Thursday, December 17, 2015

"The Forever War" Review


Ada sebuah asumsi yang bisa diambil ketika kita berbicara mengenai bacaan fiksi ilmiah. Asumsi tersebut adalah, cepat atau lambat, kita akan mendengar seseorang menyebut buku ini. "The Forever War" karya Joe Haldeman.

Pun demikian, karena satu dan lain hal, buku ini tidak sempat saya baca meskipun saya sudah memilikinya. Hampir terlupakan. Sampai beberapa hari yang lalu ketika saya mendapati "Starship Troopers" di putar ulang di televisi.

"Starship Troopers" meskipun sebetulnya filmnya biasa saja, tapi cukup fun dan mungkin satu-satunya film di mana saya bisa mentolerir Denise Richards tanpa perlu membayangkan dia telanjang. Dan entah bagaimana, ketika saya melihat film ini saya teringat "The Forever War" dan mungkin sampai berpikir bahwa film ini merupakan adaptasi dari novel tersebut (it's not). Ini cukup membuat saya akhirnya mulai membaca buku ini.

Dan saya menikmatinya.

Hal yang menggelitik saya adalah kebebasan Haldeman di buku ini untuk menggambarkan seks, orgy, hubungan sesama jenis, dan semua hal tabu yang terselip di antaranya. Tapi, lebih dari itu, saya bisa bilang saya sungguh menikmati "War" terutama ketika karakter-karakter utamanya masing-masing menghadapi "perang" mereka sendiri di antara komunitas manusia di masa depan daripada ketika mereka berada beberapa tahun cahaya dari bumi, di garis depan, berperang untuk membunuh makhluk luar angkasa.

Saya juga sangat menikmati aspek dilasi waktu dari cerita ini, sekali lagi memaksa imajinasi saya untuk mencoba memahami luasnya alam semesta ini di mana kita hanyalah sebuah blip yang tak berarti.

Meskipun bagaimana "War" menyudahi ceritanya sedikti banyak terasa terlalu buru-buru dan sederhana, cerita ini, buat saya, mencapai tujuan Haldeman untuk mengutarakan kritiknya tehadap perang. Haldeman, seorang veteran perang Vietnam tentunya sudah mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan selama pengalamannya di medan perang. Dan dari situ, dia akhirnya memiliki pandangan negatif terhadap perang, dan coba diungkapkannya melalui "The Forever War."

Untuk hal ini, saya pikir "The Forever War" berhasil. Dan apakah "The Forever War" akhirnya menjadi bacaan penting untuk penggemar cerita fiksi ilmiah? Saya akan jawab "Ya."

Monday, June 01, 2015

Probably the best scene from the movie. (Inherent Vice, 2014)



Probably the best scene from the movie. (Inherent Vice, 2014)



via Tumblr

Tuesday, April 21, 2015

“The Three-Body Problem” review

Lanskap Fiksi Ilmiah

Karena saya bisa berbahasa Indonesia dan Inggris, pilihan buku fiksi ilmiah yang saya baca pun, naturally, either berbahasa Inggris atau berbahasa Indonesia. Walaupun jujur, saya hampir tidak pernah lagi membaca buku berbahasa Indonesia. I mean, let's be honest here, they are all basically sucks. Anyway, karena itu, secara kultural, suka tidak suka, ide atau setting yang terserap dari buku fiksi ilmiah (paling tidak busat saya), biasanya lebih cocok bila saya telaah dari kacamata barat. 

"Three Body Problem" adalah buku fiksi ilmiah pertama yang saya baca yang berasal dari penulis China. Walaupun ide dan eksekusinya tidak sekuat fiksi ilmiah karya penulis barat, pun demikian bukan berarti lemah, ada kesan tersendiri ketika membaca cerita yang backdrop-nya bukan di Amerika atau Eropa. Dan ini, yang bagi saya, membuat buku ini lebih menarik.

Buku ini kurang lebih menjawab paradoks Fermi. Paradoks ini, yang dinamakan atas pencetusnya, ilmuwan Enrico Fermi menyatakan bahwa alam semesta begini luasnya, masa cuman kita yang mengisi? Mana orang-orang? Saya pribadi percaya akan kehidupan lain selain Bumi. Mungkin, bisa jadi, saya tidak akan pernah mengalami hebohnya penemuan alien di masa hidup saya, tapi bukan berarti saya ndak percaya. They are there. Mungkin mereka sama seperti kita, tak tahu menahu akan adanya kehidupan di luar sana, tapi bisa jadi, mereka sempat mampir, terus melihat kita, umat manusia, tak ubahnya seperti semut yang not worth the effort to be examined dan lantas dilupakan.

Namun, sebelum sampai ke situ, buku ini terlebih dahulu membawa kita, pembacanya ke China di bawah pemerintahan Mao, dan Revolusi Kebudayaan di tahun 60-an. Di sini, kekuatan sekaligus keunikan buku ini. Karena penulis besar di China, ada perasaan autentik yang menyertai penggambaran situasi selama Revolusi tersebut. I ended up reading the whole Wikipedia article related to this revolution. 

Three Body Problem

Selesai dari situ, pembaca kembali di bawa menelusuri problema yang menjadi teori buku ini. Pendek kata, "Three Body Problem" merupakan masalah matematik yang melibatkan tiga obyek besar yang saling berinteraksi. Dinyatakan bahwa ketika tiga obyek besar, katakanlah sebesar Matahari yang daya tarik gravitasinya sendiri mampu mempengaruhi gerak obyek besar lainnya (Bumi, misalnya). Gravitasi Matahari terhadap Bumi relatif sederhana karena hanya melibatkan satu obyek besar sehingga pergerakan orbit Bumi bisa dengan mudah diprediksi. Akan tetapi, apabila dalam tata surya kita terdapat bukan hanya satu, tapi tiga Matahari, "Three Body Problem" menyatakan bahwa ketiga Matahari ini, pergerakannya mustahil untuk diprediksi sehingga alih-alih siklus siang dan malam yang jelas yang selama ini kita alami dari satu Matahari, siklus siang dan malam untuk kasus tiga Matahari tidak akan bisa diprediksi dengan tepat.

Jelas buku ini ditujukan untuk pembaca fiksi yang sedikit banyak memiliki ketertarikan terhadap luar angkasa dan pergerakan anggotanya. Permasalahan matematik yang diajukan penulis juga bisa dibilang sahih dan bahkan si penulis menganjurkan pembaca untuk mengunduh paper yang membahas masalah ini. Saya sendiri menganggap diri saya memiliki ketertarikan yang cukup terhadap aspek ilmiah tersebut dan tentunya, cukup mudah bagi saya untuk menikmati buku ini.

Narasi

Tentu saja, fiksi ilmiah dan kekuatan narasi jarang bisa berjalan beriringan. Narasi merupakan titik lemah buku ini, bahkan mungkin cenderung malas karena praktis, beberapa bagian terasa sama persis. Ini pula yang membuat saya cukup cepat membaca buku ini karena di sepertiga terakhir, seperti membaca ulang bagian sebelumnya yang hanya berbeda di beberapa aktor kunci saja.

Namun, pada akhirnya, berkat buku ini saya menjadi sedikit lebih berpengetahuan di dua hal baru. Revolusi Kebudayaan Cina dan Three Body Problem itu sendiri. Dan bagi saya, hal ini lebih dari cukup. This is why I read.

Tuesday, February 10, 2015

"The Martian" review


Pembukaan

Buku ini, baik pembukaan maupun sinopsis-nya oke. Asik, bahkan. Mark Watney, astronot NASA, botanis, sekaligus insinyur mesin, "tertinggal" di Mars ketika tim eksplorasi Mars yang mana ia menjadi salah satu anggota harus take-off karena badai pasir yang mengancam kelangsungan hidup seluruh tim. Mark terhantam serpihan logam yang merusak baju astronot-nya dan mengirim sinyal sistem mati ke anggota tim lainnya. Kapten ekspedisi dengan segera mengambil keputusan untuk tidak mencari Mark dan segera meninggalkan planet. Tak dinyana, ternyata Mark masih hidup.

Ingredients yang bagus untuk film sci-fi. In fact, Andy Weir, si penulis sudah menjual hak cipta untuk pembuatan film berbasis novel ini dan saat ini syuting sedang berlangsung. Matt Damon yang ditampuk menjadi Mark Watney, si astronot malang yang terdampar di planet Mars.

Spekulasi

Menariknya buku ini adalah, lebih daripada usaha Mark untuk survive (estimasi misi penyelamatan, beberapa ratus hari) di Mars, bagaimana fakta ilmiah yang menjadi dasar buku ini membuat kita pembaca berpikir bahwasanya tidak mustahil untuk kita umat manusia, dengan teknologi yang kita punyai sekarang untuk benar-benar serius berusaha migrasi ke Mars. Andy Weir benar-benar melakukan penelitian yang mendalam terhadap nyaris semua aspek yang menjadi prasyarat kelangsungan hidup Mark sehingga setiap aspek tersebut memberikan sensasi "Wow, okay, that could work." Bahkan, ada satu dua titik plot di mana Mark harus mencari probe yang diluncurkan oleh NASA (in actual life) untuk dibongkar dan diambil bagian yang esensial untuk Mark. Yes, the more technical readers would surely spot the little details or faults within Mark's efforts tapi untuk pembaca kebanyakan, membaca novel ini cukup membuka mata.

Childish Hero

Pada dasarnya buat saya, cerita fiksi ilmiah punya kebebasan untuk menanggalkan kewajiban "fiksi" selama dia memiliki ide "ilmiah" yang menarik untuk diceritakan. Intinya, ketika saya memilih buku untuk dibaca dan bila kebetulan buku tersebut bergenre fiksi ilmiah, ada semacam setting di ekspektasi saya yang bisa mentolerir narasi, atau penggambaran karakter yang tidak menarik.

Untuk "The Martian," awalnya saya juga bisa mentolerir karakter Mark yang lebih memiliki ciri khas seorang remaja yang selera humor-nya tidak jauh-jauh dari selangkangan, ketimbang seorang astronot NASA, ahli botanis, DAN insinyur mesin. Awal mulanya sih menarik, amusing, tapi tentu saja, hal seperti ini tidak bakal berumur lama dan segera, alih-alih menarik, malah jadi tendesius dan membosankan. Indeed, tak butuh waktu lama buat saya untuk merasa terganggu dengan karakter kekanakan Mark. Lebih parahnya, ternyata tidak hanya Mark yang memiliki kecenderungan seperti ini. Sepertinya semua karakter yang ada di buku ini memiliki template yang sama dengan Mark. Terus terang, sangat mengganggu dan buat saya, sudah masuk ke kategori annoying dan tidak lagi bisa ditolerir.

Dan itu mungkin poin minus dari saya buat buku ini. Cukup minus, tapi apabila anda tertarik untuk melihat bagaimana seorang botanis/insinyur mesin bisa survive di Mars dengan trik-trik a la MacGyver, by all means, don't let this review stop you.

Spoiler Alert

Ini peringatan terakhir. Tulisan berikut ini mungkin masuk kategori spoiler ringan. Apabila anda tipe pembaca/penonton yang tidak mau terkena spoiler silahkan acuhkan bagian ini.

Tak ada keraguan tentang apakah Mark akan survive atau tidak. Saya pikir pembaca yang jeli akan segera menyimpulkan bahwa it's not about if Mark is going to survive or not, but it's more about how. Sepanjang novel ini, masalah demi masalah datang bertubi-tubi kepada Mark namun, one way or another, he's always surviving. So before long, there's this feeling that whatever danger Mark was in, he'll survive, because he's invincible. Not necessarily a bad thing, tapi karena simpati saya terhadap Mark sudah lama hilang (karena kecenderungannya untuk ngasih bad childish joke), membaca novel ini menjadi kurang lebih sama dengan membaca jurnal teknis. In fact, I almost wished that the next challenge Mark has to face would kill him, to make it more interesting, if not bleaker. Cukup menarik, demi fakta-fakta ilmiah yang terkait dengan misalnya bagaimana memisahkan oksigen dari bahan bakar roket, akan tetapi begitu sudah sampai di titik aksi penyelamatan Mark sendiri, it was flat. And I remember flying through the rest of the pages without even bothering to read between the lines (Because well, there were none).