Monday, January 17, 2005

Screening Log Column #2

Babblings:

Gw musti berhenti minum teh kotak sebelum naik kendaraan. Gw perhatiin setiap kali gw minum teh kotak sebelum naik kendaraan, perut gw rasanya mules dan aneh. I can't stop bleaching dan itu sangat sangat tidak nyaman. Baik buat gw ataupun buat orang lain.

Special Coverage:

62nd Golden Globe Awards. Seandainya ada penghargaan film yang mendekati penghargaan tertinggi, Academy Awards, tentunya Golden Globe tidak bisa diremehkan. Diselenggarakan oleh Hollywood Foreign Press Association, Golden Globe diselenggarakan 1-2 bulan sebelum Academy dan acap kali dianggap sebagai barometer dari film tersebut terhadap penilaiannya di Academy. Tahun lalu, kita menyaksikan The Lord of the Rings: Return of the King sebagai pemenang Best Dramatic Film di Golden Globe dan ultimately juga meraih Best Picture di Academy. Tahun ini? Here's the list of some of the winners (untuk kategori film saja):
Best Dramatic Film - The Aviator
I found it no surprise here. Martin Scorcese sukses mengubah image Leonardo Di Caprio di mata gw lewat "Gangs of New York", and he was one of my favourite directors among others. Gw masih menunggu film-nya sih, entah di 21, Glodok, atau internet. Mudah-mudahan bukan untuk waktu yang lama.
Best Comedy / Musical Film - Sideways
Best Director - Clint Eastwood (Million Dollar Baby)
Udah saatnya.
Best Actor for Dramatic Role - Leonardo Di Caprio (The Aviator)
All the more reason for me to wait for The Aviator.
Best Actor for Comedy / Musical Role - Jamie Foxx (Ray)
Udah gw prediksi jauh-jauh hari. Kandidat kuat buat Oscar mungkin.
Best Actress for Dramatic Role - Hillary Swank (Million Dollar Baby)
Best Actress for Comedy / Musical Role - Annette Benning (Being Julia)
Best Supporting Actor - Clive Owen (Closer)
Best Supporting Actress - Natalie Portman (Closer)
Well, that's the list folks. Gw cuman rada kecewa soalnya film "Eternal Sunshine.." tidak mendapatkan satu penghargaan pun. Sebenernya sih gw prediksi "Eternal Sunshine.." dapat satu award buat screenplay lewat Charlie Kauffman. Cuman award itu dicomot oleh Jim Taylor / Alexander Payne lewat "Sideways".

Weekend U.S Box Office (Jan 14 - 16):

#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Coach Carter - US$ 23.6 mills - US$ 23.6 mills
2. - Meet the Fockers - US$ 19 mills - US$ 230.8 mills
3. - Racing Stripes - US$ 14 mills - US$ 14 mills
4. - In Good Company - US$ 13.9 mills - US$ 14.4 mills
5. - Elektra - US$ 12.5 mills - US$ 12.5 mills
6. - White Noise - US$ 12.2 mills - US$ 41.2 mills
7. - The Aviator - US$ 4.7 mills - US$ 49.9 mills
8. - Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events - US$ 3.9 mills - US$ 110 mills
9. - Andrew Floyd Webber's Phantom of the Opera - US$ 3.5 mills - US$ 26.4 mills
10. - Ocean's Twelve - US$ 2.8 mills - US$ 119.8 mills

My, my, terlihat jelas bahwa gw memang masih belum bisa menyisihkan perasaan pribadi gw dalam memprediksi film. Kalau minggu lalu gw dengan PeDe-nya memperingatkan Meet the Fockers untuk berhati-hati terhadap Elektra, tapi kenyataannya minggu ini penonton bioskop di US lebih memilih untuk menonton Coach Carter, film terbarunya Samuel L. Jackson. Mungkin karena kisahnya yang lebih dekat dengan masyarakat Amerika (Coach Carter diangkat dari kisah nyata) sehingga penonton (di US) lebih suka melihat-nya dari pada aksi Jennifer Garner. Quote dari Wesley Morris, "...the only difference between Garner's new movie and her four-year-old television show is that the movie is boring.". Ah well, i'm going to watch it anyway.

Minggu ini juga menyaksikan dua film baru selain Coach Carter dan Elektra. Well, satu film, In Good Company sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Film komedi yang mengisahkan persahabatan dua orang pekerja yang istilah Amrik-nya, "trying to make the end meets" dan dibintangi oleh Dennis Quaid, Topher Grace, dan Scarlett Johannson ini memang baru dirilis bebas di minggu ini. Satu lagi adalah film keluarga, Racing Stripes yang seperti kebanyakan film keluarga yang melibatkan hewan, gw yakin tidak akan memberikan kejutan.

Dari chart di atas sebenernya 4 dari top-5 film adalah film baru. Namun, ke-4 film ini tidak cukup untuk menghentikan Meet the Fockers yang meskipun harus menyerahkan posisi no.1-nya kepada Coach Carter tetep sehat di posisi ke-2. Untuk minggu ini, ada dua film baru yang dirilis wide. Di hari Rabu, ada re-make thriller sukses Assault on Precinct 13 dengan Ethan Hawke, dan Laurence Fishburn dan di hari Jum'at ada komedi baru dari Ice Cube, Are We There Yet?. Kecuali kalau Assault on Precinct 13 terbukti tidak mengecewakan fans film original-nya, maka boleh jadi Meet the Fockers atau film-film yang dirilis minggu lalu bisa tetep berbuat banyak. However, hasil dari Golden Globe Awards juga tidak bisa diremehkan. Bisa jadi, The Aviator yang masih diputar di bioskop mampu menarik penonton kembali. It's all remain to be seen though.

Screening Log Movie of the Week:

21 Grams. Film yang sangat enak untuk disimak. Dengan storyline khas Alejandro Gonzales Innaritu (sang sutradara) dan aktor-aktris istimewa (especially, Bennicio Del Toro dan Naomi Watts), kelemahan film ini bagi gw hanya pada aspek filosofis yang abstrak dan kabur, yang mungkin sebenarnya lebih disebabkan karena otak gw udah capek untuk menjaga agar alur logis tidak lepas kemana-mana. Beberapa akan menemukan kisah tiga orang yang masing-masing terkait dengan sebuah kecelakaan mobil menyentuh dan membuat penonton serasa berada di dalam alurnya, namun beberapa juga akan menganggap 21 Grams terlau exaggerating dan pada akhirnya kehilangan esensi karakter dan pesan humanisme-nya karena terlalu berat digelayuti muatan filosofis. Apapun anggapan-nya, gw tetap merasa 21 Grams merupakan salah satu pengalaman terbaik gw dalam menikmati sinema.

From the Screening Log:

Minggu ini, Screening Log mempersembahkan, Amores Perros, Misery, Without a Paddle, The Princess Diaries 2: Royal Engagement, Mulan 2, dan Paparazzi.

Dari sutradara yang membawa 21 Grams, Alejandro Gonzales Innaritu, Amores Perros (2001) adalah film pertama yang digarap dan dirilis oleh Innaritu. Meskipun cetak birunya mirip sekali dengan 21 Grams, kisah tiga orang manusia yang kisahnya taut-berpaut melalui sebuah kecelakaan mobil, gw suka Amores Perros lebih dari 21 Grams dari berbagai aspek. Memang, storyline-nya lebih sederhana dari 21 Grams, bahkan Amores bisa dibagi ke dalam tiga episod berbeda yang masing-masing nyaris secara naratif independen terhadap dua episod lainnya. Muatan filosofisnya juga lebih ringan dan lebih jelas daripada 21 Grams. Tapi, justru itulah yang membuat film ini istimewa. Gw menemukan diri gw hanyut dalam kisahnya. Meskipun ada kecenderungan untuk turun gunung (secara kualitas) di episode ke-2, klimaks dari Amores sendiri mampu naik dan menyimpulkan kisah tiga orang pelaku episod-nya dengan resolusi unik masing-masing yang bebas untuk diintepretasikan oleh penonton. Hanya satu yang menyamakan ketiga orang ini, takut. Rasa takut karena terlupakan. Another magnificent adventures in cinema, but as yet, gw ga setuju kalau film ini disebut sebagai "Mexican Pulp Fiction".

Pelaku sinema tampaknya tak pernah kapok untuk mengadaptasi karya-karyanya Stephen King meskipun kebanyakan dari film-film hasil adaptasi tersebut jeblok di pasaran. Misery (1990) adalah satu dari sedikit film adaptasi tersebut yang memperoleh pengakuan. Paling tidak, di film ini pengakuan tersebut datang kepada Kathy Bates, pemeran Annie Wilkes dalma bentuk Oscar untuk Best Actress. Secara keseluruhan, kualitas film ini sebenarnya nowhere near the book. Penderitaan Paul Sheldon, penulis yang secara mental (dan fisik) tertekan kurang bisa disampaikan oleh James Caan. Thriller-thriller-nya juga kurang greget, beberapa bagian yang menurut gw penting untuk menaikkan tensi ketegangan justru dihilangkan. Usut punya usut, mereka dihilangkan karena dianggap terlalu sadis. Wajar. Sinema Hollywood masih belum se-vulgar film-film cult buatan Jepang. But anyway, Kathy Bates, si pemeran Annie Wilkes memang luar biasa. Karakter-karakter ciptaan Stephen King adalah karakter-karakter biasa dengan bentuk fisik yang cenderung kurang, tak terkecuali Annie Wilkes. Tapi, tunggu dulu, Annie Wilkes versi Kathy Bates ini lain, tidak seperti Annie Wilkes versi Stephen King. Annie Wilkes di film ini bisa tampil manis sehingga Paul (dan penonton) bisa percaya akan kebaikan hatinya, tapi sedetik kemudian ia bisa tampil layaknya seorang psikopat profesional. Kejam, tapi tenang. Dan Kathy Bates sukses dalam menterjemahkan dua sisi koin Annie Wilkes ini ke layar. Secara keseluruhan, film ini tidak sebagus adaptasi Stephen King lainnya, The Green Mile apalagi bila dibandingkan dengan adaptasi Stephen King terbaik, The Shawshank Redemption. But nonetheless, this film is enjoyable.

Without a Paddle dan The Princess Diaries 2 buat gw jatuh ke area yang sama. Mereka berdua adalah drama-komedi yang flat, tidak lucu, dan nyaris tidak kemana-mana. Kalau Without a Paddle mencoba menyuguhkan pentingnya persahabatan untuk tiga orang pemuda biasa (i called them, 'Dumb, Dumber, and Dumbest') dalam sebuah petualangan yang muskil dan komik, maka Princess Diaries, seperti pendahulunya menyuguhkan pentingnya menjaga perasaan dalam sebuah hubungan dari seorang putri negeri antah berantah. Persamaannya, keduanya punya villain yang super-bodoh tapi sukses dalam pekerjaan mereka (di Without a Paddle, villain super-bodoh-nya punya ladang ganja yang hasil penjualannya sanggup memberi makan seluruh penghuni kamp pengungsi di Kenya, di Princess Diaries, villain super-bodoh-nya duduk di salah satu posisi penting di parlemen). Keduanya juga menceritakan pencarian jati-diri yang sukses (di Without a Paddle, ketiga karakternya berubah drastis, di Princess Diaries, seluruh negara Genovia berubah). Perbedannya, ini yang membuat gw menaruh Without a Paddle setengah tingkat lebih tinggi dari temannya. Di Without a Paddle, kita bisa lihat pesannya sampai walau dengan alis mata terangkat tanda tak percaya, kita bisa lihat masing-masing karakter-nya meski pretentous dan komik, masih believable. In the other hand, Princess Diaries was way too ego-centric, and selfish. Pada intinya, jika Without a Paddle seperti melunakkan kepingan puzzle untuk bisa sesuai dengan pasangannya, Princess Diaries adalah kepingan puzzle yang tidak mau sedikit pun untuk membelokkan kurva-kurvanya supaya bisa sesuai dengan pasangannya. "It's them that had to change, not I. For Lord's apple-pie, i'm the princess after all!". Puih. What a selfish and pompous princess you're. Overall, gw tidak merekomendasikan dua film ini.

Film Paparazzi punya durasi yang sangat pendek. Secara singkat, gw bilang film ini efektif untuk memprovokasi penonton supaya simpati semua terarah pada sang tokoh utama yang pada akhirnya bisa dijustifikasikan tindakannya yang acap kali membengkokkan pedang keadilan. Ceritanya sederhana, tentang kesulitan seorang aktor yang naik daun menghadapi serbuan Paparazzi sampai ketika ia sampai di titik di mana ia memutuskan "to get an even, even steven" dengan para paparazzi tersebut. Pretty crappy stuff for a film, tapi surprisingly film-nya enjoyable. Seperti yang telah gw sebutin di atas, film-nya cukup efektif untuk membuat kita merasa menderita, semenderita si tokoh utama, dan bersimpati padanya, dan memberkati apapun tindakannya. Villain-nya juga cukup OK, masih tetep bodoh tapi paling tidak, ia tidak punya hati. Ada satu adegan yang mencomot "Silence of the Lambs" (yang membuatnya sedikit tidak keren), emosi chemistry antara si tokoh dan keluarganya juga kurang terbangun, some funny cameos, dan ending-nya? well, seandainya gw punya keluarga seorang paparazzi, gw pasti akan diam-diam mengutuk si tokoh utama. Yang pasti ending-nya adalah dua sisi mata uang yang masing-masing bisa dibenarkan dan disalahkan di saat yang bersamaan. Thought provoking, meskipun film ini jelas-jelas berpihak pada si tokoh utama (aktor) dan jelas-jelas memberi statement bahwa Paparazzi itu adalah sekumpulan bajingan yang tidak perduli dengan privasi orang lain.

Judul ofisial-nya adalah Mulan II. Masih mengusung tema yang sama dengan instalasi originalnya - "True to your heart", kali ini Fa Mulan mendapat misi untuk mengawal tiga putri raja dalam sebuah arranged-marriage dengan putra mahkota kerajaan tetangga demi menjamin persekutuan yang diharapkan bisa menahan serbuan bangsa Mongol yang selalu mengancam. Kali ini Fa Mulan bersama General Shang yang kini menjadi tunangannya, dan masih bersama tiga pengawalnya.. hm? ya? tiga.. tiga putri.. tiga pengawal.. get it?. Pertunangan Fa Mulan dan General Shang ternyata membahayakan posisi Mushu, si naga iseng pengawal Mulan di film Mulan yang pertama oleh karenanya kemudian Mushu berusaha untuk membuat percikan api diantara Mulan - Shang demi menjamin posisinya. Sementara ketiga putri lambat-laun menemukan bahwa arranged-marriage bukan sesuatu yang mereka cari. It was love that they wanted. And so.. bla.. bla.. bla.. like all Disney's movies, the events tingled with each other and meets the end in a happy-happy-joy-joy for everbody to enjoy. Crappy.

Few, that was long... okay, that's a wrap for this week edition, i shall wrote again next week. Ta.. ta..