Monday, January 31, 2005

Screening Log Column #4

Babblings:

Gw terperangkap sakit seminggu yang lalu, sehingga edisi Column #3 tidak sepenuhnya lengkap, lebih jauh lagi dari hari Selasa sampai Jum'at gw ga nonton film sama sekali. Tapi, hari Jum'at, tepat jam empat sore, gw dapet ide dan mulai menulis apa yang menjadi - mudah-mudahan - cerita pertama gw. I've finished one chapter with 7 pages long on each, and currently working on the second. Gw sendiri ga tau ceritanya bakalan seperti apa meskipun gw udah bisa kebayang beberapa possible endings. Sebenernya gw pengin ngepost chapter pertama di sini. But then again, mungkin nanti, gw ga mau nantinya tiba-tiba berhenti di tengah jalan seperti kebanyakan cerita yang gw mulai tulis. Mungkin nanti, setelah gw masuk chapter 6 atau 7. Okay, let's kick off this edition of Column.

Weekend U.S Box Office (Jan 28 - 30):
#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Hide and Seek - US$ 22 mills - US$ 22 mills
2. - Are We There Yet? - US$ 17 mills - US$ 39.1 mills
3. - Million Dollar Baby - US$ 11.8 mills - US$ 21.1 mills
4. - Coach Carter - US$ 8 mills - US$ 53.5 mills
5. - Meet the Fockers - US$ 7.6 mills - US$ 257.9 mills
6. - The Aviator - US$ 7.5 mills - US$ 68.1 mills
7. - Sideways - US$ 6.3 mills - US$ 40 mills
8. - In Good Company - US$ 6.2 mills - US$ 35.9 mills
9. - Racing Stripes - US$ 6 mills - US$ 34.5 mills
10. - Assault on Precinct 13 - US$ 4.2 mills - US$ 14.7 mills

Yes, for once I was right. Minggu lalu gw memprediksi Hide and Seek bakalan bisa mencapai puncak. Dan ya, dengan aktor sekualitas Robert De Niro dan Dakota Fanning, sulit rasanya untuk tidak menjadi yang terbaik di minggu ini. Buat Robert De Niro, ini merupakan 'comeback'-nya ke box-office setelah minggu lalu, Meet the Fockers yang cukup digdaya selama tiga minggu berturut-turut digusur sama Are We There Yet?-nya Ice Cube yang sekarang ada di posisi ke-2. What a 'comeback' I say, cuman butuh jeda seminggu buatnya untuk kembali ke posisi ke-1 box office.

Film baru lain yang juga dirilis minggu ini malah ndak ketahuan di 10 besar. Juga koheren dengan prediksi gw minggu lalu. Uwe Boll masih ga kapok dengan jebloknya House of the Dead. Besutannya yang terbaru, Alone in the Dark yang juga jadwal rilis wide tanggal 28 Januari sama sekali ndak kelihatan batang hidungnya di top 12. Semakin kasian melihat Christian Slater yang supposedly menggunakan film ini sebagai titik baliknya sebagai aktor. Dan seakan tidak cukup, Uwe Boll juga tengah mempersiapkan film berikutnya yang juga diadaptasi dari game, Bloodrayne dibintangi oleh si seksi Kristianna Lokke yang maen di T3 sebagai musuhnya Arnold. Ck.. ck.. tak cukupkah para produser itu menutup mata mereka dan menyadari bahwa si Uwe Boll tidak lebih dari pembuat film yang sangat sangat buruk. Hell, maybe i can even do better.

Another expected expectation came to realization, ketika pengumuman nominasi Oscar membantu film-film yang dinominasiin menarik penonton lebih banyak. Million Dollar Baby, Sideways dan The Aviator masing-masing naik posisinya di 10 besar Box-office. Way to go!.

Later this week, pecinta film disuguhi dua film yang bergenre tolak belakang. Boogeyman, horor, dan The Wedding Date, komedi romantis. Tak banyak yang bisa gue ceritain soal kedua film ini. Hell, bahkan nama-nama aktris-nya (kecuali Lucy Lawless yang punya peran minor di Boogeyman) dan sutradara-nya ndak familiar. Jelas dong, kalo gw ragu akan kiprah mereka di box-office minggu ini. Itu untuk yang rilis wide. Yang rilis limited diantaranya ada Nobody Knows, film Jepang yang pengen gw cari sebenernya soalnya banyak yang bilang bagus. Bahkan diputer di Jiffest segala kemaren. Nobody Knows bercerita soal empat bersaudara yang tiba-tiba ditinggalin ibunya sementara selama ini ibunya berusaha agar empat orang ini tidak 'exist'. Jadilah mereka berjuang sendiri untuk hidup. Hmm.. kelam, pasti kelam.

Screening Log Movie of the Week:

Dulu, pas gw masuk SMA kelas 1, gw bisa dibilang sebagai orang pelit. Uang saku gw sering habis untuk maen band, beli kaset, atau nyewa Laser Disc. Pas waktu itu (sebelum satu-satunya penyewaan Laser Disc di kota gw gulung tikar), gw sempet minjem Heat dan Se7en yang keduanya lantas menjadi film-film yang gw sukai. Heat in particular, sangat memorable buat gw. Dibintangi oleh aktor-aktor favorit gw saat itu, is and still now, Robert De Niro dan Al Pacino, ada tiga adegan yang selalu gw ingat dan membuat gw menganggap Heat adalah salah satu film heist terbaik. (1). Adegan perampokan di awal film, adegan ini menjadi pembuka yang mantap dan menjanjikan bahwa film ini akan jadi film aksi yang bagus, meskipun kenyataannya berkata lain. (2). Adegan kopi di tengah film, adegan ini adalah "clash-of-characters" yang memorable di mana masing-masing pihak (De Niro dan Pacino) yang bermusuhan mengungkapkan filosofi dan keinginan mereka dalam melaksanakan tugasnya. Gw inget, gw dag-dig-dug banget pas di adegan itu, dah beberapa dialognya yang berikutnya akan menimbulkan kontradiktif karakter di antara keduanya nanti. Dan (3) adegan terakhir. Jelas. Bisa dianggap sebagai klimaks, dari sebuah drama yang bagus, atau anti-klimaks dari sebuah aksi yang membosankan, tergantung bagaimana penonton melihat film ini. Gw yang menganggap bahwa ini adalah film drama yang bagus, tentu saja terkesima dengan adegan terakhirnya. Kesedihan Al Pacino yang kehilangan musuh besarnya, yang sebenernya meringankan pekerjaannya tapi ironisnya juga seperti kehilangan sahabat, bahkan saudara. Kentara banget dengan karakter-nya yang ditekankan oleh Michael Mann (juga menyutradarai Collateral) sebagai seorang polisi yang work-aholic dan kesepian.

From the Screening Log:

Hereby, i declare it as the miserable week. Dimulai dengan bagus oleh film-nya Martin Scorcese, Goodfellas (1990), minggu ini ditutup dengan kekecewaan. Goodfellas mungkin buat gw adalah film gangster terbaik sejak Godfather part. II berfokus pada seorang anak muda yang sedari kecil sudah ingin jadi mafia sampai mencapai kesuksesan dan lantas jatuh berantakan (Ray Liotta), Goodfellas menunjukkan kemampuan Scorcese dalam menyajikan visual yang stunning. One memorable of this film was the very long shot yang mengikuti Jimmy (Robert De Niro) masuk bar dan menyalami semua orang yang ada di dalam bar itu. A Very Long Shot (maybe as long as 1 minute), with no cuts in the middle. Spesial kredit untuk Danny De Vito yang kocak sekaligus sangar.

Kontras dengan Goodfellas, Catwoman boleh gw bilang nyaris ndak ada shot yang lebih dari satu detik. Film ini bahkan bisa gw bilang bukan motion-picture atau gambar bergerak, tapi malah lebih kaya still photograph cycled in a very fast speed. Pusing. Kualitas akting-nya? jangan tanya deh. Benjamin Bratt, entah canggung gara-gara Halle Berry atau ga bisa akting, atau dua-duanya tidak kelihatan seperti aktor. Sharon Stone juga tampil flat. Maunya jadi penjahat yang licik dan menakutkan tapi malah jadi lucu. Halle Berry? ummm, her *meow* at some point really really annoys me. But on top of it all, gw paling gedeg sama pengambilan gambarnya. Switching like crazy. Pitof, nama sutradaranya harus ganti nama untuk proyek selanjutnya. Jangan sampai kaya Uwe Boll yang udah gw cap sebagai sutradara yang tidak layak.

Hari Sabtu, temen-temen gw dateng ke kos, bersama kita nonton tiga film berturut-turut (o yea, three!), Kung Fu Hustle, One Missed Call dan The Grudge. Kung Fu Hustle, film barunya Stephen Chow (disutradarai olehnya) mengecewakan buat gw. Tidak sekonyol dan se-fun Shaolin Soccer, gw juga tiba-tiba merasa bosan dengan gaya gambarnya Stephen Chow di setengah akhir, untungnya Beast muncul, jadinya agak-agak berkurang bosan gw. One Missed Call, film horor Jepang besutan Takashi Miike. Gw beli film ini karena Takashi Miike, dia yang bikin film-film dengan tema aneh yang biasanya melibatkan kekerasan kaya Ichi The Killer, Audition, dan Visitor Q (gw punya tiga-tiganya), tapi gw bosan dengan One Missed Call. Tidak ada kematian yang menakjubkan, tidak ada penyiksaan, tidak ada mutilasi, hanya hantu penasaran (ya, ya, dengan rambut menggantung, dan mata membelalak, i've seen it soooo many times) dan ending yang ga jelas. Flat. The Grudge, juga tidak menjanjikan apa-apa, hanya remake shot per shot dari serial aslinya, gw lebih bisa menikmati versi aslinya. Selain itu tidak ada yang lebih menakutkan dari The Grudge yang bisa dinikmati. Orang2 Amerika jelas suka The Grudge karena mereka tidak pernah nonton Ju-On yang asli.

The Stepford Wives. Honest, i was enjoying this movie. Setelah dihajar berturut-turut oleh film-film yang membosankan, The Stepford Wives ternyata cukup ampuh buat jadi Redemption. Nicole Kidman tampil seperti biasanya, sedikit berlebihan, with that round face of her, which she used to its extreme measurement in the movie, was likeable at best, but absolutely not in one of her best performances. The Stepford Wives, however, mampu mengantarkan ke-satir-an dan isu feminisme. Gw sendiri sebagai cowok, bahkan sempat simpati kepada para istri dan despised the husbands. And all the over-the-top performances was actually adds the fun. All in all, The Stepford Wives was a successful comedy. And i love it.

Sore dewa, that's a wrap for this edition.