Directed By: Peter Webber
Saya suka sekali sama film ini. Semua aspek dari film ini menurut saya 'nyeni' sekali. Mulai dari shot-nya, environment, dan terutama cast-nya yang benar-benar sempurna dari Johansson, Firth, Murphy, sampai ke peran-peran yang tidak signifikan. Jelas buat saya, ini adalah salah satu dari film terbaik yang rilis tahun 2003.
Inti cerita dari film ini diambil dari sebuah novel bertitel sama. Sebuah imajinasi seorang penulis mengenai kisah yang melatar-belakangi lukisan berjudul "Girl with a Pearl Earring" yang diluksi Johannes Vermeer sekitar abad ke-17.
Cerita di film ini berfokus pada Griet (Johansson), gadis berusia 17 tahun yang harus sudah men-support kehidupan ekonomi keluarganya, dan kemudian bekerja sebagai maid di rumah seorang pelukis Johannes Vermeer (Firth). The rest is pretty much guessable, Griet segera menunjukkan kualitas-nya bukan hanya sebagai maid namun juga sebagai apresiator seni, ketika kemudian dia meminta izin kepada nyonya besarnya untuk membersihkan jendela studio Vermeer karena ia takut akan mengubah tata pencahayaan di studio tersebut.
Vermeer pun segera melihat kulaitas Griet ini sehingga kemudian dia secara personal meminta Griet untuk membantu dalam menyelesaikan karya-karya seninya yang tentu saja akan menyulut kecurigaan sang nyonya besar yang berpuncak pada 'pearl earring'. Selain itu terdapat juga character-clash yang dibawa oleh mertua Vermeer yang selalu ingin putrinya tetap ada di kalangan elit, patron Vermeer yang lebih tertarik pada model dari pada sebuah lukisan sendiri tapi cukup apresiatif terhadap seni itu sendiri, kesemuanya menghasilkan chemistry yang enak antar karakternya yang meski lebih banyak ditampilkan lewat gambar daripada dialog tetap punya kharismanya masing-masing.
Scarlett Johansson sangat mempesona, she's more enchanting here than her previous matured-act (consider that she's only 18 yrs old) in Lost in Translation. Dia hampir-hampir tidak pernah ngomong, tapi mimik mukanya, gerak-geriknya, juga shot-shot yang mengelilinginya. Perhatikan bagaimana jelas bahagia terlihat di gerik-nya ketika Vermeer memintanya untuk menjadi asisten pribadinya, atau ketika ia face-to-face dengan Colin Firth ketika mencari pose yang pas untuk lukisan, atau terisolirnya dia dari dunia tuan-nya lewat shot-shot yang digambarkan oleh kritikus New York Times seperti shot-shot yang dihasilkan mahasiswa semester satu jurusan pembuat Film, penuh simbolisasi tapi tidak berjiwa (katanya). Saya sendiri tidak setuju, this particular movie was among the best cinematography i've ever witnessed.
Rating: ***1/2 / **** - This movie is an art in its entirety