Wednesday, July 21, 2004

Japanese Story (2003)

Starring: Toni Collette, Gotaro Tsunashima, Matthew Dyktynski
Directed by: Sue Brooks
 
"Japanese Story" adalah drama romantis yang lezat.  Sebuah alternatif dari romantisme versi Hollywood, dan sebuah perjalanan yang menyenangkan dalam satu sisi emosi manusia. Cinta.
 
Sandy (Collette) dan Tachibana Hiromitsu (Tsunashima) adalah dua orang asing yang benar-benar terasing yang harus bersama-sama ketika Sandy ditugaskan untuk menjadi guide Hiromitsu untuk melakukan survei terhadap perusahaan penambangan milik ayahnya di sepanjang gurun Australia. Penyatuan dua manusia yang berbeda akar budaya membuat masing-masing melihat yang lain melalui lensa stereotip sempit yang kemudian malah justru menghalangi kompleksitas dan potensi masing-masing.
 
"Japanese Story" adalah satu lagi contoh culture-clash yang ditampilkan dan dieksploitasi oleh media film. Perhatikan bagaimana di awal-awal cerita Hiromitsu bercerita ke kolega-nya mengenai apa dan bagaimana Sandy menurut dia (which of course, very inacurate) di depan Sandy sendiri yang praktis tidak paham sedikitpun karena Hiromitsu bercerita dengan memakai bahasa ibunya (Jepang).
 
But then, you'll know where the story shall lead you. Ketika Sandy dan Hiromitsu berada di sebuah situasi yang sulit, timbullah percikan asmara di antara mereka berdua. Sue Brooks menggambarkan percikan ini juga melalui sebuah dialog unik mengenai beda antara  'Dessert' dan 'Desert' dan permainan mata antara kedua tokoh ini sampai pada adegan intim yang pelan, tak banyak berkata, dan to-the-point-I-M-O.
 
Cerita kemudian berbelok tajam. Dan dari sinilah, kualitas Collette sebagai aktris sangat luar biasa ketika dia digambarkan sebagai seorang yang sinis (terhadap Hiromitsu), berbunga-bunga sampai ke kesimpulan yang ditampilkan di akhir film. Di sini, kita bisa lihat esensi "Japanese Story" sebagai eksplorasi terhadap perasaan manusia yang ditimbulkan oleh sebuah emosi bernama Cinta. It's a nice one.
 
'Japanese story'

 
Rating: *** / **** - Lagi bahagia, nonton film, akhir-akhir ini bagus semua. 2001: A Space Odyssey, Elizabeth, Girl with a Pearl Earring, sekarang Japanese Story. More reviews to come.

Sunday, July 18, 2004

1st Anniversary

Since July 18th, 2003 beginning with the movie "Terminator 3: Rise of the Machines", 70 reviews has been written and published in the internet throughout various web-pages (Yahoo! Movies, and Screening Log).
 
Henceforth today, July 18th, 2004 was marked a full year (52 weeks) my reviews writing has been going on. With 70 movies reviewed in that time-span, roughly one movie is reviewed in a week.

Friday, July 16, 2004

Girl with a Pearl Earring (2003)

Starring: Scarlett Johansson, Colin Firth, Cillian Murphy, Essie Davis, Alakina Mann
Directed By: Peter Webber
 
Saya suka sekali sama film ini. Semua aspek dari film ini menurut saya 'nyeni' sekali. Mulai dari shot-nya, environment, dan terutama cast-nya yang benar-benar sempurna dari Johansson, Firth, Murphy, sampai ke peran-peran yang tidak signifikan. Jelas buat saya, ini adalah salah satu dari film terbaik yang rilis tahun 2003.
 
Inti cerita dari film ini diambil dari sebuah novel bertitel sama. Sebuah imajinasi seorang penulis mengenai kisah yang melatar-belakangi lukisan berjudul "Girl with a Pearl Earring" yang diluksi Johannes Vermeer  sekitar abad ke-17.
 
Cerita di film ini berfokus pada Griet (Johansson), gadis berusia 17 tahun yang harus sudah men-support kehidupan ekonomi keluarganya, dan kemudian bekerja sebagai maid di rumah seorang pelukis Johannes Vermeer (Firth). The rest is pretty much guessable, Griet segera menunjukkan kualitas-nya bukan hanya sebagai maid namun juga sebagai apresiator seni, ketika kemudian dia meminta izin kepada nyonya besarnya untuk membersihkan jendela studio Vermeer karena ia takut akan mengubah tata pencahayaan di studio tersebut.
 
Vermeer pun segera melihat kulaitas Griet ini sehingga kemudian dia secara personal meminta Griet untuk membantu dalam menyelesaikan karya-karya seninya yang tentu saja akan menyulut kecurigaan sang nyonya besar yang berpuncak pada 'pearl earring'. Selain itu terdapat juga character-clash yang dibawa oleh mertua Vermeer yang selalu ingin putrinya tetap ada di kalangan elit, patron Vermeer yang lebih tertarik pada model dari pada sebuah lukisan sendiri tapi cukup apresiatif terhadap seni itu sendiri, kesemuanya menghasilkan chemistry yang enak antar karakternya yang meski lebih banyak ditampilkan lewat gambar daripada dialog tetap punya kharismanya masing-masing.
 
Scarlett Johansson sangat mempesona, she's more enchanting here than her previous matured-act (consider that she's only 18 yrs old) in Lost in Translation. Dia hampir-hampir tidak pernah ngomong, tapi mimik mukanya, gerak-geriknya, juga shot-shot yang mengelilinginya. Perhatikan bagaimana jelas bahagia terlihat di gerik-nya ketika Vermeer memintanya untuk menjadi asisten pribadinya, atau ketika ia face-to-face dengan Colin Firth ketika mencari pose yang pas untuk lukisan, atau terisolirnya dia dari dunia tuan-nya lewat shot-shot yang digambarkan oleh kritikus New York Times seperti shot-shot yang dihasilkan mahasiswa semester satu jurusan pembuat Film, penuh simbolisasi tapi tidak berjiwa (katanya). Saya sendiri tidak setuju, this particular movie was among the best cinematography i've ever witnessed.
 
Movie Poster Image for Girl With a Pearl Earring

 
Rating: ***1/2 / **** - This movie is an art in its entirety

Tuesday, July 13, 2004

Dean Koontz: Hideaway

Dean Koontz adalah salah satu penulis fiksi dengan genre pilihan horor. Hideaway merupakan novel kedua dari Koontz yang saya baca.

Perkenalan pertama saya dengan Dean Koontz berawal dari novel The Eyes of Darkness yang terus terang sangat mengecewakan. Mengingat The Eyes.. adalah termasuk salah satu dari karya pertamanya, wajar kalau misalnya memang ternyata hasilnya tidak sebagus karya-karya-nya berikutnya.

Hideaway dibuka dengan suguhan konsep fiksi ilmiah mengenai resucitation -- spell-nya mungkin rada-rada salah --, sebuah minat baru di bidang kedokteran yang memungkinkan seorang yang secara fisik sudah meninggal dihidupkan kembali. Cukup menarik riset yang disajikan Koontz di sini.

Alkisah, seorang pasien bernama Hatchford Harrison bersama istrinya Lindsay Harrison mengalami kecelakaan. Di kecelakaan itu, Hatch (Hatchford) meninggal karena beku (mereka jatuh di sebuah sungai pada malam musim dingin yang super dingin) sebuah kondisi di mana Dr. Jonas Nyebern, kepala tim medis ahli di bidang resucitation akan merasa yakin Hatch bisa dihidupkan kembali. Dan benar, dengan memecahkan rekor 'mati terlama' -- kalau tidak salah ingat, 76 menit meninggal -- Hatch berhasil dihidupkan kembali.

Namun, hal ini berakibat di Hatch secara metafisis dimana dia sekarang memiliki semacam koneksi, koneksi psikologis dengan seseorang yang memungkinkan Hatch untuk mendapat 'vision' dengan melihat melalui mata orang tersebut.

Dan kemudian, cerita berlanjut dengan sangat seru ketika perlahan-lahan Koontz membuka tabir yang menutupi hubungan antara kedua orang, Hatch dan seseorang ini.

Perpaduan yang menarik dan enak antara fiksi ilmiah, horor, dan komedi membuat novel ini jauh di atas The Eyes of Darkness. Koontz menceritakan Hideaway dengan perspektif -- personal favorite -- multi-angeled, multi-events yang membuatnya memaksa untuk selalu diikuti. Karakter-karakter-nya juga cukup manusiawi, tidak ada sedikit masalahpun buat saya untuk masuk ke dalam cerita. Dia juga menyinggung fiksi ilmiah dengan cerdas, horor yang mencekam, diselingi komedi yang menggelitik, dan sedikit unsur teologi Kristen yang diungkap ketika Hatch berkonfrontasi dengan seseorang ini di akhir cerita. Satu hal yang mungkin kurang adalah tidak dijelaskannya unsur kekuatan Hatch sendiri yang membuat dia bisa ber'komunikasi' dengan seseorang ini. Tapi, kekuatan seseorang (night-vision, cat-like agility) cukup dijelaskan meski sedikit, paling tidak tidak dibiarkan lantas tergeletak di kegelapan. Well, somethings are better left untold in this kind of novel. The same goes for movies.



One of the best horror novel I've ever read.