yang lebih ringan, lebih ceria daripada melanjutkan perjalanan saya lebih dalam ke Bas-Lag, semesta rekaan Miéville. Tapi, suatu saat, saya pasti akan kembali. Itu jelas.
Rating: ★★★ - Good read. Sedikit susah untuk dicerna, dan endingnya mungkin terlalu depressing bagi kebanyakan pembaca.

Thursday, December 17, 2015

"The Forever War" Review


Ada sebuah asumsi yang bisa diambil ketika kita berbicara mengenai bacaan fiksi ilmiah. Asumsi tersebut adalah, cepat atau lambat, kita akan mendengar seseorang menyebut buku ini. "The Forever War" karya Joe Haldeman.

Pun demikian, karena satu dan lain hal, buku ini tidak sempat saya baca meskipun saya sudah memilikinya. Hampir terlupakan. Sampai beberapa hari yang lalu ketika saya mendapati "Starship Troopers" di putar ulang di televisi.

"Starship Troopers" meskipun sebetulnya filmnya biasa saja, tapi cukup fun dan mungkin satu-satunya film di mana saya bisa mentolerir Denise Richards tanpa perlu membayangkan dia telanjang. Dan entah bagaimana, ketika saya melihat film ini saya teringat "The Forever War" dan mungkin sampai berpikir bahwa film ini merupakan adaptasi dari novel tersebut (it's not). Ini cukup membuat saya akhirnya mulai membaca buku ini.

Dan saya menikmatinya.

Hal yang menggelitik saya adalah kebebasan Haldeman di buku ini untuk menggambarkan seks, orgy, hubungan sesama jenis, dan semua hal tabu yang terselip di antaranya. Tapi, lebih dari itu, saya bisa bilang saya sungguh menikmati "War" terutama ketika karakter-karakter utamanya masing-masing menghadapi "perang" mereka sendiri di antara komunitas manusia di masa depan daripada ketika mereka berada beberapa tahun cahaya dari bumi, di garis depan, berperang untuk membunuh makhluk luar angkasa.

Saya juga sangat menikmati aspek dilasi waktu dari cerita ini, sekali lagi memaksa imajinasi saya untuk mencoba memahami luasnya alam semesta ini di mana kita hanyalah sebuah blip yang tak berarti.

Meskipun bagaimana "War" menyudahi ceritanya sedikti banyak terasa terlalu buru-buru dan sederhana, cerita ini, buat saya, mencapai tujuan Haldeman untuk mengutarakan kritiknya tehadap perang. Haldeman, seorang veteran perang Vietnam tentunya sudah mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan selama pengalamannya di medan perang. Dan dari situ, dia akhirnya memiliki pandangan negatif terhadap perang, dan coba diungkapkannya melalui "The Forever War."

Untuk hal ini, saya pikir "The Forever War" berhasil. Dan apakah "The Forever War" akhirnya menjadi bacaan penting untuk penggemar cerita fiksi ilmiah? Saya akan jawab "Ya."

Monday, June 01, 2015