Monday, May 31, 2004

Win a Date with Tad Hamilton! (2004)

Sebuah pertanyaan retorika yg mungkin bisa saya tujukan ke diri saya sendiri berkaitan dengan film ini mungkin adalah "Apabila saya bisa memilih antara cinta Drew Barrymore yang saya puja-puja atau cinta seorang teman kecil yang kehadirannya sudah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, kepada siapa hati ini saya berikan?".

Kebanyakan dari kita tentu tahu dengan pasti jawaban untuk pertanyaan ini, saya pun juga memiliki jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu yang tentu saja kontradiktif dengan terminologi 'retorika' yang saya sematkan pada pertanyaan tersebut.

Win A Date with Tad Hamilton adalah film romantisme remaja yang berfokus pada perjalanan seorang karakter dalam menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Menilik dari judulnya, banyak orang akan langsung menganggap bahwa film ini adalah film 'cheesy', romantisme murahan, karakter-karakter yang standar banget, dialog-dialog bodoh, yang mungkin hanya menarik untuk audience berusia 15-16 thn yang sedang dirundung cinta masa puber, lengkap dengan bunga-bunga mimpi yang puitis dan hiperbolis.

Di film ini, seorang Rosalie (Kate Bosworth) adalah penjaga / kasir di sebuah toserba di kota kecil yang hampir bisa dipastikan warganya saling mengenal satu sama lain. Kesehariannya selalu diwarnai oleh kehadiran dua orang sahabat terdekatnya, yaitu Cathy (Gennifer Goodwin) sesama kasir dan Pete (Topher Grace) manajer kedua sahabat tersebut dan sudah tidak punya tempat lagi di dinding kantornya untuk digantung penghargaan "Manager of the Month" dari jaringan toserba tempat ia bekerja.

Pete sebenarnya versi sederhana dari seorang Edward Bloom dari 'Big Fish' yang memang punya nasib yang bisa jauh lebih baik apabila ia keluar dari kota kecil itu. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya untuk keluar dari kota itu dan berbuat lebih banyak di dunia luas demi kehidupan pribadinya. Dan sang sutradara memvisualisasikan 'sesuatu' itu sehingga setiap penonton pun akan dengan cepat mahfum apa alasan Pete untuk masih tetap berkeliaran di kota kecil itu tanpa perlu ada tutur kata.

Terlepas dari itu, Rosalie dan Cathy adalah fans berat (terlalu berat malah) dari seorang Tad Hamilton. Aktor cakap, yang selalu kebagian peran protagonis yang digambarkan sangat mampu menyihir para fans-nya sehingga mereka akan berpikir bahwa kehidupan nyata sang Tad Hamilton (Josh Duhamel) sesempurna kehidupan tokoh-tokohnya di film yang ia mainkan. Tapi kenyataan tidak selalu semanis apa yang dibayangkan bukan? titik balik si Tad Hamilton adalah ketika seorang paparazzi menangkap seorang Tad dan diberi titel oleh manajer dengan
dialog ironi "Congratulations! You're actually drinking, driving, smoking, leering, and groping at the same time". Khawatir akan imej sang aktor, manajer dan agen pribadinya yang keduanya (bodohnya) bernama Richard Levy mengadakan suatu kontes amal di mana seorang gadis biasa yang beruntung akan menjadi teman kencan seorang Tad Hamilton.

Even-even berikutnya, secara mudah bisa ditebak. Rosalie memenangkan kontes tersebut, dan kemudian juga memenangkan hati Tad. Dan Pete, yang selama ini tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada Rosalie terjebak antara keputusasaan dan keinginannya untuk merengkuh Rosalie kembali dari sang idola, dan seterusnya.

Kisah ini sebenarnya sangat sangat biasa sehingga kemungkinan besar bahwa setiap orang akan melihat film ini sebagai film remaja yang segera dilupakan karena kemiripan temanya. Dan memang, kita bisa dengan mudah menebak jalur nasib mana yang dipilih oleh Rosalie dan jawaban apa yang akan ia munculkan untuk pertanyaan yang saya lentingkan di atas. Namun, terlepas dari itu, ketiga tokoh dalam film ini cukup baik dimainkan oleh masing-masing aktor dan aktris-nya. Keegoisan Tad untuk mendapatkan cinta Rosalie yang akhirnya
muncul di akhir film, saya yakin bisa membuat banyak penonton geram kepadanya muncul sangat alami dan dengan alasan yang bisa diterima oleh logika. Demikian pula ketidakmampuan Pete dalam mengungkapkan perasaannya, akan melulu mencurahkan simpati kepadanya yang saya pikir terlalu dilebih-lebihkan oleh sang Sutradara. Tapi toh, akhirnya penonton mendapatkan ending yang mereka mau.

Kesimpulannya, film ini memang tidak istimewa. Tapi untuk sesorang yang sedang kasmaran, dan punya banyak waktu, kenapa tidak? film ini cukup bisa dinikmati. Dan perhatikan juga dialog Tad dan Pete di toilet mengenai Rosalie, dan juga dialog Rosalie dan Pete di akhir film. Meski terkesan terlalu puitis untuk ukuran film remaja, tetap bisa meninggalkan kesan romantis tanpa perlu dibumbui campur tangan sutradara yang berlebihan.

Cuman mungkin ada pertanyaan yang cukup mengganjal. Orang awam pun pasti tahu dengan sekelebatan lewat bahwa Pete mencintai Rosalie. Tapi kenapa, bahkan Cathy yang merupakan sahabat karib mereka tidak bisa melihat ketertarikan itu? sementara mereka bertiga tinggal di kota kecil di mana setiap orang mengenal satu sama lain.

Movie Image

Rating: ** / ****. Lumayanlah untuk film percintaan remaja. Gadis2 usia 15-16 tahun pasti lebih bisa menikmati film ini.

Ketika Tirai Dibuka

Entah untuk yang keberapa kalinya saya membuat sebuah halaman di komunitas maya untuk menampung pemikiran saya yang sederhana ke dalam sebuah rekaman kata untuk kemudian dibagi ke para pengguna internet tapi kemudian hanya sempat mencatat selembar dua artikel yang bahkan tidak menarik bagi saya untuk saya tuangkan dalam tulisan apalagi untuk dibaca oleh orang asing yang keberadaannya pun seringkali masih menjadi misteri buat saya.

Namun kemudian, berusut sana sini, saya sampai pada kesimpulan kalau selama itu saya tidak pernah menulis sesuatu yang saya benar-benar suka. Saya masih terpanteng pada anggapan bahwa dengan 'blog' ini saya harus dan hanya menuliskan kejadian-kejadian unik, dan nyeleneh yang terjadi di keseharian saya dalam bahasa humor yang memancing tawa. Sayangnya, kedua hal tersebut, saya tidak punya. Keseharian saya sangat amat normal. Saya pergi ke kampus, duduk di sebuah ruangan, berhadapan dengan komputer dan kemudian sore harinya pulang ke kos dan kembali berhadapan dengan komputer. Pun tidak ada kejadian seru yang bisa saya ceritakan, karena memang jarang sekali saya menemui hal yang seru di keseharian saya.

Lalu, kenapa ada 'Screening Log'? semenjak kecil saya sudah tergila-gila sama cerita fiksi. Baik yang dituangkan dalam media tulisan, atau media gambar bergerak (film). Bahkan sebagai seorang murid sekolah dasar yang harus tidur pukul 9 malam, saya sering terjaga sampai jam 11 atau bahkan lewat tengah malam demi untuk memelototi layar kaca, atau membalik-balik halaman sebuah novel. Yah, itulah saya.

Hobi saya tersebut (film dan novel), baru bisa saya manjakan kira-kira setahun belakangan ketika saya sudah bisa mencari nafkah sendiri dan lepas dari tunjangan orang tua. Ketika itu, dan dibantu oleh budaya negeri ini, saya mulai mengumpulkan media-media yang menjadi obyek nafsu saya. Dan kemudian, saya mulai melihat film dan novel sebagai media seni dan bukan semata tempat bagi sutradara atau penulis untuk sekadar memberikan santapan lezat buat mata atau imajinasi kita saja. Seiring dengan situ, saya mulai memandang media hiburan dari sudut mata seorang kritikus dan mulailah saya menulis review.

Dan untuk itulah, 'Screening Log' ada. Seperti halnya pementasan di panggung, sedetik sebelum sang aktor berakting, tirai akan dibuka dan Ketika Tirai Dibuka, semua imaji dan realita berpadu jadi satu. *what the hell am i talking about, anyway?* Jadi marilah, bergabunglah dengan saya, sambil menikmati cerita yang disaji lewat seluloid atau kertas.

Satu lagi dan terakhir, saya memakai Bahasa untuk menulis isi dari pementasan ini dan sedapat mungkin tidak akan ada spoiler yang mungkin akan mengganggu anda dalam menikmati film yang saya review.