Intisari.
Mereka yang sudah mengenal saya mungkin akan ingat betapa saya cenderung membela film-film besutan DC. Memang sedari dulu, apabila topik DC vs Marvel muncul, saya selalu (mungkin sampai nanti) mengambil posisi di kubu DC. Sayangnya, untuk urusan film, DC tidak punya Kevin Feige dan pula saya yakin meski Marvel sudah membayar mahal untuk jasa Feige, saya pikir masih terlalu murah. Ini bukti betapa hebatnya Feige membawa segerombolan superhero menyatu di dalam satu cerita. Lebih dari itu, Feige juga cukup piawai untuk memastikan aktor-aktornya tidak kabur setelah satu atau dua film. Itu Robert Downey Jr. bisa saja minta gaji berlipat-lipat dari yang ia terima sekarang untuk main di film-film Avenger berikutnya.Ini satu hal yang coba ditiru oleh DC. Sayang, sampai sekarang usaha itu sepertinya tidak (belum?) membuahkan hasil.
Meskipun agak berat untuk saya akui, "Civil War," pada saat tulisan ini dibuat, bukan hanya film paling terkini di dunia film Marvel, tapi juga yang terbaik. Mungkin hanya trilogi Batman-nya Nolan yang jelas superior secara kualitas dari film ini. Benar-benar top.
Pembandingan yang tak terelakkan.
"Civil War" dibangun di atas ide bahwa superhero, meskipun dengan niat yang mulia untuk menyelamatkan umat manusia, dalam proses-nya menuju ke sana akan mengakibatkan kehancuran yang mungkin menyebabkan orang-orang yang tak bersalah ikut menanggung akibatnya. Mereka yang kehilangan orang-orang tercintanya akibat ulah superhero ini, lagi, meskipun mereka punya tujuan yang mulia, sudah pasti akan menyalahkan para superhero ini. Bahkan seorang yang paling logis sekalipun akan kehilangan akal sehatnya ketika orang yang dicintainya terenggut dengan paksa dari sisinya. Begitu ceritanya.Ide ini, mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, sudah dijelajahi oleh "Dawn of Justice" yang dirilis tidak lama sebelum ini. Dua bulan? Di "Dawn of Justice," ide ini disampaikan melalui kacamata seorang Bruce Wayne ketika dia berlarian di antara reruntuhan kota Metropolis, mencoba untuk menyelamatkan pegawainya ketika dua orang Dewa bertempur dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa di langit kota Metropolis. Di akhir adegan ini, Bruce Wayne, merengkuh seorang anak kecil yang kemungkinan kehilangan orang tuanya di antara puing puing gedung yang hancur, menatap ke angkasa dengan penuh angkara ke arah dua Dewa yang menurutnya, bertempur tanpa mengindahkan kehidupan manusia di sekelilingnya. Ini sebetulnya adegan yang bagus. Efektif. Saya suka bagian ini.
Di "Civil War," ide yang sama ini dirpresentasikan oleh Daniel Brühl yang di film ini memerankan lakon penjahat utama. Karakternya kehilangan keluarganya di even cerita "The Avengers: Age of Ultron." Di sini, alih-alih murka, dia berbincang pelan, namun penuh dengan emosi dan kesedihan yang memdalam dengan Chadwick Boseman tentang keputusan yang dia ambil. Keputusannya ini makin diperkuat dengan adegan singkat yang sejenak menyorot layar handphone-nya.
Kalau adegan Metropolis di "Dawn of Justice" saya sebut sebagai adegan yang efektif, adegan "Civil War" ini langsung menonjok muka, mencabik-cabiknya dan kemudian menyebar serpihannya ke empat arah mata angin. Karakter Daniel Brühl mungkin tidak memiliki kekuatan super, tapi itu justru membuat karakternya makin menarik dan membuat saya tanpa ragu menempatkan karakternya sebagai lakon penjahat utama terbaik dari film-film Marvel. Mungkin kedua setelah Joker-nya Heath Ledger.
Perbedaan yang cukup mencolok lainnya dari kedua film ini, berkaitan dengan ide dasar yang melandasinya, bahwa jika di "Dawn of Justice," Bruce Wayne yakin bisa mengalahkan Dewa, di "Civil War," karakter Daniel Brühl tahu bahwa dia tidak akan sanggup mengalahkan para Dewa. Dari sini, lahir kepahaman, dan dari situ, kebijaksanaan. Ini memberikan "Civil War" sisi yang sangat manusiawi ketimbang "Dawn of Justice" yang lantas menjadikannya film yang jauh lebih baik darinya.
Padat. Tapi mengalir.
Tak bisa dipungkiri, ketika sekumpulan superhero dikumpulkan dalam satu film, akan ada banyak hal yang harus dirangkai. Selain kebutuhan untuk memajukan alur dengan wajar, film ini juga harus meluangkan waktu untuk mengenalkan Black Panther dan mengenalkan kembali Spider-Man. Pun demikian, saya cukup senang dengan bagaimana akhirnya film ini mengeksekusi transisi antar plot dan adegan aksi yang menyertainya. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada adegan aksi yang tiba-tiba muncul tanpa konteks seperti adegan Batman di masa depan pada film "Dawn of Justice." Semuanya pas. Adegan keroyokan di bandara yang digadang-gadang di trailer film ini pun rupanya bukan adegan terakhir meskipun secara kuantitas paling banyak pesertanya.Adegan bandara ini benar-benar dibangun dengan sangat baik. Meskipun tokoh yang terlibat di situ lebih banyak dari jari di kedua tangan saya, setiap orang dapat spotlight yang cukup dan tidak bertele-tele. Dan yang paling penting, gampang diikuti. Semua kru yang membidani adegan ini, mulai dari penulis, perancang set, aktor, stunman, sampai sutradara layak diacungi jempol karena memang layak dihadiahi jempol.
Lagi, meskipun agak tidak terima, saya pikir setelah film ini, DC mendingan tidak usah terlalu ngoyo untuk mengumpulkan superhero-superhero mereka di satu film. Kecuali mereka bisa mencari orang seperti Kevin Feige. Damn, untuk urusan membangun Movie Universe, Marvel benar-benar sukses meng-KO DC.
Kok bisa Captain America jadi keren gini?
Ketika "The First Avenger" diumumkan, rasa ingin tahu saya tergelitik. Saya benar-benar penasaran waktu itu tentang bagaimana Captain America dibawa ke film. Menurut saya, Captain America ini superhero yang membosankan. Hampir seperti Superman. Saya cenderung mengasosiasikan Captain America sesuai dengan nama yang disandangnya. Patriotik, heroik, selalu menjadi contoh yang baik karena yah, dia merupakan representasi dari nilai-nilai yang menjadikan Amerika sebagai Amerika yang ideal. Tidak ada abu-abu di visinya. Hanya Hitam, dan Putih. Benar, dan Salah. Tidak ada ambigu dalam pilihan yang diambilnya. Selalu yang "benar.""The First Avenger," sejauh yang bisa saya amati, tidak pernah mengubah karakter Captain America yang saya pahami selama ini. Dan di luar dugaan saya, menjadi film yang sangat menghibur.
Lalu kemudian "The Winter Soldier" muncul. Sebelum "Civil War," "The Winter Soldier" mungkin salah satu film terbaik dari Marvel Cinematic Universe. Saya suka ide-nya yang simpel, mengenai privasi yang di dunia nyata, paska Snowden, merupakan isu yang semakin relevan. Saya juga lebih menyukai pendekatan berantem tangan kosong yang mungkin akan menjadi trademark dari Captai America.
"Civil War" masih ajeg mengikuti aturan-aturan ini dan dieksekusi dengan lebih baik. Berantem tangan kosong? Cek. Ide yang sederhana? Yah, mungkin tidak sesederhana itu, tapi Cek.
Banyak yang bilang bahwa Robert Downey Jr. tidak tergantikan sebagai Iron Man. Yap, dia memainkan karakter Iron Man dengan SANGAT BAIK. Begitu baik bahkan sampai-sampai bisa dianggap bahwa sesungguhnya Tony Stark terinspirasi oleh Robert Downey Jr. Namun ini justru menjadi bumerang buat saya karena begitu Iron Man pertama lewat, kita sudah tidak bisa lagi membedakan RDJ dengan Tony Stark sehingga di film-film berikutnya, karakternya cenderung jalan di tempat.
Beda dengan Chris Evans. Secara kualitas akting Chris Evans mungkin tidak sebaik RDJ tapi ini justru menjadi kekuatan dia. Saya bisa melihat bagaimana Chris Evans, juga Steve Rogers, karakter yang ia perankan, menjadi lebih baik dari film ke film. Sampai-sampai kita bisa merasakan bagaiman Steve Rogers (dan Chris Evans) menjadi makin dewasa dan makin bijak dari film ke film. Saya sungguh menikmati perkembangan karakternya.
Dalam hal ini, saya pikir tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa lebih dari RDJ, buat saya justru Chris Evans yang perannya sebagai Captain America sulit tergantikan.