Monday, January 31, 2005

Screening Log Column #4

Babblings:

Gw terperangkap sakit seminggu yang lalu, sehingga edisi Column #3 tidak sepenuhnya lengkap, lebih jauh lagi dari hari Selasa sampai Jum'at gw ga nonton film sama sekali. Tapi, hari Jum'at, tepat jam empat sore, gw dapet ide dan mulai menulis apa yang menjadi - mudah-mudahan - cerita pertama gw. I've finished one chapter with 7 pages long on each, and currently working on the second. Gw sendiri ga tau ceritanya bakalan seperti apa meskipun gw udah bisa kebayang beberapa possible endings. Sebenernya gw pengin ngepost chapter pertama di sini. But then again, mungkin nanti, gw ga mau nantinya tiba-tiba berhenti di tengah jalan seperti kebanyakan cerita yang gw mulai tulis. Mungkin nanti, setelah gw masuk chapter 6 atau 7. Okay, let's kick off this edition of Column.

Weekend U.S Box Office (Jan 28 - 30):
#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Hide and Seek - US$ 22 mills - US$ 22 mills
2. - Are We There Yet? - US$ 17 mills - US$ 39.1 mills
3. - Million Dollar Baby - US$ 11.8 mills - US$ 21.1 mills
4. - Coach Carter - US$ 8 mills - US$ 53.5 mills
5. - Meet the Fockers - US$ 7.6 mills - US$ 257.9 mills
6. - The Aviator - US$ 7.5 mills - US$ 68.1 mills
7. - Sideways - US$ 6.3 mills - US$ 40 mills
8. - In Good Company - US$ 6.2 mills - US$ 35.9 mills
9. - Racing Stripes - US$ 6 mills - US$ 34.5 mills
10. - Assault on Precinct 13 - US$ 4.2 mills - US$ 14.7 mills

Yes, for once I was right. Minggu lalu gw memprediksi Hide and Seek bakalan bisa mencapai puncak. Dan ya, dengan aktor sekualitas Robert De Niro dan Dakota Fanning, sulit rasanya untuk tidak menjadi yang terbaik di minggu ini. Buat Robert De Niro, ini merupakan 'comeback'-nya ke box-office setelah minggu lalu, Meet the Fockers yang cukup digdaya selama tiga minggu berturut-turut digusur sama Are We There Yet?-nya Ice Cube yang sekarang ada di posisi ke-2. What a 'comeback' I say, cuman butuh jeda seminggu buatnya untuk kembali ke posisi ke-1 box office.

Film baru lain yang juga dirilis minggu ini malah ndak ketahuan di 10 besar. Juga koheren dengan prediksi gw minggu lalu. Uwe Boll masih ga kapok dengan jebloknya House of the Dead. Besutannya yang terbaru, Alone in the Dark yang juga jadwal rilis wide tanggal 28 Januari sama sekali ndak kelihatan batang hidungnya di top 12. Semakin kasian melihat Christian Slater yang supposedly menggunakan film ini sebagai titik baliknya sebagai aktor. Dan seakan tidak cukup, Uwe Boll juga tengah mempersiapkan film berikutnya yang juga diadaptasi dari game, Bloodrayne dibintangi oleh si seksi Kristianna Lokke yang maen di T3 sebagai musuhnya Arnold. Ck.. ck.. tak cukupkah para produser itu menutup mata mereka dan menyadari bahwa si Uwe Boll tidak lebih dari pembuat film yang sangat sangat buruk. Hell, maybe i can even do better.

Another expected expectation came to realization, ketika pengumuman nominasi Oscar membantu film-film yang dinominasiin menarik penonton lebih banyak. Million Dollar Baby, Sideways dan The Aviator masing-masing naik posisinya di 10 besar Box-office. Way to go!.

Later this week, pecinta film disuguhi dua film yang bergenre tolak belakang. Boogeyman, horor, dan The Wedding Date, komedi romantis. Tak banyak yang bisa gue ceritain soal kedua film ini. Hell, bahkan nama-nama aktris-nya (kecuali Lucy Lawless yang punya peran minor di Boogeyman) dan sutradara-nya ndak familiar. Jelas dong, kalo gw ragu akan kiprah mereka di box-office minggu ini. Itu untuk yang rilis wide. Yang rilis limited diantaranya ada Nobody Knows, film Jepang yang pengen gw cari sebenernya soalnya banyak yang bilang bagus. Bahkan diputer di Jiffest segala kemaren. Nobody Knows bercerita soal empat bersaudara yang tiba-tiba ditinggalin ibunya sementara selama ini ibunya berusaha agar empat orang ini tidak 'exist'. Jadilah mereka berjuang sendiri untuk hidup. Hmm.. kelam, pasti kelam.

Screening Log Movie of the Week:

Dulu, pas gw masuk SMA kelas 1, gw bisa dibilang sebagai orang pelit. Uang saku gw sering habis untuk maen band, beli kaset, atau nyewa Laser Disc. Pas waktu itu (sebelum satu-satunya penyewaan Laser Disc di kota gw gulung tikar), gw sempet minjem Heat dan Se7en yang keduanya lantas menjadi film-film yang gw sukai. Heat in particular, sangat memorable buat gw. Dibintangi oleh aktor-aktor favorit gw saat itu, is and still now, Robert De Niro dan Al Pacino, ada tiga adegan yang selalu gw ingat dan membuat gw menganggap Heat adalah salah satu film heist terbaik. (1). Adegan perampokan di awal film, adegan ini menjadi pembuka yang mantap dan menjanjikan bahwa film ini akan jadi film aksi yang bagus, meskipun kenyataannya berkata lain. (2). Adegan kopi di tengah film, adegan ini adalah "clash-of-characters" yang memorable di mana masing-masing pihak (De Niro dan Pacino) yang bermusuhan mengungkapkan filosofi dan keinginan mereka dalam melaksanakan tugasnya. Gw inget, gw dag-dig-dug banget pas di adegan itu, dah beberapa dialognya yang berikutnya akan menimbulkan kontradiktif karakter di antara keduanya nanti. Dan (3) adegan terakhir. Jelas. Bisa dianggap sebagai klimaks, dari sebuah drama yang bagus, atau anti-klimaks dari sebuah aksi yang membosankan, tergantung bagaimana penonton melihat film ini. Gw yang menganggap bahwa ini adalah film drama yang bagus, tentu saja terkesima dengan adegan terakhirnya. Kesedihan Al Pacino yang kehilangan musuh besarnya, yang sebenernya meringankan pekerjaannya tapi ironisnya juga seperti kehilangan sahabat, bahkan saudara. Kentara banget dengan karakter-nya yang ditekankan oleh Michael Mann (juga menyutradarai Collateral) sebagai seorang polisi yang work-aholic dan kesepian.

From the Screening Log:

Hereby, i declare it as the miserable week. Dimulai dengan bagus oleh film-nya Martin Scorcese, Goodfellas (1990), minggu ini ditutup dengan kekecewaan. Goodfellas mungkin buat gw adalah film gangster terbaik sejak Godfather part. II berfokus pada seorang anak muda yang sedari kecil sudah ingin jadi mafia sampai mencapai kesuksesan dan lantas jatuh berantakan (Ray Liotta), Goodfellas menunjukkan kemampuan Scorcese dalam menyajikan visual yang stunning. One memorable of this film was the very long shot yang mengikuti Jimmy (Robert De Niro) masuk bar dan menyalami semua orang yang ada di dalam bar itu. A Very Long Shot (maybe as long as 1 minute), with no cuts in the middle. Spesial kredit untuk Danny De Vito yang kocak sekaligus sangar.

Kontras dengan Goodfellas, Catwoman boleh gw bilang nyaris ndak ada shot yang lebih dari satu detik. Film ini bahkan bisa gw bilang bukan motion-picture atau gambar bergerak, tapi malah lebih kaya still photograph cycled in a very fast speed. Pusing. Kualitas akting-nya? jangan tanya deh. Benjamin Bratt, entah canggung gara-gara Halle Berry atau ga bisa akting, atau dua-duanya tidak kelihatan seperti aktor. Sharon Stone juga tampil flat. Maunya jadi penjahat yang licik dan menakutkan tapi malah jadi lucu. Halle Berry? ummm, her *meow* at some point really really annoys me. But on top of it all, gw paling gedeg sama pengambilan gambarnya. Switching like crazy. Pitof, nama sutradaranya harus ganti nama untuk proyek selanjutnya. Jangan sampai kaya Uwe Boll yang udah gw cap sebagai sutradara yang tidak layak.

Hari Sabtu, temen-temen gw dateng ke kos, bersama kita nonton tiga film berturut-turut (o yea, three!), Kung Fu Hustle, One Missed Call dan The Grudge. Kung Fu Hustle, film barunya Stephen Chow (disutradarai olehnya) mengecewakan buat gw. Tidak sekonyol dan se-fun Shaolin Soccer, gw juga tiba-tiba merasa bosan dengan gaya gambarnya Stephen Chow di setengah akhir, untungnya Beast muncul, jadinya agak-agak berkurang bosan gw. One Missed Call, film horor Jepang besutan Takashi Miike. Gw beli film ini karena Takashi Miike, dia yang bikin film-film dengan tema aneh yang biasanya melibatkan kekerasan kaya Ichi The Killer, Audition, dan Visitor Q (gw punya tiga-tiganya), tapi gw bosan dengan One Missed Call. Tidak ada kematian yang menakjubkan, tidak ada penyiksaan, tidak ada mutilasi, hanya hantu penasaran (ya, ya, dengan rambut menggantung, dan mata membelalak, i've seen it soooo many times) dan ending yang ga jelas. Flat. The Grudge, juga tidak menjanjikan apa-apa, hanya remake shot per shot dari serial aslinya, gw lebih bisa menikmati versi aslinya. Selain itu tidak ada yang lebih menakutkan dari The Grudge yang bisa dinikmati. Orang2 Amerika jelas suka The Grudge karena mereka tidak pernah nonton Ju-On yang asli.

The Stepford Wives. Honest, i was enjoying this movie. Setelah dihajar berturut-turut oleh film-film yang membosankan, The Stepford Wives ternyata cukup ampuh buat jadi Redemption. Nicole Kidman tampil seperti biasanya, sedikit berlebihan, with that round face of her, which she used to its extreme measurement in the movie, was likeable at best, but absolutely not in one of her best performances. The Stepford Wives, however, mampu mengantarkan ke-satir-an dan isu feminisme. Gw sendiri sebagai cowok, bahkan sempat simpati kepada para istri dan despised the husbands. And all the over-the-top performances was actually adds the fun. All in all, The Stepford Wives was a successful comedy. And i love it.

Sore dewa, that's a wrap for this edition.

Friday, January 28, 2005

Oscar Nominations

Finally, the nominations announced. Berikut nominasinya, walau hanya beberapa yang gw anggap interest terbaik.

Best Picture
The Aviator
Finding Neverland
Million Dollar Baby
Ray
Sideways

Actor In A Leading Role
Don Cheadle, Hotel Rwanda
Johnny Depp, Finding Neverland
Leonardo DiCaprio, The Aviator
Clint Eastwood, Million Dollar Baby
Jamie Foxx, Ray

Actress In A Leading Role
Annette Bening, Being Julia
Catalina Sandino Moreno, Maria Full of Grace
Imelda Staunton, Vera Drake
Hilary Swank, Million Dollar Baby
Kate Winslet, Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Actor In A Supporting Role
Alan Alda, The Aviator
Thomas Haden Church, Sideways
Jamie Foxx, Collateral
Morgan Freeman, Million Dollar Baby
Clive Owen, Closer

Actress In A Supporting Role
Cate Blanchett, The Aviator
Laura Linney, Kinsey
Virginia Madsen, Sideways
Sophie Okonedo, Hotel Rwanda
Natalie Portman, Closer

Directing
Martin Scorsese, The Aviator
Clint Eastwood, Million Dollar Baby
Taylor Hackford, Ray
Alexander Payne, Sideways
Mike Leigh, Vera Drake

Lima tahun terakhir kita menyaksikan perebutan Best Picture Oscar secara 'biasa'. Dalam artian pemenangnya sudah bisa ditentukan jauh-jauh hari. Tahun lalu, siapa sih yang ngejagoin "The Lord of the Rings: The Return of the King"?. Dua tahun lalu, meskipun banyak yang ndak setuju, siapa pula yang tidak menjagoin "Chicago"? soalnya sudah nyaris udah jadi rahasia publik kalau film musikal selalu jadi favorit. Say, "Moulin Rouge", atau "The Sound of Music", atau "Gigi". Tahun ini, mungkin sejak 1999 ada perlombaan yang cukup ketat. Di tahun 1999, gw masih ingat menjadi pembenci Gwyneth Paltrow - yang juga menang Best Actress - ketika film yang dibintanginya, "Shakespeare In Love" mendapat Oscar Best Picture mengalahkan film-film macam, "Saving Private Ryan" dan "Shawshank Redemption". Perlu diketahui, "Shawshank Redemption" juga adalah salah satu dari sepuluh besar film terbaik sepanjang masa buat gw.

Tahun ini, "The Aviator" meskipun menang Golden Globe perlu mewaspadai "Sideways" yang juga menang Golden Globe untuk komedi. Kerugiannya, cuma sembilan film komedi yang berhasil memboyong Oscar sejak tahun 1934. Dan ditambah pula "The Aviator" adalah satu-satunya film epik tahun ini yang masuk nominasi. Dan Film Epik selalu jadi favorit. "Lord of the Rings"? anyone? nod. nod. Pasar taruhan di London - yang selalu mempertaruhkan hampir segalanya - juga menjagokan "The Aviator".

Untuk aktor terbaik, gw rasa Jamie Foxx bakalan out-perform Leonardo DiCaprio meskipun keduanya menang Golden Globe untuk drama dan komedi, respectively. Out of my respect to DiCaprio, i personally thought that he's no better than a child actor. Therefore, nowhere near as good as Foxx.

Aktris terbaik, Hillary Swank. Gw rasa hampir pasti. Tahun lalu, Charlize Theron menang lewat "Monster" lewat performanya yang tidak feminin. Tahun ini, gw rasa Hillary Swank (yang jadi petinju di "Million Dollar Baby" bakal mengikuti jejaknya dan mendapat pengakuan yang sama seperti yang didapat Theron tahun lalu). Dan yes, Kate Winslet masuk nominasi best actress pula lewat my favourite film of the year 2004 thus far, "Eternal Sunshine of the Spotless Mind". Pasar taruhan London, however menjagokan Annette Benning.

Untuk supporting role Actors, meskipun Jamie Foxx juga dinominasiin buat jadi pemenang lewat "Collateral", opini publik ditambah penghargaan Golden Globe gw rasa membuat Clive Owen ("Closer") bisa pulang dengan Oscar di tangan. Gw sendiri belum nonton, jadi ndak bisa komen macem-macem. Untuk Actress, gw rasa tak perlu diperdebatkan lagi. Satu-satunya aktris favorit gw, yang gw suka karena kualitas aktingnya bukan karena kualitas fisik atau putusnya saraf malu mereka. Yes, Cate Blanchett. Natalie Portman memang menang Golden Globe dan tampil berani di "Closer". Tapi, gw ga rela kalo aktris favorit gw, Cate Blanchett dilangkahi untuk ketiga kalinya di ajang ini (that son-of-a-**** Gwyneth Paltrow took her Oscar back in 1999).

Best Director. Jelas Martin Scorcese. Mungkin sebagai sutradara pemegang rekor sebagai sutradara yang selalu diremehkan di ajang Oscar. Tahun 1974 "Mean Street" tidak dapat nominasi sama sekali. Tahun 1976, "Taxi Driver" cuma nominasi, kalah sama "Rocky". Tahun 1980, "Raging Bull" (belum nonton) dapat nominasi best picture dan best director tapi kalah sama Robert Redford dan "Ordinary People". 1988, "The Last Temptation of Christ" (belum dan ndak mau nonton) kalah sama Barry Levinson, "Rain Man" yang emang bagus. Tahun 1990, "Goodfellas" (buat gw, film mafia terbaik setelah "Godfather part.II") nominasi best picture dan best director tapi kalah sama Kevin Costner dan "Dances with Wolves". Dan tahun 2003, film terbaik buat gw di sepanjang tahun 2002 "Gangs of New York" dapet nominasi best picture dan best director tapi kalah oleh Roman Polanski dari "The Pianist" yang gw ga tertarik buat tonton dan "Chicago". Gw rasa, dan kalau gw jadi orang yang mengontrol penghargaan Academy, gw bakal memerintahkan supaya Martin Scorcese menang Oscar untuk Best Director.

Penyerahan nominasi diberikan pada tanggal 27 Februari.

Tuesday, January 25, 2005

Screening Log Column #3

Babblings:

Hm, baru tau kemaren kalo Gunung Kelud mulai menunjukkan tanda-tanda keaktifannya. Gw inget banget dulu waktu gw masih kelas 4 SD, Gunung Kelud meletus. Prevensi bencananya sebenernya sudah bagus sehingga most likely, lahar panas / dingin yang muntah dari perut Kelud tidak akan sampai membahayakan Kota Blitar (my lovely, and peaceful hometown). Tapi tentu saja, abu yang menyembur dari gunung tersebut tentu tidak bisa dielakkan. Mudah-mudahan abunya tidak sampai membuat rumah gw roboh. Ah well, mungkn dalam satu - dua minggu ini gw akan pulang kampung.

Weekend U.S Box Office (Jan 21 - 23):

#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Are We There Yet? - US$ 18.5 mills - US$ 18.5 mills
2. - Coach Carter - US$ 10.5 mills - US$ 42.7 mills
3. - Meet the Fockers - US$ 9.6 mills - US$ 247.2 mills
4. - In Good Company - US$ 7.9 mills - US$ 27.4 mills
5. - Racing Stripes - US$ 6.8 mills - US$ 27 mills
6. - Assault on Precinct 13 - US$ 6.5 mills - US$ 8 mills
7. - White Noise - US$ 4.9 mills - US$ 49.3 mills
8. - The Aviator - US$ 4.8 mills - US$ 58 mills
9. - Andrew Floyd Weber's Phantom of the Opera - US$ 4.5 mills - US$ 33 mills
10. - Elektra - US$ 3.9 mills - US$ 33 mills

Yare yare, badai salju di Midwest membuat perolehan box-office untuk minggu ini sedikit tersendat. Dan oh my, orang Amrik kayaknya lagi butuh komedi, sehingga film barunya Ice Cube, Are We There Yet? yang jelas-jelas mengusung genre komedi keluarga bisa mendapatkan 18,5 juta dolar untuk duduk di posisi no.1, menggeser Samuel L.Jackson dengan Coach Carter-nya.

Film 'baru' yang lain, Assault on Precinct 13 yang tidak sepenuhnya baru karena merupakan 'remake' dari 'cult-classic' 1976 ternyata tidak begitu disambut antusias oleh penonton yang nge-fans seri originalnya. Terbukti cuman duduk di no.6 yang bahkan lebih rendah dari Racing Stripes.

Keberhasilan Meet the Fockers yang masih bertahan di posisi ke-3, menunjukkan bahwa Amerika memang masih ingin melihat komedi. Komedi ini sekarang malah sudah menggeser Bruce Almighty untuk duduk di posisi ke-2 film live-comedy terlaris sepanjang masa, sedikit dibawah Home Alone.

Seperti biasa, rubrik ini selalu ditutup dengan semacam prediksi untuk minggu depan. Dan seperti biasa pula, seperti telah dibuktikan di edisi-edisi awal, 'prediksi' gw tidak pernah tepat. Tapi whatever, i say what i wanted to say. It's my privilige anyway. Gw minggu ini (atau untuk edisi minggu depan) menjagokan Hide and Seek sebuah thriller yang dibintangi oleh salah satu aktor favorit gw, Robert De Niro dan aktris cilik favorit gw, Dakota Fanning. Si Fanning ini sudah terbukti mampu beradu akting dengan orang dewasa dengan sangat bagus (ingat: "Man On Fire") jadi sepenuhnya wajar kalau gw bilang film ini bakal jadi thriller wajib-tonton buat gw. Tapi, mengingat beberapa minggu ini, Amerika menginginkan komedi, maka agak susah juga kiprahnya meski dua minggu lalu, tahun 2005 dibuka dengan film thriller, "White Noise". Yang kedua, Alone in the Dark Gw pengen nonton film ini, bukan di bioskop pasti, bukan pula di DVD bajakan, soalnya gw cuma pengen ketawa nonton film ini. Film ini dibikin oleh Uwe Boll, sutradara yang sukses menghancur-leburkan "House of the Dead" dan membuat nya sebagai satu-satunya film yang gw tonton cuma 10 menit untuk dicaci. Persamaannya, kedua film ini adaptasi dari game, jadi wajar juga kalau gw menganggap film ini bakal 'hancur-lebur' seperti pendahulunya. Yang bikin gw heran, "House of the Dead" dianggap lumayan oleh sebuah majalah film, yang membuat gw akhirnya ndak mau beli majalah film itu lagi sampai sekarang, dan ditampilin pula sama studio 21. Bener-bener deh.

Screening Log Movie of the Week:

Merayakan keberhasilan The Aviator di Golden Globe membuat gw pengen menulis tentang sesuatu yang berhubungan dengan Martin Scorcese sebagai Movie of the Week minggu ini. Dan pilihan gw jatuh ke Gangs of New York . Seperti gw udah bilang sebelumnya, film ini mengenalkan gw kepada Martin Scorcese dan mengubah pandangan gw terhadap Leonardo Di Caprio sepenuhnya. Film ini dibuka dengan adegan yang luar biasa, dan memorable buat gw. Adegan itu gw kasih nama "Battle at Five Points". Pertempuran ini luar biasa brutal soalnya hand-to-hand dan outcomenya membuat salju jadi merah. Film ini juga salah satu film pertama yang gw review, salah satu film pertama yang gw anggap punya aktor yang sangat bagus, Daniel Day-Lewis. Man, this guy was sooo intimidating that i felt sorry for Di Caprio. In short, i love this movie like there is no other movies like it.

From the Screening Log:
Sebelumnya gw minta maaf, soalnya rubrik ini gw biarkan seperti apa adanya sekarang. Tidak sempat. Mungkin besok. But anyway, minggu ini Screening Log cuma merayakan Cellular thriller yang lumayan, meski flat dan tidak mengejutkan, Anchorman film komedi dengan cameo yang buanyak banget, The Terminal yang sekali lagi mengeksploitasi kemampuan monolog Tom Hanks, dan The King of Comedy film tahun 1982, besutan Martin Scorcese. Mudah-mudahan besok sudah bisa update article ini.

Monday, January 17, 2005

Screening Log Column #2

Babblings:

Gw musti berhenti minum teh kotak sebelum naik kendaraan. Gw perhatiin setiap kali gw minum teh kotak sebelum naik kendaraan, perut gw rasanya mules dan aneh. I can't stop bleaching dan itu sangat sangat tidak nyaman. Baik buat gw ataupun buat orang lain.

Special Coverage:

62nd Golden Globe Awards. Seandainya ada penghargaan film yang mendekati penghargaan tertinggi, Academy Awards, tentunya Golden Globe tidak bisa diremehkan. Diselenggarakan oleh Hollywood Foreign Press Association, Golden Globe diselenggarakan 1-2 bulan sebelum Academy dan acap kali dianggap sebagai barometer dari film tersebut terhadap penilaiannya di Academy. Tahun lalu, kita menyaksikan The Lord of the Rings: Return of the King sebagai pemenang Best Dramatic Film di Golden Globe dan ultimately juga meraih Best Picture di Academy. Tahun ini? Here's the list of some of the winners (untuk kategori film saja):
Best Dramatic Film - The Aviator
I found it no surprise here. Martin Scorcese sukses mengubah image Leonardo Di Caprio di mata gw lewat "Gangs of New York", and he was one of my favourite directors among others. Gw masih menunggu film-nya sih, entah di 21, Glodok, atau internet. Mudah-mudahan bukan untuk waktu yang lama.
Best Comedy / Musical Film - Sideways
Best Director - Clint Eastwood (Million Dollar Baby)
Udah saatnya.
Best Actor for Dramatic Role - Leonardo Di Caprio (The Aviator)
All the more reason for me to wait for The Aviator.
Best Actor for Comedy / Musical Role - Jamie Foxx (Ray)
Udah gw prediksi jauh-jauh hari. Kandidat kuat buat Oscar mungkin.
Best Actress for Dramatic Role - Hillary Swank (Million Dollar Baby)
Best Actress for Comedy / Musical Role - Annette Benning (Being Julia)
Best Supporting Actor - Clive Owen (Closer)
Best Supporting Actress - Natalie Portman (Closer)
Well, that's the list folks. Gw cuman rada kecewa soalnya film "Eternal Sunshine.." tidak mendapatkan satu penghargaan pun. Sebenernya sih gw prediksi "Eternal Sunshine.." dapat satu award buat screenplay lewat Charlie Kauffman. Cuman award itu dicomot oleh Jim Taylor / Alexander Payne lewat "Sideways".

Weekend U.S Box Office (Jan 14 - 16):

#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Coach Carter - US$ 23.6 mills - US$ 23.6 mills
2. - Meet the Fockers - US$ 19 mills - US$ 230.8 mills
3. - Racing Stripes - US$ 14 mills - US$ 14 mills
4. - In Good Company - US$ 13.9 mills - US$ 14.4 mills
5. - Elektra - US$ 12.5 mills - US$ 12.5 mills
6. - White Noise - US$ 12.2 mills - US$ 41.2 mills
7. - The Aviator - US$ 4.7 mills - US$ 49.9 mills
8. - Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events - US$ 3.9 mills - US$ 110 mills
9. - Andrew Floyd Webber's Phantom of the Opera - US$ 3.5 mills - US$ 26.4 mills
10. - Ocean's Twelve - US$ 2.8 mills - US$ 119.8 mills

My, my, terlihat jelas bahwa gw memang masih belum bisa menyisihkan perasaan pribadi gw dalam memprediksi film. Kalau minggu lalu gw dengan PeDe-nya memperingatkan Meet the Fockers untuk berhati-hati terhadap Elektra, tapi kenyataannya minggu ini penonton bioskop di US lebih memilih untuk menonton Coach Carter, film terbarunya Samuel L. Jackson. Mungkin karena kisahnya yang lebih dekat dengan masyarakat Amerika (Coach Carter diangkat dari kisah nyata) sehingga penonton (di US) lebih suka melihat-nya dari pada aksi Jennifer Garner. Quote dari Wesley Morris, "...the only difference between Garner's new movie and her four-year-old television show is that the movie is boring.". Ah well, i'm going to watch it anyway.

Minggu ini juga menyaksikan dua film baru selain Coach Carter dan Elektra. Well, satu film, In Good Company sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Film komedi yang mengisahkan persahabatan dua orang pekerja yang istilah Amrik-nya, "trying to make the end meets" dan dibintangi oleh Dennis Quaid, Topher Grace, dan Scarlett Johannson ini memang baru dirilis bebas di minggu ini. Satu lagi adalah film keluarga, Racing Stripes yang seperti kebanyakan film keluarga yang melibatkan hewan, gw yakin tidak akan memberikan kejutan.

Dari chart di atas sebenernya 4 dari top-5 film adalah film baru. Namun, ke-4 film ini tidak cukup untuk menghentikan Meet the Fockers yang meskipun harus menyerahkan posisi no.1-nya kepada Coach Carter tetep sehat di posisi ke-2. Untuk minggu ini, ada dua film baru yang dirilis wide. Di hari Rabu, ada re-make thriller sukses Assault on Precinct 13 dengan Ethan Hawke, dan Laurence Fishburn dan di hari Jum'at ada komedi baru dari Ice Cube, Are We There Yet?. Kecuali kalau Assault on Precinct 13 terbukti tidak mengecewakan fans film original-nya, maka boleh jadi Meet the Fockers atau film-film yang dirilis minggu lalu bisa tetep berbuat banyak. However, hasil dari Golden Globe Awards juga tidak bisa diremehkan. Bisa jadi, The Aviator yang masih diputar di bioskop mampu menarik penonton kembali. It's all remain to be seen though.

Screening Log Movie of the Week:

21 Grams. Film yang sangat enak untuk disimak. Dengan storyline khas Alejandro Gonzales Innaritu (sang sutradara) dan aktor-aktris istimewa (especially, Bennicio Del Toro dan Naomi Watts), kelemahan film ini bagi gw hanya pada aspek filosofis yang abstrak dan kabur, yang mungkin sebenarnya lebih disebabkan karena otak gw udah capek untuk menjaga agar alur logis tidak lepas kemana-mana. Beberapa akan menemukan kisah tiga orang yang masing-masing terkait dengan sebuah kecelakaan mobil menyentuh dan membuat penonton serasa berada di dalam alurnya, namun beberapa juga akan menganggap 21 Grams terlau exaggerating dan pada akhirnya kehilangan esensi karakter dan pesan humanisme-nya karena terlalu berat digelayuti muatan filosofis. Apapun anggapan-nya, gw tetap merasa 21 Grams merupakan salah satu pengalaman terbaik gw dalam menikmati sinema.

From the Screening Log:

Minggu ini, Screening Log mempersembahkan, Amores Perros, Misery, Without a Paddle, The Princess Diaries 2: Royal Engagement, Mulan 2, dan Paparazzi.

Dari sutradara yang membawa 21 Grams, Alejandro Gonzales Innaritu, Amores Perros (2001) adalah film pertama yang digarap dan dirilis oleh Innaritu. Meskipun cetak birunya mirip sekali dengan 21 Grams, kisah tiga orang manusia yang kisahnya taut-berpaut melalui sebuah kecelakaan mobil, gw suka Amores Perros lebih dari 21 Grams dari berbagai aspek. Memang, storyline-nya lebih sederhana dari 21 Grams, bahkan Amores bisa dibagi ke dalam tiga episod berbeda yang masing-masing nyaris secara naratif independen terhadap dua episod lainnya. Muatan filosofisnya juga lebih ringan dan lebih jelas daripada 21 Grams. Tapi, justru itulah yang membuat film ini istimewa. Gw menemukan diri gw hanyut dalam kisahnya. Meskipun ada kecenderungan untuk turun gunung (secara kualitas) di episode ke-2, klimaks dari Amores sendiri mampu naik dan menyimpulkan kisah tiga orang pelaku episod-nya dengan resolusi unik masing-masing yang bebas untuk diintepretasikan oleh penonton. Hanya satu yang menyamakan ketiga orang ini, takut. Rasa takut karena terlupakan. Another magnificent adventures in cinema, but as yet, gw ga setuju kalau film ini disebut sebagai "Mexican Pulp Fiction".

Pelaku sinema tampaknya tak pernah kapok untuk mengadaptasi karya-karyanya Stephen King meskipun kebanyakan dari film-film hasil adaptasi tersebut jeblok di pasaran. Misery (1990) adalah satu dari sedikit film adaptasi tersebut yang memperoleh pengakuan. Paling tidak, di film ini pengakuan tersebut datang kepada Kathy Bates, pemeran Annie Wilkes dalma bentuk Oscar untuk Best Actress. Secara keseluruhan, kualitas film ini sebenarnya nowhere near the book. Penderitaan Paul Sheldon, penulis yang secara mental (dan fisik) tertekan kurang bisa disampaikan oleh James Caan. Thriller-thriller-nya juga kurang greget, beberapa bagian yang menurut gw penting untuk menaikkan tensi ketegangan justru dihilangkan. Usut punya usut, mereka dihilangkan karena dianggap terlalu sadis. Wajar. Sinema Hollywood masih belum se-vulgar film-film cult buatan Jepang. But anyway, Kathy Bates, si pemeran Annie Wilkes memang luar biasa. Karakter-karakter ciptaan Stephen King adalah karakter-karakter biasa dengan bentuk fisik yang cenderung kurang, tak terkecuali Annie Wilkes. Tapi, tunggu dulu, Annie Wilkes versi Kathy Bates ini lain, tidak seperti Annie Wilkes versi Stephen King. Annie Wilkes di film ini bisa tampil manis sehingga Paul (dan penonton) bisa percaya akan kebaikan hatinya, tapi sedetik kemudian ia bisa tampil layaknya seorang psikopat profesional. Kejam, tapi tenang. Dan Kathy Bates sukses dalam menterjemahkan dua sisi koin Annie Wilkes ini ke layar. Secara keseluruhan, film ini tidak sebagus adaptasi Stephen King lainnya, The Green Mile apalagi bila dibandingkan dengan adaptasi Stephen King terbaik, The Shawshank Redemption. But nonetheless, this film is enjoyable.

Without a Paddle dan The Princess Diaries 2 buat gw jatuh ke area yang sama. Mereka berdua adalah drama-komedi yang flat, tidak lucu, dan nyaris tidak kemana-mana. Kalau Without a Paddle mencoba menyuguhkan pentingnya persahabatan untuk tiga orang pemuda biasa (i called them, 'Dumb, Dumber, and Dumbest') dalam sebuah petualangan yang muskil dan komik, maka Princess Diaries, seperti pendahulunya menyuguhkan pentingnya menjaga perasaan dalam sebuah hubungan dari seorang putri negeri antah berantah. Persamaannya, keduanya punya villain yang super-bodoh tapi sukses dalam pekerjaan mereka (di Without a Paddle, villain super-bodoh-nya punya ladang ganja yang hasil penjualannya sanggup memberi makan seluruh penghuni kamp pengungsi di Kenya, di Princess Diaries, villain super-bodoh-nya duduk di salah satu posisi penting di parlemen). Keduanya juga menceritakan pencarian jati-diri yang sukses (di Without a Paddle, ketiga karakternya berubah drastis, di Princess Diaries, seluruh negara Genovia berubah). Perbedannya, ini yang membuat gw menaruh Without a Paddle setengah tingkat lebih tinggi dari temannya. Di Without a Paddle, kita bisa lihat pesannya sampai walau dengan alis mata terangkat tanda tak percaya, kita bisa lihat masing-masing karakter-nya meski pretentous dan komik, masih believable. In the other hand, Princess Diaries was way too ego-centric, and selfish. Pada intinya, jika Without a Paddle seperti melunakkan kepingan puzzle untuk bisa sesuai dengan pasangannya, Princess Diaries adalah kepingan puzzle yang tidak mau sedikit pun untuk membelokkan kurva-kurvanya supaya bisa sesuai dengan pasangannya. "It's them that had to change, not I. For Lord's apple-pie, i'm the princess after all!". Puih. What a selfish and pompous princess you're. Overall, gw tidak merekomendasikan dua film ini.

Film Paparazzi punya durasi yang sangat pendek. Secara singkat, gw bilang film ini efektif untuk memprovokasi penonton supaya simpati semua terarah pada sang tokoh utama yang pada akhirnya bisa dijustifikasikan tindakannya yang acap kali membengkokkan pedang keadilan. Ceritanya sederhana, tentang kesulitan seorang aktor yang naik daun menghadapi serbuan Paparazzi sampai ketika ia sampai di titik di mana ia memutuskan "to get an even, even steven" dengan para paparazzi tersebut. Pretty crappy stuff for a film, tapi surprisingly film-nya enjoyable. Seperti yang telah gw sebutin di atas, film-nya cukup efektif untuk membuat kita merasa menderita, semenderita si tokoh utama, dan bersimpati padanya, dan memberkati apapun tindakannya. Villain-nya juga cukup OK, masih tetep bodoh tapi paling tidak, ia tidak punya hati. Ada satu adegan yang mencomot "Silence of the Lambs" (yang membuatnya sedikit tidak keren), emosi chemistry antara si tokoh dan keluarganya juga kurang terbangun, some funny cameos, dan ending-nya? well, seandainya gw punya keluarga seorang paparazzi, gw pasti akan diam-diam mengutuk si tokoh utama. Yang pasti ending-nya adalah dua sisi mata uang yang masing-masing bisa dibenarkan dan disalahkan di saat yang bersamaan. Thought provoking, meskipun film ini jelas-jelas berpihak pada si tokoh utama (aktor) dan jelas-jelas memberi statement bahwa Paparazzi itu adalah sekumpulan bajingan yang tidak perduli dengan privasi orang lain.

Judul ofisial-nya adalah Mulan II. Masih mengusung tema yang sama dengan instalasi originalnya - "True to your heart", kali ini Fa Mulan mendapat misi untuk mengawal tiga putri raja dalam sebuah arranged-marriage dengan putra mahkota kerajaan tetangga demi menjamin persekutuan yang diharapkan bisa menahan serbuan bangsa Mongol yang selalu mengancam. Kali ini Fa Mulan bersama General Shang yang kini menjadi tunangannya, dan masih bersama tiga pengawalnya.. hm? ya? tiga.. tiga putri.. tiga pengawal.. get it?. Pertunangan Fa Mulan dan General Shang ternyata membahayakan posisi Mushu, si naga iseng pengawal Mulan di film Mulan yang pertama oleh karenanya kemudian Mushu berusaha untuk membuat percikan api diantara Mulan - Shang demi menjamin posisinya. Sementara ketiga putri lambat-laun menemukan bahwa arranged-marriage bukan sesuatu yang mereka cari. It was love that they wanted. And so.. bla.. bla.. bla.. like all Disney's movies, the events tingled with each other and meets the end in a happy-happy-joy-joy for everbody to enjoy. Crappy.

Few, that was long... okay, that's a wrap for this week edition, i shall wrote again next week. Ta.. ta..

Monday, January 10, 2005

Screening Log Column #1

Weekend U.S Box Office (Jan 7 - 9):

#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Meet the Fockers - US$ 28.5 mills - US$ 204.5 mills
2. - White Noise - US$ 24 mills - US$ 24 mills
3. - The Aviator - US$ 7.6 mills - US$ 42.9 mills
4. - Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events - US$ 7.4 mills - US$ 105.5 mills
5. - Fat Albert - US$ 6 mills - US$ 41.2 mills
6. - Ocean's Twelve - US$ 5.4 mills - US$ 115.4 mills
7. - National Treasure - US$ 4.4 mills - US$ 160.7 mills
8. - Spanglish - US$ 4.4 mills - US$ 37.6 mills
9. - Andrew Floyd Weber's Phantom of the Opera - US$ 3.4 mills - US$ 21.5 mills
10. - Life Aquatic with Steve Zissou - US$ 2.6 mills - US$ 19.3 mills

Weekend pertama di tahun 2005 dimulai lambat dengan hanya satu judul dirilis wide di Amerika Utara. White Noise, drama thriller yang mengisahkan seorang arsitek (Michael Keaton) yang harus menghadapi kenyataan bahwa istrinya menghilang dan kemungkinan mati. Penyelidikannya membawanya berkenalan dengan fenomena EVP (Electronic Voice Phenomenon) ketika ia bertemu dengan seorang laki-laki yang mengklaim dia menerim EVP dari Anna, sang istri. Meski cukup kuat dengan opening 24 juta, dan praktis tanpa saingan di slot weekend yang bersangkutan, White Noise belum sanggup menggeser kepopuleran Meet the Fockers komedi terbaru Ben Stiller, sekuel dari Meet the Parents yang udah nangkring di posisi #1 box-office selama tiga minggu berturut-turut. Dengan super-star casts, Robert De Niro, Dustin Hoffman, dan kembalinya Barbara Streisand, cerita yang akrab dan menjual ditambah dengan trailer yang super lucu, komedi ini gw prediksi masih bakalan cukup kuat sampai dua minggu ke depan. Tapi minggu ini mesti hati-hati dengan Elektra yang sudah pasti ditunggu oleh penggemarnya (me included).

Screening Log Movie of the Week:

Datang dari tahun yang gw anggap sebagai "the golden year of movies" (1994) Screening Log memilih Natural Born Killers sebagai Movie of the Week. Mungkin ketika gw menonton film ini dulu, instead of now (actually i've seen it for quite some time) gw bakal menyerah di tiga puluh menit awal. Soalnya di film ini, Oliver Stone - sang sutradara - tidak cuma bikin film yang cuma menyuguhkan cerita dalam rantai adegan saja tapi di setiap mata-rantai-nya dia mencampur-adukkan berbagai macam esensi seni. Ujung-ujungnya, setiap adegannya exaggerating, berlebih, too-stylistic, very unreal yang malah membuat kebanyakan penonton, terutama penonton film-film summer ogah melihatnya. Now, the movie's cinematography is truly a brilliant. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang film (can somebody had that kind of thing, really?), sesorang bisa meng-observe kesatiran, maupun kritik dari Oliver Stone tentang komunitas barat lewat jukstaposisi dan simbolisme yang acap kali menghujat. Genre-nya pun bisa berubah-ubah dengan subtle dari tragis, komedi, drama sampai horor. Meskipun memang kekurangannya banyak, tapi secara sinematografi ini film luar biasa artistik.

From the Screening Log:

Minggu lalu, boleh dibilang minggu baca buku. Ada tiga buku yang secara simultan gw baca, Tom Clancy's Cardinal of the Kremlin, Stephen King's The Stand sama Robert Jordan's Wheel of Time: Part I - The Eye of the World. Trus gw juga mulai belajar Bahasa lagi (kali ini gw belajar bahasa Java 1.5 dan ngelanjutin belajar bahasa Jepang setelah terbengkalai berbulan-bulan). Alhasil cuma tiga film yang gw tonton selama satu minggu tersebut. Dua diantaranya film ringan yang bisa ditonton sambil merem. Yang pertama, Takeshi Kitano Dolls . Takeshi Kitano adalah salah seorang sutradara yang keberadaanya gw ketahui dari aktifitas gw di Internet. Ada yang bilang bahwa dia adalah salah satu sutradara Jepang terbaik saat ini. Jadinya sangat masuk akal kalo gw mencari-cari film karyanya. Dolls ini adalah film garapannya tahun 2002 yang populer di beberapa festival film internasional. Kadang kala ada beberapa film yang keberadaanya hanya sebagai media untuk senang-senang buat sutradaranya. Film-film ini kebanyakan cuman jadi film festival karena memang ketidak-menarikkan-nya yang membuat film ini dijauhi oleh komersialitas industri film. Dolls adalah salah satu dari film tersebut. Kitano membuat Dolls berdasarkan inspirasi dari Bunraku, seni tradisional Jepang yang mirip wayang. Sesi Bunraku ini diperagakan di awal cerita dan nyata bahwa cerita yang diusung oleh Kitano semuanya berkaitan dengan Bunraku ini. Namun, terus terang gw agak gagal melihat substansi dari Bunraku, apalagi untuk mengaplikasikannya ke cerita. Ceritanya sendiri ada tiga cerita independen yang masing-masing tampaknya tidak berkaitan satu sama lain. Gw udah berusaha untuk berpikir menarik benang merah dari tiga cerita itu tapi tetep gagal, mungkin yang paling mungkin adalah bahwa "Cinta itu butuh pengorbanan". Tapi tentu saja tidak perlu Kitano untuk menegaskan hal tersebut, bukan? Di luar itu, gw suka sama sinematografinya. Masih di bawah Kurosawa's Dreams tapi tetep beautifully stunning. Dan pemeran cewe-nya (Miho Kanno yang nyaris ndak pernah ngomong, sama Kyoko Fukada) tentu saja cukup enak dipandang mata. Dua film berikutnya, gw masukkan ke kategori sampah. Sedikit kredit lebih kepada White Chicks walaupun tidak masuk akal dan menghina cewe pirang, tapi cukup memuaskan keinginan gw yang memang ingin menonton film yang ringan-ringan sambil lalu saja. Agak beda dengan Van Helsing. Featuring Hugh Jackman, aktor yang gw daulat sebagai 'Wolverine' sejati, malah lebih buruk dari yang gw duga sebelumnya (padahal sebelumnya gw udah yakin kalo Van Helsing bakalan buruk). Apabila sebuah film menimbulkan banyak pertanyaan yang level-nya udah di logika antar adegan, maka film tersebut tidak mungkin bagus (menurut gw tentunya). Van Helsing adalah film semacam itu, banyak "Hows" dan "Whys" sepanjang film yang tidak mungkin buat gw untuk mengacuhkannya. Juga jangan lupa banyaknya coincidence, action style a la John Woo or Matrix yang membuat film ini tidak berkenan buat gw. Pemerannya juga tidak ada yang istimewa permainannya, standar, dan skrip-pakem semua. Sampai-sampai gw gagal dalam memutuskan untuk menikmati suguhan aksinya aja (perlu diketahui, di White Chicks gw cukup berhasil untuk mengacuhkan flop dan menikmatinya apa adanya). Kalo ada yang bisa gw kasih kredit, gw bakalan ngasih kredit ke credit title sequence-nya yang cukup nikmat untuk dipandang.

Wednesday, January 05, 2005

Upcoming 2005

Setelah kemaren gw terbitin tulisan gw tentang tahun lalu (menengok ke belakang, over my shoulder), sekarang gw mau nulis tentang tahun ini. Sekali lagi tentu saja tak bosan-bosannya membahas tentang the very reason this virtual home was built. Movies.

Tapi sebelumnya, gw mau ngutip hasil poling di IMDb tentang best and worst di 2004. Baru hari ini lho gw lihat, dan langsung gw kutip meskipun gw sendiri ndak ikut poling-nya. Here's the result.




See. I've told you already that Eternal Sunshine and Kill Bill vol.2 was the best, and Catwoman was the worst. Sebenernya ada tiga judul yang kemaren gw lupa nyebutin. Satu, Phantom of the Opera. Gw agak2 lupa sama judul ini karena saking banyaknya versi dari si Phantom ini yang udah di film-in. Dua, Sideways -- gw belum nonton. Katanya sih termasuk satu film lucu-cerdas (non-slapstick-humor-kind-of-movie) terbaik di thn. 2004. Juga dapet nominasi di Golden Globe. Tiga, Garden State. Minimnya info soal film ini, dan juga fakta bahwa film ini adalah film indie menyebabkan film ini luput dari pembajak DVD di Glodok ataupun jaringan 21. Film ini boleh dibilang mirip sama Eternal Sunshine, cuman bedanya Garden State mungkin lebih asing karena konsentrasinya lebih pada kehidupan remaja Amerika. Much like Thirteen (maksud gw dari cara pengambilan inspirasinya). Hey, ada Natalie Portman lhoo... :).

Okay, cukup. Sekarang balik ke topik awal. Gw bukan orang film, juga bukan orang media yang dekat dengan informasi tentang film. Cuman penikmat saja yang kebetulan sekali waktu ngikutin berita tentang film lewat internet (ultimately, dari Yahoo! Movies dan forum RottenTomatoes). So, prediksi gw tentang thn 2005 bisa aja salah total.

Film yang paling gw tunggu-tunggu tahun ini tentu saja, Batman Begins . Setelah dirusak oleh Joel Schumacher di Batman Forever dan Batman and Robin lewat penampilan komik cerah nan warna-warni dari si Ksatria jagoan gw yang seharusnya berada di bayang-bayang kegelapan dan penuh muram ini, Christopher Nolan (the man who brought you Memento) mengembalikan Dark Knight ke origin yang seharusnya: gelap. Kembali ke suasana Batman dan Batman Returns yang dikomandani Tim Burton dulu.

Nah, ngomong-ngomong soal Tim Burton, sutradara yang gw kenal karena hasil-hasil filmnya yang fantasi sekali (ingat: Big Fish, Edward Scissorhands) di tahun 2005 juga menyiapkan film fantasi. Kali ini dia kembali berkolaborasi dengan Jhonny Depp untuk (kalo gw ga salah lho) keempat kalinya (setelah Edward Scissorhands, Ed Wood dan Sleepy Hollow) dalam Charlie and the Chocolate Factory . Sekarang ini siapa sih yang ga kenal dengan Johnny Depp? terutama setelah penampilan slenge'annya yang berbuah nominasi Oscar di Pirates of the Caribbean. Dan lagipula, kolaborasi Tim Burton - Johnny Depp selalu relatif sukses. Jadi menurut gw, film Charlie and the Chocolate Factory ini layak tunggu.

Juga di tahun ini, layar perak kembali kedatangan rombongan superhero. Dimulai dari Januari ini, sempalan dari Daredevil akan menampilkan Jennifer Garner sebagai Elektra. Kabarnya cerita yang diangkat adalah pasca Daredevil (yang mana Elektra jatuh terkena serangan Bulls-Eye dan akan disimpulkan di Daredevil 2 (mudah-mudahan si Ben Affleck tidak kembali jadi Matt Murdock). . Selanjutnya di bulan April ada Sin City. Sedikit yang gw tahu soal film ini. Tapi cast-nya lumayan wah. Ada Mickey Rourke, Clive Owen, Bruce Willis, Jessica Alba, dan supporting-cast favorit gw, terbaik karena sering dapet Oscar: Bennicio Del Toro. Berikutnya, jauh di November, meskipun statusnya masih tentatif, ada si Nicholas Cage lewat Iron Man. Di summer, selain Batman yang udah gw sebutin. Juga ada sekeluarga superhero punya-nya Marvel, Fantastic Four. Menarik karena nanti kita tidak hanya akan menyaksikan pertarungan Marvel dan DC di komik, tapi juga gontok-gontokkan di Box Office Summer. Siapa yang lebih baik? buat gw, tentu saja Batman! Batman rulez!!! meskipun gw juga bakal nungguin Fantastic Four juga nonetheless. Oh iya, nyaris lupa. Aktor tidak berbakat, Keanu Reeves juga bakal membintangi film yang diadaptasi dari komik, Constantine. Bukan film yang gw tunggu sih, yang sebenernya alasannya cukup personal, Reeves. Really. Sebagai penggemar komik, tampaknya gw harus ke bioskop tahun ini.

Untuk sekuel, bagaimana? yang paling hangat tentu saja instalasi terakhir dari trilogi prekuel Star Wars. Star Wars: Episode III - Revenge of the Sith. . Meskipun dicerca habis-habisan gara-gara Episode II yang secara kualitas menyedihkan (terutama adegan pas si Amidala sama si Skywalker guling-gulingan ala Bollywood di padang rumput. Adegan yang sama sekali ga penting), si George Lucas tampaknya tetep pengen namatin trilogi prekuel dari Star Wars-nya. Meskipun gw ragu hasilnya bakal bagus (jangan dibandingkan sama yang original, kasihan), gw pengen tau bagaimana ia menutup trilogi prekuel dan sambungan ceritanya ke Episode IV. Ah, lagipula ada Natalie Portman lumayan lah. Tapi gw rasa, kalo fans-nya Star Wars, film ini wajib ditunggu. Released on summer, by the way.

Juga layak tunggu, meski masih tentatif juga di akhir tahun ada Harry Potter and the Goblet of Fire. Yang pengen gw liat sih bagaimana caranya memendekkan instalasi keempat dari seri Harry Potter ini menjadi film yang durasinya tidak lebih dari tiga jam. Menarik untuk ditunggu, meskipun gw rada kecewa sutradaranya ganti. Padahal gw cukup senang dengan gaya penyutradaraan siapa-itu-namanya-gw-lupa di instalasi ketiganya kemaren.

Artikel ini gw tutup dengan film epik yang banyak dibicarakan di forum rottentomatoes. Steven Spielberg kembali bekerja bersama Tom Cruise. Kabarnya Tom Cruise pun menunda proyek Mission Impossible III nya buat konsen penuh di film ini. Diadaptasi dari cerita sci-fi klasik karya H.G Wells, summer 2005 akan menyaksikan sebuah film sci-fi yang sepertinya berbudget besar, War of the Worlds. As much as i didn't like Spielberg's works, gw pengen liat film ini. Seperti komik, gw juga rada seneng sama film-film yang berbau sci-fi apalagi kalau diadaptasi dari cerita klasik macam punyanya H.G Wells, atau Jules Verne atau yang usianya udah puluhan tahun seperti punyanya Arthur C.Clarke. Lagipula, Tom Cruise jarang mengecewakan gw (pengecualian: Minority Report yang dia kerjain bareng si Spielberg sama Mission Impossible II) dan juga ada aktris cilik berbakat, Dakota Fanning yang tampaknya cukup berhasil membuat kagum Spielberg dan penonton tentunya lewat mini seri Taken.

So, and that's a wrap. See you at theatres..

Tuesday, January 04, 2005

New Year's Resolution

Tunggu... tunggu.. ada yang salah dengan judulnya. Gw tidak pernah percaya sama resolusi tahun baru dan sebaliknya, secara sederhana membiarkan roda waktu untuk bergulir dengan sendirinya sembari membawa gw, keinginan gw, atau apalah yang menjadi tujuan hidup gw untuk menuliskan babak-babak baru di buku sejarah gw. But, but, tentu saja selalu dengan usaha dan do'a.

Dengan demikian, tulisan ini tidak lantas menunjukkan resolusi gw terhadap 361 hari yang musti gw jalanin ke depan tapi lebih kepada apa yang terjadi sepanjang tahun 2004 yang baru lalu. With all the respect to the world, somethings that aren't directly concerns me were omitted from this article.

Yup, betul kalau hari ini adalah hari ke-4 di tahun 2005. Dan kebanyakan kaleidoskop, summary dari tahun sebelumnya biasanya ditulis tanggal 30 / 31 Desember. Tapi, tulisan ini bukan ditujukan sebagai wacana berita yang perlu dikemas dengan keakuratan data yang perlu ditampilkan dengan segar. Tulisan ini lebih merupakan sebuah entri diary dari seorang Rhama. Dibaca syukur, ndak dibaca juga tidak membuat gw sakit hati kok.

Well, so let's get started. Even terbesar tahun ini tentu saja jatuh pada kejadian tanggal 26 Desember yang lalu. Ketika gempa tektonik dengan kekuatan nyaris 9 pada skala richter, dan disebut-sebut sebagai gempa terdahsyat di bumi selama say, 40 tahun? (*Redaksi: gw agak-agak lupa) menggoncang perairan di sebelah barat pulau Sumatra dan pada efeknya menimbulkan gelombang tsunami yang meluluh-lantakkan beberapa kota di Sumatra bagian utara dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan nyawa-nya dan beberapa ratus ribu lagi kehilangan tempat-tinggal, harta benda, dan terutama keluarga. As i've said earlier, with all the respect to the world, gw cuman bisa menyematkan do'a dan sedikit bantuan yang mungkin ga seberapa. But, rest assured. Pray to the Lord that all the deceased shall found a better place there.

It was a mourning season all right, but there shall be many goods came out of it since God knows what good for its creation even in the most subtle way.

Okay. Kewajiban telah dipenuhi (again, with all the respect to the world). Let's talk about something yang sinkron sama tujuan, visi dan misi diciptakannya tulisan maya ini. Movies. That's right! movies.

Di awal tahun 2004, gw punya keinginan untuk sebisa mungkin keep-up dengan setiap film yang di rilis tahun truly. And truly, that was easier said than done. Meskipun gw punya prioritas untuk itu tetap saja susah dilakukan. Kenapa itu bisa terjadi? tentu saja gw selalu punya kambing hitam untuk ditunjuk apabila ada sesuatu hal yang salah dengan rencana-rencana gw. Pertama, di tahun 2004 gw sama sekali tidak pernah ke bioskop. Yah, begitulah semenjak kekasih gw merantau jadi pegawai negeri di ujung Sulawesi, gw tidak pernah lagi merasakan kenikmatan untuk duduk di baris F deket jalan dan menikmati film di layar lebar. Hiks. And i missed those moment. That came to one thing. Ada yang mau jadi volunteer buat nemenin gw ke bioskop? preferably cewe :) punya sense yang lebih dari rata-rata buat nikmatin film, talkactive, dan terutama, mau bayar sendiri. Okay. Kedua, meskipun gw mendukung piracy untuk film dan DVD, gw tetep ogah untuk beli DVD yang nembak bioskop. Jadi boleh dibilang, gw cukup, bahkan sangat telat kalo dalam urusan film-film yang udah ditonton. Sedih emang, tapi mau gimana lagi?. Jadilah, rencana gw untuk ngeliat semua film di tahun 2004 jadi tinggal angan-angan kosong dari seorang pemimpi.

Di sisi lain, yang lebih ceria tentunya, gw nonton film banyak banget di tahun 2004. Ga tau jumlah pastinya, tapi pasti lebih dari 100 judul film udah gw embat di tahun 2004. Itu berarti rata-rata 2-3 film per minggu-nya. Dan itu tidak termasuk film-film yang gw tonton di TV. Gw mulai dari Akira Kurosawa. Tahun 2004 yang lalu gw banyak sekali berkenalan dengan film-film dari bapak ini. Dari yang hitam putih, ndak jelas karena banyak dipotong seperti Hakuchi (1951) sampai yang berwarna seperti Yume (1990). Juga kisah petualangan seorang ronin Sanjuro lewat dua film-nya, Yojimbo (1961) dan Sanjuro (1962) yang lantas mengilhami Sergio Leone untuk membuat trilogi film western paling monumental "A Man with No Name": A Fistful of Dollar, For A Few Dollar More, dan The Bad, the Good and the Ugly. Studi tentang relativitas kebenaran di Rashomon (1950) atau intisari dari hidup dilihat dari seorang yang mendekati ajal di Ikiru (1952). Hura-hura samurai jaman feudal lewat Kumonoshu Jou (1957) dan Kakushi Toride no San Akunin (1958) atau sketa seorang Yoda di Dersu Uzala (1975). Juga petualangan seorang polisi di Nora Inu (1949) (featuring "Bengawan Solo" by Gesang as its OST). Also not to mention, Ran, Kagemusha dan Akahige. Tidaklah berlebihan kalau gw menyebut tahun 2004 sebagai tahunnya Kurosawa buat gw dengan 13 film besutannya yang gw apresiasi.

Lalu bagaimana dengan tahun 2004 sendiri? banyak yang bilang kalau tahun 2004 terjadi penurunan kualitas dari film-film tahun 2003. Sebenernya gw sendiri tidak bisa terlalu banyak ngomong untuk film tahun 2004. Pasalnya, film-film yang gw tunggu-tunggu justru jatuh di akhir tahun, mepet-mepet sama Oscar and hence, gw belum sempet buat mengapresiasinya karena dua alasan yang udah gw singgung di atas. Sebut saja Closer, Finding Neverland, Ray dan tentu saja The Aviator. Film-film ini semuanya rilis di akhir tahun. Bahkan Finding Neverland baru diputer di New York dan Los Angeles. Sebenernya ada satu film lagi yang cukup sering disebut-sebut bakal jadi fenomena di Oscar 2004. Millions Dollar Baby. Dibintangi oleh Hillary Swank, dan Clint Eastwood, banyak yang menjagokan kalau Clint Eastwood tidak akan jadi nominasi lagi tahun ini untuk sutradara terbaik lewat film ini setelah tahun lalu jadi nominasi lewat Mystic River. Filmnya sendiri baru diputer di LA/NY/Chicago/Toronto. Still a long way to reach 21 Network here.

Tapi selain fakta-fakta di atas tentu saja, gw juga udah punya shortlist untuk film-film terbaik tahun ini (khusus film-film produksi Hollywood lho ya...). Ada tiga film yang bakal gw langsung kedepankan seandainya gw ditanya film terbaik untuk tahun 2004. In no particular order. Yang pertama, tentu saja Kill Bill vol.2. Gw suka karya-karyanya Quentin Tarantino. Dan menurut gw, seri Kill Bill adalah kulminasi sekaligus otobiografi dari Tarantino. Kenapa begitu? bear with me, it's rather long. Di film pertamanya, Reservoir Dogs jelas sekali terlihat Tarantino ingin membuat suatu style sendiri (make istilah favorit gw, "exercising in style"). Lepas dari originalitas ceritanya (banyak yang bilang Tarantino nge-rip cerita salah satu film mafia Hongkong yang dibintangi oleh Chow Yun-Fat), style-nya jelas terlihat. Di Pulp Fiction, film berikutnya style itu makin nyata. Dengan cast yang nyaris sempurna, nonton Pulp Fiction adalah perjalanan yang menyenangkan. Menegangkan seperti naik roller-coaster, sekaligus juga menenangkan seperti naik perahu lewat Istana Boneka. Meskipun demikian, Tarantino tidak lantas mementingkan style dan melupakan substance seperti banyak dilakukan oleh sutradara2 yang ngaku nyentrik seperti (sorry buat pendukungnya) Noel Brothers misalnya. Dan itu yang membuat gw demen ama film-filmnya. Berikutnya adalah Jackie Brown. Di film ini Tarantino mulai meninggalkan style-nya dan mulai membangun substance. Lewat pergerakan alur yang lambat, film ini tidak punya banyak fans dan tenggelam di bawah kedigdayaan Pulp Fiction. Tapi menurut gw, justru di film ini Tarantino terlihat makin dewasa, dan justru di film ini pula Tarantino menunjukkan bahwa identitas jenius yang suka disematkan kepadanya bukan hanya lip-service doang. Nah, di Kill Bill, semua elemen yang muncul terpisah di tiga film-nya sebelumnya (Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dan Jackie Brown) dimunculkan secara bersamaan dalam sebuah sekuen film yang kronologis lewat vol.1 dan vol.2. Di Vol.1, style-nya Tarantino jelas terlihat. Dia pengen senang-senang seperti halnya dulu dia senang-senang waktu bikin Reservoir Dogs. Adegan di bar, ketika The Bride vs Crazy 88 indicated it. Setelah itu, dengan mempertahankan style yang sama, pelan-pelan Tarantino mulai memunculkan substance (Pulp Fiction) dan lantas menutupnya dengan dewasa di vol.2 (Jackie Brown). Itulah sebabnya. Dan menurut gw, jika pengen ngomongin, nonton, atau memberikan penghargaan terhadap Kill Bill, musti disebut dua-duanya. Tidak bisa dipisah antara vol.1 dan vol.2.

Berikutnya, Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Ada satu hal yang membuat gw heran dengan film ini. Film ini sebenernya udah rilis sejak Maret. Namun anehnya, 21 baru mulai memutar film ini bulan Januari ini. Nyaris setahun. Padahal film ini adalah satu dari sedikit film yang menerima keseragaman rating dari berbagai pihak. Paling nggak, berbagai pihak yang sering gw baca reviewnya. Dibintangi oleh Jim Carrey dan Kate Winslet (dua-duanya dapet nominasi leading actor / actress di Golden Globe), yang masing-masing maen luar biasa (di luar biasanya mereka maksudnya), Eternal Sunshine bercerita tentang bagaimana pentingnya sebuah memori tentang cinta yang meskipun pahit, tetap menghangatkan untuk dikenang. Jangan terkecoh dengan nama Jim Carrey. This film was unlike his usual comedy (all with those rubber-faces). Rekomendasi penuh dari gw buat yang demen sama film drama. Hmm, sebentar. Kalau ada waktu, cari juga Annie Hall (1970-sekian), film drama romantis besutannya Woody Allen. Itu juga mantap.

Berikutnya, yang terakhir untuk segmen terbaik datang sekeluarga superhero, The Incredibles. Is it just me, or Pixar really knew how to make a movie worth watch by toddlers and adults alike. Superhero sudah banyak berubah. Ketika dahulu, superhero selalu muncul dengan kekuatannya yang sempurna, sisi kemanusiaan yang tanpa cela, selalu menang melawan penjahat dan sepertinya punya kehidupan yang didambakan oleh setiap manusia. Tapi sekarang? apa yang kita punya? jadi superhero pun tidak selamanya menyenangkan. Bahkan mereka bisa mengalami krisis identitas. Ingat Peter Parker di Spider-Man 2? itulah contohnya, ketika superhero tidak lagi menjual mimpi kepada anak kecil untuk menjadi pahlawan bertopeng, berkekuatan super, dan dielu-elukan masyarakat menjadi superhero sebagai manusia dengan problematika yang umum ditemui yang kadang-kala hanya bisa dicerna oleh orang dewasa. Minimal remaja deh. Di sinilah The Incredibles berada. Ketika superhero harus dihadapkan dengan masalah yang suka atau tidak suka akan dihadapi oleh nyaris setiap manusia di 2/3 hidup mereka, keluarga. Permasalahan yang dekat dengan penonton dewasa namun tetap memberikan nuansa komik yang memikat penonton anak, membuat The Incredibles jadi film yang cukup sukses di tahun 2004 disamping tentunya jaminan mutu dari Pixar dalam membuat film-film keluarga. Tidak akan berbuat banyak di Oscar sih, kecuali tentu saja sudah pasti bakal dapet Oscar untuk kategori animasi, if you haven't seen this one, you ought to see it now. Shark Tale? lewat.

Ada yang terbaik tentu saja ada yang terburuk. Menurut gw sih, mutlak sekali untuk tahun ini (mungkin sama mutlaknya kaya Gigli (2003) tapi kayanya lebih multak deh) gelar film terburuk jatuh kepada Halle Berry ups.. Catwoman. Gw sih belum nonton, belum mau. Soalnya, pertama Selina Kyle alias Catwoman datang dari serial superhero favorit gw, Batman. Dan ketika gw melihat kostum Halle Berry di film tersebut, serta merta, efeknya hampir instan gw langsung membenci film itu. Kenapa mesti begitu kostumnya? padahal dulu Michelle Pfeiffer bisa tampil deadly-sexy meski pakaiannya tidak seterbuka Halle Berry di film Batman Returns. Kedua, sejak Monster Ball, gw benci sama Halle Berry. Di film Monster Ball, Halle Berry dapat Oscar. Gw lantas bertanya, buat apa? perasaan gw sih di film itu, Halle Berry cuma tinggal bugil terus 'main-main' sama Billy Bob Thornton. Cuih deh. Dan semenjak itu, gw merasa Halle Berry makin pongah dengan menaikkan tarif mainnya. Sukurin aja dia maen di film jeblok kaya Catwoman. It suits you well, slut!. Dan gw sangat-sangat bahagia seandainya dia beneran tidak dateng lagi buat jadi Storm di sekuel ketiganya X-Men.

Well, pada akhirnya itulah yang bisa gw simpulkan dari tahun 2004. Sampai jumpa tahun depan, tentu saja dengan resolusi yang sama. Gw pengen nonton semua film yang rilis di tahun 2005.