Weekend U.S Box Office (Jan 7 - 9):
#. - Title - Weekend Gross - Cumulative Gross
1. - Meet the Fockers - US$ 28.5 mills - US$ 204.5 mills
2. - White Noise - US$ 24 mills - US$ 24 mills
3. - The Aviator - US$ 7.6 mills - US$ 42.9 mills
4. - Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events - US$ 7.4 mills - US$ 105.5 mills
5. - Fat Albert - US$ 6 mills - US$ 41.2 mills
6. - Ocean's Twelve - US$ 5.4 mills - US$ 115.4 mills
7. - National Treasure - US$ 4.4 mills - US$ 160.7 mills
8. - Spanglish - US$ 4.4 mills - US$ 37.6 mills
9. - Andrew Floyd Weber's Phantom of the Opera - US$ 3.4 mills - US$ 21.5 mills
10. - Life Aquatic with Steve Zissou - US$ 2.6 mills - US$ 19.3 mills
Weekend pertama di tahun 2005 dimulai lambat dengan hanya satu judul dirilis wide di Amerika Utara. White Noise, drama thriller yang mengisahkan seorang arsitek (Michael Keaton) yang harus menghadapi kenyataan bahwa istrinya menghilang dan kemungkinan mati. Penyelidikannya membawanya berkenalan dengan fenomena EVP (Electronic Voice Phenomenon) ketika ia bertemu dengan seorang laki-laki yang mengklaim dia menerim EVP dari Anna, sang istri. Meski cukup kuat dengan opening 24 juta, dan praktis tanpa saingan di slot weekend yang bersangkutan, White Noise belum sanggup menggeser kepopuleran Meet the Fockers komedi terbaru Ben Stiller, sekuel dari Meet the Parents yang udah nangkring di posisi #1 box-office selama tiga minggu berturut-turut. Dengan super-star casts, Robert De Niro, Dustin Hoffman, dan kembalinya Barbara Streisand, cerita yang akrab dan menjual ditambah dengan trailer yang super lucu, komedi ini gw prediksi masih bakalan cukup kuat sampai dua minggu ke depan. Tapi minggu ini mesti hati-hati dengan Elektra yang sudah pasti ditunggu oleh penggemarnya (me included).
Screening Log Movie of the Week:
Datang dari tahun yang gw anggap sebagai "the golden year of movies" (1994) Screening Log memilih Natural Born Killers sebagai Movie of the Week. Mungkin ketika gw menonton film ini dulu, instead of now (actually i've seen it for quite some time) gw bakal menyerah di tiga puluh menit awal. Soalnya di film ini, Oliver Stone - sang sutradara - tidak cuma bikin film yang cuma menyuguhkan cerita dalam rantai adegan saja tapi di setiap mata-rantai-nya dia mencampur-adukkan berbagai macam esensi seni. Ujung-ujungnya, setiap adegannya exaggerating, berlebih, too-stylistic, very unreal yang malah membuat kebanyakan penonton, terutama penonton film-film summer ogah melihatnya. Now, the movie's cinematography is truly a brilliant. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang film (can somebody had that kind of thing, really?), sesorang bisa meng-observe kesatiran, maupun kritik dari Oliver Stone tentang komunitas barat lewat jukstaposisi dan simbolisme yang acap kali menghujat. Genre-nya pun bisa berubah-ubah dengan subtle dari tragis, komedi, drama sampai horor. Meskipun memang kekurangannya banyak, tapi secara sinematografi ini film luar biasa artistik.
From the Screening Log:
Minggu lalu, boleh dibilang minggu baca buku. Ada tiga buku yang secara simultan gw baca, Tom Clancy's Cardinal of the Kremlin, Stephen King's The Stand sama Robert Jordan's Wheel of Time: Part I - The Eye of the World. Trus gw juga mulai belajar Bahasa lagi (kali ini gw belajar bahasa Java 1.5 dan ngelanjutin belajar bahasa Jepang setelah terbengkalai berbulan-bulan). Alhasil cuma tiga film yang gw tonton selama satu minggu tersebut. Dua diantaranya film ringan yang bisa ditonton sambil merem. Yang pertama, Takeshi Kitano Dolls . Takeshi Kitano adalah salah seorang sutradara yang keberadaanya gw ketahui dari aktifitas gw di Internet. Ada yang bilang bahwa dia adalah salah satu sutradara Jepang terbaik saat ini. Jadinya sangat masuk akal kalo gw mencari-cari film karyanya. Dolls ini adalah film garapannya tahun 2002 yang populer di beberapa festival film internasional. Kadang kala ada beberapa film yang keberadaanya hanya sebagai media untuk senang-senang buat sutradaranya. Film-film ini kebanyakan cuman jadi film festival karena memang ketidak-menarikkan-nya yang membuat film ini dijauhi oleh komersialitas industri film. Dolls adalah salah satu dari film tersebut. Kitano membuat Dolls berdasarkan inspirasi dari Bunraku, seni tradisional Jepang yang mirip wayang. Sesi Bunraku ini diperagakan di awal cerita dan nyata bahwa cerita yang diusung oleh Kitano semuanya berkaitan dengan Bunraku ini. Namun, terus terang gw agak gagal melihat substansi dari Bunraku, apalagi untuk mengaplikasikannya ke cerita. Ceritanya sendiri ada tiga cerita independen yang masing-masing tampaknya tidak berkaitan satu sama lain. Gw udah berusaha untuk berpikir menarik benang merah dari tiga cerita itu tapi tetep gagal, mungkin yang paling mungkin adalah bahwa "Cinta itu butuh pengorbanan". Tapi tentu saja tidak perlu Kitano untuk menegaskan hal tersebut, bukan? Di luar itu, gw suka sama sinematografinya. Masih di bawah Kurosawa's Dreams tapi tetep beautifully stunning. Dan pemeran cewe-nya (Miho Kanno yang nyaris ndak pernah ngomong, sama Kyoko Fukada) tentu saja cukup enak dipandang mata. Dua film berikutnya, gw masukkan ke kategori sampah. Sedikit kredit lebih kepada White Chicks walaupun tidak masuk akal dan menghina cewe pirang, tapi cukup memuaskan keinginan gw yang memang ingin menonton film yang ringan-ringan sambil lalu saja. Agak beda dengan Van Helsing. Featuring Hugh Jackman, aktor yang gw daulat sebagai 'Wolverine' sejati, malah lebih buruk dari yang gw duga sebelumnya (padahal sebelumnya gw udah yakin kalo Van Helsing bakalan buruk). Apabila sebuah film menimbulkan banyak pertanyaan yang level-nya udah di logika antar adegan, maka film tersebut tidak mungkin bagus (menurut gw tentunya). Van Helsing adalah film semacam itu, banyak "Hows" dan "Whys" sepanjang film yang tidak mungkin buat gw untuk mengacuhkannya. Juga jangan lupa banyaknya coincidence, action style a la John Woo or Matrix yang membuat film ini tidak berkenan buat gw. Pemerannya juga tidak ada yang istimewa permainannya, standar, dan skrip-pakem semua. Sampai-sampai gw gagal dalam memutuskan untuk menikmati suguhan aksinya aja (perlu diketahui, di White Chicks gw cukup berhasil untuk mengacuhkan flop dan menikmatinya apa adanya). Kalo ada yang bisa gw kasih kredit, gw bakalan ngasih kredit ke credit title sequence-nya yang cukup nikmat untuk dipandang.