Wednesday, July 27, 2005

Art Heist (2004); National Treasure (2004); Envy (2004)

I'm doing short-reviews. Kalau sebelumnya ketika gw menulis review, gw biarkan ide untuk mengendap dan membentuk dirinya untuk beberapa lama dan cross-check (ngambil inspirasi) dari kritikus favorit, dalam short-review (seperti ini), review ditulis segera setelah gw selesai nonton, sehingga ide-nya fresh dan 100% murni berasal dari reviewer anda ini.

  


Art Heist, 2004
Cast: Ellen Pompeo, William Baldwin, Abel Folk, Ed Lauter
Director: Bryan Goerers
My Rating: 1/2 / ****

Art Heist. Film ini membuat gw menangis. Bukan, bukan karena film ini mengaduk-aduk emosi sampai membuat diriku yang sensitif ini menitikkan air mata saking terserapnya pesan film dengan baik, tapi karena film-nya sungguh-sungguh buruk. Mrs.Pompeo, the leading actress, yang sepintas lalu mirip sama Renee Zellwegger, was so pathetic, gw hampir2 tidak bisa melihat layar ketika dia tersenyum atau berbicara, blblblbl, i've never seen a worse performance by leading actress before. Sungguh. Keseluruhan ceritanya sendiri standar habis, pencurian karya seni, penyelidikan polisi oleh seorang polisi yang tipikal sekali, act based on pure instinct, pengkhianatan yang hanya akan mengejutkan penonton yang BELUM PERNAH nonton film atau serial televisi sebelumnya, dan oh oh, kita juga punya penjahat tipikal yang di akhir film dengan bodohnya menjelaskan panjang lebar motif-nya sebelum sang jagoan kita yang hampir mati menembaknya di dada. Familiar? i bet it does. Satu-satunya hal yang menarik dari film ini adalah... apa ya? tidak ada. Jangan ulangi kesalahan gw. (Gw meminjam komentar ini dari salah seorang kritikus yang gw ga inget namanya) "Kecuali kalau kamu adalah salah satu anggota dari sekte sesat pemuja Baldwin bersaudara, jangan tonton film ini". Gw jarang2 denger komentar sekasar itu dari kritikus. Now, that was the bright side of this horrible experience. One, i've never seen worse performance by leading actress before, kudos to Mrs.Pompeo, and two, i've never heard of that kind of comment which made me laugh when i read it.

National Treasure, 2004
Cast: Nicolas Cage, Diane Kruger, Justin Bratha, Sean Bean
Director: Jon Turtletaub
My Rating: ** / ****

National Treasure. "Let's get out of here, before someone sees the smoke". Kalimat ini diucapkan Sean Bean (the ultimate choice for antagonist role, if you'd ask me, and that's one credit to this film's casting director), ketika Ben (Nicolas Cage) dan Riley (Justin Bratha), dua orang "Treasure Protector" terperangkap di dalam bangkai kapal ... dan menghadapi ber-barel-barel bubuk mesiu siap ledak yang sudah menyala. Kapal ini sendiri ditemukan Ben dan tim-nya ... di kutub utara. Now, i've never been to Arctic, and probably never will, tapi gw yakin, kalo gw jadi Sean Bean gw tidak akan memasalahkan asap hasil ledakan. Kalo misalnya meledaknya 200 meter dari pelabuhan New York gw masih bisa khawatir, tapi come on, siapa yang ia khawatirkan akan melihat asap dari ledakan tersebut di Arctic? Sinterklas? pffttt...

Other than that, the film was passable, pace-nya yang cepet menutupi sebagian besar kekurangannya. Tapi sebenernya kurang cepet buat merampok atensi gw. Halfway through, i'm bored to the death. Nicolas Cage, huh, sok pinter banget, malah buat gw Nic Cage seperti ngigau tanpa ngerti apa yang barusan ia omongin. Dan aksi2-nya kontradiktif sekali, dia bisa (terdengar) pintar tapi at times, he could be as dumb as a donkey's ass. And that kiss? ewwww, sempet-sempetnya, but i think it was a necessity if the movie-maker intended to (which obviously does) make this as a date-movie, tapi tentu saja, dalam tiga / empat tahun terakhir, gw tidak pergi ke bioskop atau duduk di depan monitor untuk berkencan, so i give the scene (the kiss-scene) with thumbs-down, and yes it's plural. Keseluruhan filmnya seperti menonton versi layar-lebarnya Da Vinci Code (yang akan dapat kehormatan itu sebentar lagi), dengan fakta-fakta yang menyembunyikan kenyataan Founding Fathers, dicampur dengan sedikit narasi a la CSI ketika si Ben mengajukan teorinya dan lantas membawa kita untuk melihat apa yang ia lihat, but as i was saying before, the film was passable. But by the way, Diane Kruger was soooo cute... *drollll*

Envy, 2004
Cast: Ben Stiller, Jack Black, Rachel Weisz
Director: Barry Levinson
My Rating: * / ****

Envy. Ben Stiller + Jack Black = Totally Wicked Fun. Well, or so i thought. Tapi tampaknya persamaan tersebut perlu gw koreksi setelah gw nonton Envy. Betul, ceritanya cukup menarik, dan ke-satir-an komedi-nya kental banget, terasa sekali seperti kopi tanpa gula, but, that's it. Gw tidak bisa menikmati performa Jack Black di sini seperti di film-film sebelumnya, juga Ben Stiller, yang tidak seperti biasanya, tidak membodohi diri sendiri atau dibodohi rekan mainnya. Well, masih sih, tapi tidak sekeras di "Meet the Fockers" misalnya. Padahal buat gw sih, ketika gw melihat film yang dibintangi oleh Ben Stiller, gw berharap ia bakal dibodohi rekannya atau membodohi diri sendiri. Memang, di film ini karakter Ben Stiller jelas-jelas membodohi diri sendiri dan lantas tidak bisa lari dari kenyataan tersebut ketika hasil dari kebodohannya adalah "envy" terhadap si tetangga dan teman baiknya yang mendadak menjadi kaya luar biasa. Film ini pengennya satir, komedi yang berbalut tragedi. Ada beberapa adegan yang cukup berhasil, seperti ketika keluarga Stiller pergi berlibur ke 'danau', atau jamuan makan malam oleh keluarga Black dengan Flan-nya dan orkestra piano yang dimainkan anaknya, tapi sayangnya, ke-satir-an tersebut tiba-tiba mengikis dirinya sendiri. Puncaknya ketika Ben Stiller meminta maaf pada Jack Black dengan seri monolog yang menjelaskan jalan cerita dari film ini, literally. It was a failed attempt to humor, which in turn becomes tediously boring and sickening. Ben Stiller / Jack Black juga sepertinya main terlalu kalem di film ini, padahal seperti sebelumnya gw harapkan, mereka paling tidak menampilkan energi mereka seperti di film-film sebelumnya. Thus, the one rating resulted from their failed attempt to meet my expectation. Gw jadi ingat, sebuah film satir yang luar biasa kejam, Fargo (1980) yang dibuat oleh Coen Brothers. Film ini bisa membuat gw ketawa SAMBIL meringis saking kejamnya adegan yang ditampilkan di akhir film. Really.

By the way, to-day (July 27th) marked the 2 years anniversary of ScreeningLog, with currently 103 reviews has been written and published.

Wednesday, July 13, 2005

Fantastic Four (2005)

United States, 2005
Cast: Ioan Gruffudd, Michael Chiklis, Jessica Alba, Chris Evans, Julian McMahon
Director: Tim Story
My Rating: ** / ****

I'm being more than kind to give this movie a two-rating. Sebagai keluarga superhero yang kehadirannya membuat lahirnya Marvel Comics, dengan konsekuensi masing-masing (flame-guy, invisible-girl, hurcelian-strength, rubbery-skretch) tentunya wajar kalau kita berharap ada aksi jedang-jedung yang catchy dan wah. Nada. Apa yang ada di film ini, spesial efek-nya maksud gw, standar sekali, bahkan terkesan murah dan biasa. Tapi paling nggak, film ini punya kualifikasi cukup untuk disebut sebagai film komedi, dan gw rasa, mungkin karena gw nontonnya pas lagi kecapekan, film ini tidak terlalu buruk untuk menghabiskan kelebihan dua jam dari waktu kita.

Superhero minus identity crisis

Whoa.. hold your torch, kid.. cowok di bawah adalah Chris Evans. Di film ini dia berperan sebagai Johnny Storm alias The Human Torch. Dari ke-empat superhero jagoan yang hadir di film ini, bersama kakaknya Sue Storm, the Invisible Girl, soon-to-be-brother-in-law Reed "Mr. Fantastic" Richards, dan sohibnya Ben Grimm, the Thing, mereka adalah sekelompok ilmuwan yang bersama tipikal villain superhero, Victor Von Doom, Dr. Doom, mengadakan penelitian di salah satu stasiun luar angkasa punya Victor, multi-milyuner narsis.


Tapi tentu saja, manusia ga ada apa-apanya dibandingin dengan alam. Dan seperti dieskpresikan oleh Ben Grimm sendiri, "It's a Freak of Nature", sebuah badai kosmik menerjang stasiun luar angkasa tersebut dan menyebabkan semua penghuninya memiliki alterasi DNA dengan simtom-simtom yang sudah gw sebutkan di atas, and so-forth, lahirlah Fantastic Four yang kemudian melawan Victor yang merasa nama Victor Von Doom tidak mewakili identitasnya dan kemudian memakai nama belakangnya saja, Dr.Doom.

Tipikalnya, setiap film superhero yang relatif sukses, selalu menyertakan isu krisis identitas pada setiap jagoannya. Spider-Man dengan masalah cintanya, Batman dengan trauma kematian ortunya, Hulk juga dengan masalah cinta, dst. Dengan isu tersebut, menurut gw, sebuah film punya semacam nyawa yang bisa membawanya lebih hidup. Tapi di sini, hanya ada satu orang yang bener-bener keliatan punya krisis identitas, dan satu orang ini yang kemudian menonjol sendirian di antara yang lain. Nanti akan gw bahas. I mean, come on, you went to the space, got ill, being treated, and suddenly you could stretch your arms, you're invisible, and you're 'hot', tapi alih-alih bersikap seperti orang yang habis jatuh dari lantai tiga-puluh and barely alive, mereka malah bersikap seperti orang yang baru saja didandani di salah satu acara 'make-over'... duh.. Spider-Man got more credits on that issue.

Annoyances

Keputusan untuk membuat "Fantastic Four" sebagai sebuah film "origin", film yang menceritakan awal dari sebuah keluarga superhero menurut gw adalah kesalahan. Memang, yg ga tau F4 jadi bisa lebih kenal sama mereka. Cuman, tidak seperti Batman yang "originnya" merupakan hasil konflik batin dan psikis, "origin" dari F4 ini bener-bener datar dan nyaris tidak ada gejolak yang membuatnya menarik untuk diikuti. Akhirnya, kita dibiarkan selama satu jam mendengarkan obrolan-obrolan klise dan plot yang dibangun terburu-buru dan sering-kali menjejakkan lubang-lubang logis di tengah jalan. Dan ketika F4 siap beraksi, waktu film yang tersisa cuma tinggal 10 menit. Sayang memang.

Dua orang mis-cast. Jessica Alba, dia sebenernya salah satu alasan yang cukup kuat buat gw supaya nonton film ini, tapi sayang, dia sama sekali tidak convincing sebagai seorang scientist cewe, dia seperti berdiri di sebuah pentas drama, dengan script di tangan, dan membaca-nya ketika gilirannya tiba. Kaku, mungkin kata yang tepat. Julian McMahon, as much as i liked him on Nip / Tuck, sebagai salah satu penjahat terkeren Marvel, Dr.Doom dia tidak seperti penjahat, cuma orang cemburu yang pake topeng.

Now, that leads to another thing. Salah satu plot-development yang membuat gw bosan setengah mati di sini adalah cinta segitiga dari Victor - Sue - Reed. I dont know, it was just seem to be inappropriate, and not executed quite well, yang kalo boleh gw mmengutip James Berardinelli, "Seperti dibuat oleh dan untuk cewe umur 12 tahun".

The Thing is.. The Thing
Michael Chiklis, sebagai Ben Grimm alias The Thing really steals the spot here. Dia seperti Wolverine-nya "Fantastic Four". Setiap kali dia muncul di layar, ada sepasukan cheer-leader di dalam batin gw yang berteriak "Horeee!!!". Nah seperti itulah, gw melihat The Thing atau Ben Grimm ini. Selain dia yang paling punya krisis identitas daripada yang lain, dia juga yang paling kelihatan tidak seperti sedang membaca skrip, melainkan melontarkannya dengan sepenuh hati. The best of few memorable scenes of this movie (if there any) was also came from him.

Selain Ben Grimm, yang seperti oase di padang pasir, tone film ini yang agak humor, dengan chemistry antar karakter-nya, "Fantastic Four" meskipun tidak wah, dan tentu bukan tipikal film reviewer anda ini (i can't stand those modern rock-bands playing on the soundtrack), punya kualifikasi cukup untuk dibilang sebagai sebuah film keluarga yang menghibur dan cocok untuk melepas kepenatan setelah beraktifitas. But, i would recommend "The Incredibles" more, though.

Tuesday, July 12, 2005

Ayumi Hamasaki

Ngomongin musik gw ah...

Ada dua musisi yang gw kasih kehormatan dengan cara alih-alih membajak, membeli album mereka. Dream Theater dan Ayumi Hamasaki. Untuk beberapa orang ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana tidak, warna dan aliran mereka benar-benar seperti bumi dan langit. Jika Dream Theater itu digolongkan oleh sebagian orang yang ngerti musik (gw tidak termasuk) ke dalam progresif metal - dengan 'metal' berarti bisa diharapkan sesuatu yang keras dari warna musik mereka, maka Ayumi Hamasaki digolongkan oleh - sekali lagi - sebagian orang yang ngerti musik ke dalam R&B dengan sedikit tekno.

But itulah, seperti Dream Theater, gw tidak lantas menyukainya ketika pertama kali mendengar ia bernyanyi. Tapi seperti Dream Theater pula, sebagian bawah sadar gw menyuruh gw untuk stick-to-her. Masih ingat dulu, album pertama Dream Theater (selanjutnya DT) yang gw beli adalah 'A Change of Seasons' dengan satu lagu 26 menit yang berjudul sama. Lagu ini, struck me as odd, waktu itu gw tidak menggumamkan musik mereka, belum sanggup untuk mencerna lompatan-lompatan dari tiap segmen lagu tersebut. Tapi, entah kenapa sebulan setelahnya (setelah gw mendapat uang saku dari ortu yang cuma cukup untuk beli satu kaset setiap bulan) gw beli 'Falling Into Infinity' dan cinta gw terhadap DT mulai dibangun setapak demi setapak dari situ. Sama halnya dengan Ayumi Hamasaki (Ayu). Gw kenal Ayu bebarengan dengan gw kenal sama Utada Hikaru dengan one-time-hit-nya yang ballad sekali, 'First Love' dan juga dengan satu aliran yang sekarang populer dengan sebutan J-Pop. Waktu itu gw berpikir, 'aduh suara apa ini?', soalnya memang vokal Ayu itu rada aneh, sedikit melengking dan mungkin sebagian besar orang tidak menyebutnya merdu. Tapi, seperti DT gw juga ngumpulin lagu-lagu-nya Ayu.

Sekarang, lima tahun setelahnya, Ayu (dan juga DT) adalah artis-artis yang gw hormati dengan cara membeli album rilis resmi mereka. Dan Utada yang justru pertama kali gw kenal dan cinta, tidak. Tapi karena cukup susah untuk mencari CD Ayu di sini, gw baru punya dua album sementara MP3-nya gw punya lima, sementara album resminya dia (tidak menghitung remix, the best, single, atau live) ada tujuh. Album terakhir yang gw beli adalah 'Rainbow' (2002). Album ini juga unik soalnya pas gw denger pertama kali gw merasa aneh, tidak ada yang spesial and time-and-again i would return to my favourite album of hers, 'A Song for XX' yang merupakan album pertamanya dia. Namun, (sama seperti DT) dengan naiknya frekuensitas album ini gw puter, makin naik pula favourite-ness gw sama dia. Dan sekarang, saat ini, album ini jadi favorit gw. Well, sebenernya album favorit gw selalu berubah-ubah. Di saat tertentu gw suka album ini, di saat yang lain gw suka album itu, dan seterusnya. Tapi, ada satu album yang paling sering gw denger di antara yang lain-lain, album pertama, 'A Song for XX'. Ayu menulis semua lagunya sendiri, dan lirik-liriknya secara tidak langsung merefleksikan jalan hidupnya. Lahir di Fukuoka, 2 Oktober '78, Ayumi ditinggalin bokapnya dan tinggal bersama ibu dan neneknya. Dia merintis karir dari bawah sebagai (per usual in Japan) model. Setahun kemudian, while karaoke-ing, dia ditemui sama seorang produser dan kemudian merilis singel 'Poker Face' yang ia tulis dan menceritakan tentang seorang gadis lemah yang menghadapi masa-masa sedih dan sendiri tapi selalu berusaha untuk tetap tersenyum. And that was practically her story. Secara keseluruhan album pertamanya sebenernya secara musikalitas masih kurang bila dibandingin sama album-album setelahnya. Tapi liriknya buat gw sangat powerful dan sering kali memotivasi gw menghadapi masa sulit. Honest. Pendeknya, album itu boleh dibilang album sedih-nya Ayumi tapi di balik kesedihan itu, Ayu mengingatkan untuk tetap strong, dan tabah. Hence the title, 'A Song for XX' yang sebenernya memiliki arti 'A Song for Ayumi' karena dia intinya mengingatkan dirinya sendiri supaya tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Makin kini, kualitas vokal Ayu meskipun masih suka terdengar aneh, mengalami improvement yang kentara. Tapi kekuatan dia sih sebenernya ada di liriknya. And that's why i adore her, as the only singer i cared as much as to bought his / her original albums.

O yeah, stop piracy, whenever you feel necessary ;p. Ah iya, gw lagi demeeennnn banget sama albumnya Kelly Clarkson yang 'Breakaway'.

Thursday, July 07, 2005

A Love Song for Bobby Long (2004)

United States, 2004
Cast: John Travolta, Scarlett Johansson, Gabriel Macht
Director: Shainee Gabel
My Rating: *** / ****

Gw nonton film ini pada awalnya hanya karena film ini ada di tumpukan teratas dari ratusan film yang belum gw tonton (note that it begins with singular letter 'A', the very first letter of the Roman Alphabet) tanpa pengetahuan sedikitpun mengenai apa isinya, genrenya, ataupun pemain2nya. And it turns out to be a nice dellicate drama. Dan salah satu pemerannya, Scarlett Johansson, adalah satu dari sedikit aktris muda favorit gw.. dan sekali lagi dia belum mengecewakan gw, mulai dari Lost In Translation, Girl with a Pearl Earring, film-apa-itu-tentang-sekelompok-anak-SMU-yang-mau-nyolong-bahan-ujian-SAT, dan In Good Company.

Delicate, close to boring drama
Beberapa menit awal, gw disuguhi sama adegan2 yang membosankan, kita lihat John Travolta (Bobby Long), dimakan umur, dan alkohol, arthritis mungkin, pokoknya semua simptom degenerasi orang-orang berumur, di sebuah lingkungan yang bergerak malas. Kita mengikuti gerak kakinya menyusuri kota menuju ke sebuah pemakaman seseorang yang sepertinya punya peran cukup penting di komunitas kecil kota tersebut.

Seseorang yang dimakamkan tersebut adalah ibu dari Pursy Will (Scarlett Johansson) yang sebenernya kurang bisa dijustifikasi sebagai hubungan ibu-anak pada umumnya. Tapi meskipun keterasingan itu begitu kental antara keduanya, tetap saja seorang anak harusnya juga merasa kehilangan begitu ibu kandungnya meninggal. Dan begitu pula yang dialami tokoh kita, Pursy ini, drop-out dari kelas 9, dia tinggal bersama pacarnya yang merasa tidak perlu memberitahukan ihwal kematian sang ibu pada Pursy sehingga, meski Pursy bergegas menuju kota tempat ibunya tinggal, dia sudah terlambat satu hari untuk menghadiri pemakamannya.

Ketika ia sampai di rumah mendiang ibunya, ia bertemu dengan dua pria, Bobby Long (John Travolta), obnoxious old-man who was surprisingly an English professor dan seorang asisten-nya yang sama-sama pemabuk dan juga mengalir dalam pace yang sama dengan sang profesor, malas, dan santai. Mereka (Bobby dan asistennya) berbohong kepada Pursy bahwa ibunya Pursy mewariskan rumahnya kepada mereka bertiga. Padahal sesungguhnya, kedua orang pria ini tidak berhak sama sekali terhadap rumah tersebut. Dan, ketika Pursy memutuskan untuk tinggal, batasan-batasan baru pun mesti diciptakan di antara mereka bertiga dan tentu saja, eventually dilanggar, dan memnciptakan sebuah hubungan yang mulanya kikuk, tidak nyaman, menjadi saling terbuka dan seterusnya. Ah, i could bet you some money, you'd have guessed the eventuality of the story right.

Scarlett!
Image hosted by Photobucket.com
Seperti film-tentang-anak-SMU ah, i remember it, it was The Perfect Score, film ini tidak akan mencapai rating tiga andai tidak ada Scarlett Johansson.. true true John Travolta adalah the leading cast dan setiap kali lampu sorot sering mengarah ke arahnya, tapi keseluruhan panggung justru dikomandoi oleh Scarlett Johansson. Di film-film sebelumnya, gw demen sama dia yang tidak terlalu banyak omong. Sepertinya dia cukup bisa mengekspresikan semua emosi yang dibutuhkan script lewat raut muka yang memang sudah unik. Tapi di sini, gw melihat sisi gelap bulan dari seorang Scarlett from an innocent young girl to a desperate adolescence girl. Bahkan segera setelah Pursy muncul di pintu rumah mendiang ibunya, ketertarikan gw lebih kepada bagaimana personaliti Pursy kemudian berubah dari perasaan terbuang, penyesalan ketika ia berkenalan dengan penduduk kota yang kemudian menceritakan sedikit tentang ibunya, dan terakhir sense-of-belonging ketika akhirnya ia tidak lagi living-in-the-moment, tapi punya tujuan, cita-cita dan terutama 'keluarga-besar'. Nice. Lovely. So that's it, klimaksnya harusnya berhenti di situ, tapi tentu saja masih ada beberapa menit lagi sisa film. Dan apa yang kita dapat? Sebuah twist yang sangat lemah yang buat gw justru merusak mood dari film yang sudah dibangun rapi (dan sendiri) oleh Pursy Will. Tapi balik lagi ke kalimat awal gw, persis seperti The Perfect Score, Scarlett Johansson berdiri sendirian di film ini dan ujung2nya membantu mengkatrol mood gw untuk film ini secara keseluruhan.

Oh ya, musik New Orleans yang ada di film ini, semuanya asik punya... mirip2 kaya Norah Jones tapi lebih... hmm... maskulin?. Ya, pokoknya gitu deh.