Wednesday, September 29, 2004

Akira Kurosawa

So it begins,

As some of you devoted reader of my so-called reviews had observed in my previous posts. Approximately last-month, i had bought several (10 to be exact) movies which directed by Akira Kurosawa.



Akira Kurosawa was regarded as the "Sensei of Cinema". Many great directors had named him among their influences such as George Lucas, Steven Spielberg, Martin Scorsese, John Woo. But, however great he was, i've got to admit that i've never known him before i decided to be more than just a movie-viewer just about two-years ago.

It began when in one faithfulday, a friend of mine ask me to accompanied him to the game-store. And while he was enjoying himself at the store and left me particularly on my own, i went to look around to see if something might caught my interest. And there it was, right in front of the store was a DVD-booth. With no particular interest in mind, i browse the booth's collection and finally came up with an old movie titled "Seven Samurai".

Now at the time, i've heard, i've known, and i've seen that one of the Hollywood's movie entitled "The Magnificent Seven" was lously based on the movie. And at the time, that was the only reason of why i choose the DVD to bought. I've no clue whatsoever (at the time) of who is this Akira Kurosawa was whose judging by the way his name appears in the DVD-box was a man with significance importance in accordance to the movie itself.

So it marked my self-introductory to Akira Kurosawa. None of my friend had recommended me his movies. I simply stumbled upon that "Seven Samurai" and admiring it as the work of a true deep-insightful movie-maker. I mean, just look how he portrayed the chemistry between the ronins and the villagers, how he portrayed the final showdown between the bandits and the ronins amidst of heavy rain. It may not much comparing to the special computer generated effects that over populated the screen nowadays. But one thing was true, one thing was alive, that the emotion was intact, as a mere audience i could feel the way those ronin stood there protecting something which is may not important to them, but merely they stood for what they believed (pretty much like the hair-cutting scene in more recent "The Last Samurai" starred by Tom Cruise which in my opinion the only scene memorable from the film). It's the emotion that kept this movie alive and subsequently (as i later observed) had made the movie become (albeit argueably) one of the greatest Kurosawa's film.

Kurosawa himself had directed 30 movie-titles, and of that 30, adding to the 10 titles i just bought would leave me with 11 titles of Kurosawa's films that i had been appreciated.

I've seen one of the 10 film i mentioned earlier (titled "Dersu Uzala", a 1975 joint-production with Russia and won the Academy Awards for Best Foreign Language film) but i won't wrote the review yet as i wanted to compare this film with his other works as also i would like to learn what his characteristics are in making film so i could understand more the spirit he wove among the thread of selulloid.

Tuesday, September 21, 2004

The Perfect Score (2004)

Starring: Erika Christensen, Scarlett Johansson, Leonardo Lam, Chris Evans, Darius Miles, Bryan Greenberg
Directed by: Brian Robbins

Enam muda-mudi, latar belakang berbeda, dan (kepentingan film) politically correct kalo diliat dari ras dan gender (two girls, four guys, Asian, Kaukasian, Afro-American) memiliki masalah yang sama.. SAT (semacam UMPTN kalau di Indonesia).

Anna (Christensen) adalah gadis cerdas dengan GPA 4.0 tapi dia punya "stereotipical problem" yang suka membuat dia meninggalkan kertas kosong di sebuah ujian, atau karena ekspektasi berlebih dari orang-orang disekelilingnya yang membuatnya jengah.

Kyle (Evans) memiliki cita-cita sebagai seorang arsitek dan ingin melanjutkan kuliah ke Cornell, tapi nilai SAT-nya tidak mencukupi.

Matty (Greenberg) harus masuk ke Universitas Maryland untuk bersatu kembali dengan pacar-nya.

Desmond (Miles), atlet basket yang harus masuk universitas (instead of NBA) demi memenuhi keinginan ibunda-nya.

Roy (Lam), a natural screen-stealer, a stoner which happen to be there, hitch-a-ride the heist journey.

Terakhir, Fransesca (Johansson) yang harus ikut karena ayahnya adalah sang pemilik kantor yang menjadi target tindakan mereka. And hell, she says it's been fun in the end.

Ber-enam mereka merencanakan aksi yang at-best untuk hanya menjadi konsumsi film saja yaitu masuk ke kantor tempat jawaban tes SAT disimpan, mengkopi jawaban yang benar dan menggunakannya dalam tes SAT untuk memperoleh hasil yang maksimal supaya bisa tercapai apa yang mereka cita-citakan.

It was a lame story to begin with, and yet another lame way to end it, with 'heavy' 'morale' stuff "Dont do drugs!", "Dont cheat!" weighing in one end and none in the department of quality and remembrance in the other end to provide the balance. Film-nya menyenangkan sebenarnya kalo dilihat sebagai hiburan teen-flick semata tapi yah, cukup sampai di situ saja.

Brian Robbins (Varsity Blues) juga tampak paham betul mengenai keterbatasan plot untuk dikembangkan sehingga dia mengembangkannya dengan faktor fun setinggi mungkin yang justru malah menjebak para pemainnya apakah lantas berkonsentrasi pada film komedi (seperti yang diindikasikan oleh main-plot-nya) atau justru ke drama yang menuntut mereka memainkan chemistry antar karakter yang mereka perankan.

Plotnya sendiri cukup banyak meninggalkan lubang yang bahkan kontradiktif antara satu sama lainnya (contoh, satu adegan ketika para remaja ini mengendap-endap di bawah kamera lobi sementara berapa puluh menit kemudian Fransesca dan Matty mengobrol dengan santainya di lobi yang sama. So what's the point of being sneaking around in the previous scene?. Plot-holes sendiri sebenernya forgivable enough apabila konteksnya berada di film komedi gila-gilaan, tapi apakah film ini merupakan satu dari komedi gila-gilaan? reviewer anda di sini menggeleng-gelenggan kepala.

Aktor dan aktrisnya sendiri jauh dari memuaskan. Erika Christensen, untung dia cantik jadinya bisa dimaafkan. Leonardo Lam, is he being stupid because he is stupid or does he has to be stupid? well, either way he was a natural-scene-stealer. Darius Miles is more like an athlete than an actor and it was pretty obvious why does he has to stop pursuing his career as an actor and concentrate on the NBA instead. Duo aktor yang menjadi mastermind di film ini juga cuma numpang lewat saja. Charming, tapi tidak memorable.

That leaves me with Scarlett Johansson. Sejak "Lost In Translation", I already fallen in love with this girl. Ditambah performanya yang mengaguman saya di "Girl with a Pearl Earring", aktris ini menjadi satu dari aktris muda favorit saya. Di film ini dia tampil selayaknya oli buat mesin karatan, she kept the movie rolling but cant help to give a more decent quality to the movie.

Satu lagi, sudah saya sebutkan kalo film ini produksi MTV? karena demikian, film ini tidak akan pernah sepi dengan musik-musik pop yang justru seingkali membuat saya tidak betah nonton sebuah film.



Rating: * / **** - Erika Christensen, and Scarlett Johansson gave the * to the rating of this movie.

Saturday, September 18, 2004

Man On Fire (2004)

"Revenge is a meal best served cold".

Saya mengernyit ketika salah satu karakter di film ini mengucapkan kalimat di atas. Ingatan saya lantas terbang ke kalimat yang sama yang diucapkan oleh The Bride di film yang mungkin jadi revenge-flick terheboh tahun ini, Kill Bill.

Kill Bill, The Punisher, Walking Tall dan Man On Fire adalah film revenge-flick, film yang bertemakan balas-dendam yang muncul di tahun 2004 sampai sekarang. Dengan Uma Thurman, The Punisher (saya lupa nama pemerannya), The Rock dan Denzel Washington sebagai pelakon utama untuk masing-masing film tersebut.

Dari keempat aktor tersebut, Mr.Washington definitely out-acted all three. Kualitas akting-nya yang menurut saya mewajibkan penggemar revenge-flick untuk mengintip film ini.

Man On Fire 2004
Starring: Denzel Washington, Dakota Fanning, Marc Anthony, Radha Mitchell, Christopher Walken
Directed By: Tony Scott

Cukup beralasan untuk menjadikan Man On Fire menjadi film terbaik untuk genre revenge-flick saat ini, bahkan bila dibandingkan dengna Kill Bill sekalipun. Meskipun Kill Bill memiliki beberapa kekuatan sendiri yang tidak ditemui di Man On Fire, tetapi untuk emosi, sebab-akibat yang ditimbulkan oleh revenge di Man On Fire lebih baik daripada Kill Bill.

Revenge-flick, Denzel Washington sebenarnya bukan favorit buat saya. Tapi saya sempatkan untuk menikmati film ini karena ada Dakota Fanning, she was stunning me in I Am Sam, and she really-really-really out-smarted and out-acted -- both in film and in the real world -- Brittany Murphy in Uptown Girls all the more reason for me to expect something great from her in the movie where she took a head-on against Mr.Washington, one of the leading quality actor nowadays.

Mr.Washington bermain sebagai John Creasy, tipikal perannya Mr.Washington yang kadang-kadang membuat saya bosan dengannya (kapan lagi dia maen jadi proto-antagonis kaya di Training Day yah?) yang sangat protagonis dan menarik simpati luar biasa dari penonton. John Creasy adalah mantan tentara -- Amerika tentunya -- yang datang ke Mexico City untuk reuni dengan sahabatnya, Rayburn (Christopher Walken). Demi melihat sahabatnya berada dalam suatu state yang depresif, Rayburn membantunya untuk kemudian menjadi body-guard untuk Pita (Dakota Fanning), putri pengusaha kaya (Marc Anthony) dengan istrinya yang Amerika (Radha Mitchell). The rest is pretty much guessable, i let you slide with the fact by yourself.

Film ini durasinya panjang, dua setengah jam dan menurut saya worthed banget soalnya Tony Scott memanfaatkan kepanjangan durasi film-nya dengan membangun keterkaitan emosional yang sangat kuat antara Pita dan Creasy, sehingga penonton pun akan terpancing dengan mudah untuk menjustifikasi eye-for-an-eye yang dilakukan Creasy di sepertiga terakhir film.

And as expected, Ms.Fanning luar biasa, singkirkan dulu lah Mr.Anthony yang cuma sleep-walking di film ini, atau Ms.Mitchell yang hanya perlu marah-marah saja, atau karakter-karakter lain yang sebenarnya signifikan tapi terasa seperti hanya numpang lewat saja. Film ini memang panggung yang diciptakan untuk Mr.Washington dan Ms.Fanning saja dan keduanya memang benar-benar mengemban tugasnya dengan baik.

Mr.Washington -- sekali lagi dalam peran yang biasanya (membosankan) -- tampil mengesankan dari state awalnya yang depresif menjadi sosok ayah menjadi sosok pembnuh berdarah dingin. Ms.Fanning pun demikian, tidak terjebak di peran cute yang bahkan masih diperankan sama aktris muda lebih tua 4-5 tahun darinya bisa mengimbangi Mr.Washington dengan cerdas dan penuh emosi. This was maybe the best duo-on-screen.

So where's the catch? well, Tony Scott. Dia mengarahkan film ini dengan style MTV yang kurang mengena buat saya dan secara overall malah mengaburkan penyampaian cerita film ini. Transisi konstan, lompatan frame, permainan tone color yang sedikit out-of-date acapkali membuat lost-track dari film ini. Scott juga berkali-kali mengingatkan hubungan emosional yang menjadi dasar revenge-nya Creasy dengan shot-shot yang menunjukkan memori Creasy dan Pita. Sampai suatu titik, saya menggeliat malas, "Okay, Scott. I've got your message. You dont have to remind me". It's okay to give the audience yet another justification reason tapi kalo berlebihan rasanya kurang bagus juga, lagipula sedari awal hub. emosional yang dibangun sudah cukup kuat.

Satu lagi, ketika merayap ke sepertiga akhir film, sayangnya film ini kemudian berubah menjadi standar untuk film action, Creasy bisa dengan santai jalan-jalan ke night-club Mexico City padahal kepolisian sudah menetapkannya sebagai tersangka pembunuh polisi, selain itu dengan mudah dia juga mendapat fancy-suit, unlimited ammo and weaponry sampai shoulder-mounted Grenade Launcher RPGs yang sanggup mengehentikan Tank. And guess what? he got shot in the chest and yet he could easily outsmarted the supposedly-nastiest bad-ass guys in Mexico City single-handedly. Well, too bad.

Endingnya sendiri cukup asik, tidak memberikan kepuasan voyuerisme tapi retribusi dan karma yang cukup dalam dan cukup mengoyak emosi yang saya yakin membuat sedikit di antara penonton yang akan meninggalkan bioskop dengan muka cerah.



Rating: *** / **** - Kenyataan bahwa film ini sepertiga terakhirnya cuman film action std greatly reduced the rate i give, yet Ms.Fanning, she's quite an extraordinary young actress worth to watch. And at such a young age too. Expect this movie real soon came at 21 network.

Tuesday, September 14, 2004

Traffic (2000)

Ada sesama apresiator film yang nyaris selalu bersebrangan pendapat dengan reviewer anda ini. Sebagai contoh, mengenai Stanley Kubrick. Teman saya ini berpendapat bahwa Kubrick itu sutradara sok pinter, menggurui mulu tanpa pernah peduli sama kepuasan penonton sedangkan saya sendiri berpendapat film-film Kubrick walaupun selalu mengakibatkan bertambahnya kerutan di antara alis, memberikan kepuasan yang lebih dari pada film summer jedang-jedung yang justru timbul jauh setelah beberapa lama. Dan juga beberapa perbedaan lain yang kebanyakan sifatnya prinsipil.

Tetapi, mengenai Benicio Del Toro kita punya persepsi yang sama. That he's one magnificent actor that is. You've seen him as Frankie Four-Finger in a helluva British-comedy "Snatch", you've seen him as the one responsible of taking away Naomi Watts' two children in "21 Grams". And both role though short were magnificently memorable ones. Now this is a movie which awarded him an Oscar for Best Supporting Actor at the Academy Award Ceremony 2001.

Traffic (2000)
Starring: Michael Douglas, Benicio Del Toro, Catherine Zeta-Jones, Erika Christensen, Dennis Quaid
Directed by: Steven Sodenberg (Erin Brokovich), recieved an Oscar for his directional effort in this movie.

Film ini dibuka dengan tone gersang yang mengetengahkan dua orang kepolisian Tijuana sedang menunggu untuk menyergap selundupan obat bius (kokain). Benicio Del Toro berperan sebagai salah satu dari polisi Meksiko tersebut.

Di belahan dunia lain, Ohio diceritakan secara paralel bebarengan dengan even di Meksiko dengan tone biru gelap kiprah seorang hakim anti drug (Michael Douglas) yang kemudian di tugaskan oleh POTUS (President of the United States -- of America tentunya) untuk menjadi czar kampanya anti-drug yang baru.

Di Florida, seorang ibu (Catherine Zeta-Jones) yang selama ini percaya terhadap legitimasi bisnis suaminya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa suaminya hanyalah seorang importir kokain dari Meksiko.

Di Cincinnati, seorang pelajar (Erika Christensen), third in her class, begitu mudah masuk ke dalam drug-addiction which utterly led to her destruction demi memenuhi suplai kebutuhan kokain-nya.

Di San Diego, dua agen DEA sedang berusaha untuk menangkap seorang agen penjual kokain.

Dan di Meksiko, seorang jenderal bertekad untuk menghancurkan salah satu kartel penyuplai kokain terbesar di negara itu.

Cerita-cerita di atas hanya memiliki satu benang merah, drug yang dalam film ini diwakili oleh kokain. Diadaptasi dari miniseri "Traffik" yang menceritakan bagaimana drug didistribusikan dari ladang-ladang petani Pakistan sampai mencapai jalan-jalan kota London, "Traffic" mengambil alur yang sama hanya memindahkan lokasi dari Pakistan ke Meksiko dan dari London ke US. Dan cerita-cerita di atas yang dikombinasikan secara apik oleh Sodenberg membuat film ini adalah salah satu film terbaik tahun 2000.

Saya sendiri selalu suka film-film yang tidak terpaku kepada cara bertutur sekuensial yang linear-linear saja. Dengan alasan itu, dari ketika tone gersang yang menggambarkan Tijuana berpindah menjadi tone biru gelap yang menggambarkan ruang sidang di Ohio saya langsung mempunyai hunch, "I'm gonna love this movie" dan ya, saya menyukai film ini.

Kemajemukan cerita ini dideferensialkan oleh Sodenbergh lewat tone-tone yang ia pakai. Sehingga di suatu titik ketika tone berubah, dengan cepat kita tahu kita sedang ada di mana dan fokus cerita lagi ke siapa.

Satu lagi mengenai kemajemukan cerita, film ini juga tidak lantas menimbulkan series of lucky happenings yang mengaitkan masing-masing cerita secara alur cerita. Bahkan Catherine Zeta-Jones tidak pernah ada satu scene dengan Michael Douglas. Sodenbergh mentransisikan satu cerita ke cerita lainnya dengan narasi yang relatif sederhana. Pada intinya memang cerita-cerita dalam Traffic ini hanya melompat dan mengitari benang merah yang diberikan sejak awal film ini bergulir, yaitu kokain.

Film ini juga berfungsi sebagai semacam dokumenter yang menceritakan perjalanan kokain dari kartel di Meksiko, distribusi ke US lewat para importir, sampai penjualannya di jalan-jalan suburban di US dan tentu saja orang-orang yang berkepentingan dengan drug tersebut, entah sebagai pengusaha, pengguna, penjual, sampai pemberantas.

Juga jelas diperlihatkan efek dari drug-addict yang menimpa seorang pelajar cemerlang (Erika Christensen) yang lantas melacurkan dirinya dan nyaris menghancurkan hidupnya demi memenuhi kebutuhannya akan kokain.

No good movie is too long, and this movie is way too short. Despite of 150 minutes of running time, film ini terasa begitu singkat buat saya dan agak-agak tidak rela untuk meninggalkan tempat saya duduk menonton film ini.

Kesimpulannya, film ini punya segalanya yang membuat film ini saya sukai. Alur cerita non-linear-sekuensial, drama yang mengharukan, pesan serius yang sukses tersampaikan, pretty-good action, dan tentu saja superb acting dari para aktor-nya dengan Benicio Del Toro jadi front-runner.

Akhir dari film ini juga tidak ditujukan untuk menjual mimpi hiperbolis untuk mengakhiri perang dengan drug. Karakter hakim yang dimainkan Michael Douglas bahkan mengajukan pertanyaan di akhir film ini "How do you fight a war when the people that you love are the enemy?". Film ini hanya menyuguhkan insight terhadap bisnis obat bius, not the solution. Insight yang disajikan dalam kisah yang kuat dan kompleks dengan sentuhan drama yang mengesankan.

The war still goes on.



Rating: **** / **** - Kenapa Oscar tahun 2001 terbang ke Gladiator? why? why? why?!!!!!

Wednesday, September 01, 2004

My Top 10 Movie of All Time (August 2004 edition)

Untuk membangun sebuah daftar yang mencakup top 10 film terbaik yang pernah disaksikan adalah sebuah usaha yang membutuhkan penilitian yang hati-hati dan paling tidak melihat kembali repositori film yang kadang-kadang hanya sebagian saja tersisa di pikiran sadar seseorang.

Mulai hari ini, sebagai seorang pecinta film, saya akan membuat sebuah daftar top * dengan * adalah angka sebarang lebih besar dari 1. Dan mohon diperhatikan, bahwa karena saya cuma bisa menyisihkan waktu 30 menti saja untuk membangun daftar ini, anggota dari daftar top * ini akan selalu berganti seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya repositori film yang terdapat di kepala saya.

Ini adalah daftar top 10 saya yang pertama, saya usahakan untuk selalu diupdate setiap bulannya. Daftar film yang ada tanda asterisk (*) adalah film yang memiliki daya tahan lebih lama karena achievement-nya yang begitu nyata sehingga susah dan bahkan mustahil untuk lantas ditendang dari daftar top * oleh film-film modern.

In no particular order.

1. Gone With the Wind (1938) *
Sebuah epik drama romantis, yang berdurasi 4 jam adalah sebuah tantangan ketahanan buat saya. Tapi, secara mengejutkan film ini tidak memberikan saya sedikitpun rasa bosan apalagi kantuk yang acap kali datang menyerang ketika saya menonton film-film berdurasi lebih dari tiga jam (ambil contoh Lord of the Rings, saya sempat bosan luar biasa ketika nonton film ini). Film ini begitu padat dan menarik, lupakan sejenak dialog yang kaku dan gestur-gestur teater jaman dulu karena memang itu ciri khas film tahun 30'an - 50'an. Scarlett O'Hara lah yang membuat film ini begitu istimewa. Bukan-bukan Vivian Leigh, tapi Scarlett O'Hara sang tokoh yang diimpesonasikan dengan baik oleh Vivian. Salah satu karakter film yang paling berkesan dan yang akan saya kenang sepanjang masa yang bahkan ketika credit-title mengalir, saya belum bisa memutuskan apakah saya akan bersimpati padanya atau membencinya.

2. Pulp Fiction (1994) *
Film yang begitu fenomenal. Mendobrak tatanan pop sebuah film dan lantas menghadirkan aliran baru dalam perfilman, Quentinian. Adalah Quentin Tarantino, ensiklopedia film berjalan yang berkesperimen dengan alur cerita yang dianut oleh sebuah film. Lewat Pulp Fiction, Quentin mengacak-ngacak alur film, mengabaikan alur waktu logika dan membiarkan penonton menikmati film apa adanya. Didukung oleh cast-cast top macam John Travolta, Uma Thurman, Samuel L. Jackson, Bruce Willis, Michael Clarke Duncan film ini begitu memesona sehingga tidak cukup untuk hanya nonton sekali. Esensi film ini kemudian direproduksi, dan dicontek oleh banyak judul yang sayangnya tidak pernah mencapai ujung kuku dari apa yang telah dicapai oleh film ini.

3. 2001: A Space Odyssey (1968) *
Satu lagi film yang monumental. Di tahun '60-an, film ini menyajikan sebuah film sci-fi yang bahkan masih tercium rasa modern-nya setelah 36 tahun berselang. Sebenarnya, film ini tidak bisa dinikmati dengan santai. Bisa dibilang bahwa ini merupakan film 'ultimate boredom', sepengetahuan saya jarang ada yang betah untuk duduk selama 3 jam menyaksikan eksploitasi visual dan warna-warni hiperbolis yang disajikan oleh Kubrick di sini. Akan tetapi, menurut saya film sci-fi ini termasuk sedikit dari film sci-fi tentang luar angkasa yang ajeg dan sedikit melanggar hukum-hukum fisika yang justru kerap dilanggar oleh film-film sci-fi blockbuster demi meraup untung macam Star Wars, atau Star Trek. Namun seperti halnya film garapan Kubrick yang lambat, dan membosankan, film ini tidak direkomendasikan buat mereka yang mencari film untuk bersantai.

4. Natural Born Killers (1994)
Film ini menurut saya, adalah film yang paling gamblang / jelas dalam menampilkan dualisme, jukstaposisi terbalik. Dari setting komedi sitkom, news-footage, shot hitam-putih dan berwarna film ini adalah eksperimen, exercising in-style dari seorang Oliver Stone yang menghadirkan kegetiran dalam humor, kebrutalan sebagai popularitas, dan pembunuhan sebagai kesenangan. Karakter-karakternya karikatur, fiktif, pun dalam menyajikan ceritanya, Stone sering kali menunjukkan kefiktif-an ceritanya dengan amat sangat jelas. Saya sangat enjoy menonton film ini. "Seeing once is not enough", kata Ebert. Dan saya setuju. Oh ya, naskah cerita dari film ini ditulis oleh Quentin Tarantino. See the connection? *wink-wink*

5. Seven Samurai (1954) *
Emosi. Film epik garapan sutradara terkemuka asal Jepang, Akira Kurosawa ini memiliki emosi yang sangat-sangat kuat. Setiap aspek yang ditunjukkan oleh film ini, setiap karakter yang diguratkan oleh pemain-pemainnya, setiap aksi yang ditampilkannya masing-masing sarat dengan emosi yang membuat saya larut dalam setiap menitnya. Satu dari sedikit film epik (durasi 3 jam atau lebih) yang saya tidak bosan untuk menontonnya. Memang, film-nya hitam putih, memang spesial efek berantemnya 'cupu' tapi memang itu bukan jualannya film ini. Dengan karakter film semacam ini, wajar kalau film ini jadi legenda dan mungkin adalah film-nya Kurosawa yang paling dikenal. Saya pun memulai perkenalan saya dengan Kurosawa lewat film ini.

6. The Shawshank Redemption (1994)
Stephen King adalah penulis favorit saya. Walaupun pada akhirnya terasa penurunan kualitas karya-karyanya Stephen King, saya selalu menyempatkan untuk menambah koleksi saya dengan karya-karya King. "Rita Hayworth and the Shawshank Redemption" adalah salah satu short-story yang dikumpulkan dalam buku Different Seasons. Tidak ada unsur misteri di cerita ini. Pure Drama. Ketika saya membaca novelnya, saya tak kuasa untuk menahan titik air mata saya. Benar-benar kisah yang mengharukan dan menggugah kebanggaan sebagai manusia bebas. Filmnya 'surprisingly' ajeg dengan jalan cerita yang ditampilkan di novelnya. Mungkin ini adalah salah satu film adaptasi yang paling sesuai dengan naskah aslinya, menurut saya. Tim Robbins, Morgan Freeman benar-benar sangat baik dalam memerankan tokoh-tokoh dalam cerita aslinya. Dan endingnya, meski tidak semengharukan novelnya, tetap membanggakan, dan cukup menyesakkan dada.

7. Big Fish (2003)
Kisah fantastis yang sangat imajinatif. Mengusung tema yang agak abstrak, dibungkus dengan fantasi, dan menceritakan seputar cinta, film ini rewarding. Warna-warnanya indah tapi tetap terasa kehadiran Tim Burton lewat shot-shot kelamnya. Menonton film ini juga membuat saya kembali ke masa kecil saya yang dipenuhi cerita-cerita fantastis tentang raksasa, penyihir, sampai kota tersembunyi yang penghuninya tak pernah memakai sepatu. Semuanya disajikan dengan baik oleh Tim Burton seakan-akan dia tidak sedang membuat film melainkan menceritakan kembali fantasinya. Catchy visuals, superb acting (Ewan McGregor, orang Skot yang ngomong Inggris aksen Mississippi), dan rewarding ending membuat film ini definitely become the best movie of 2003, as for me. Saya heran, kok bisa-bisanya 21 tidak memutar film ini.

8. I Am Sam (2001)
Kalau ada yang lebih istimewa dari film ini selain akting istimewanya Sean Penn, Dakota Fanning dan istimewanya emosi yang dibangkitkan oleh film ini adalah soundtrack dari film ini. The Beatles. Salah satu tokoh di film ini yang diperankan oleh Sean Penn adalah penggemar fanatik The Beatles sehingga sepanjang film selalu terdengar lagu-lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh penyanyi / band-band pop masa kini. Bercerita tentang perjuangan seorang ayah yang 'mentally-retarded' (Penn) untuk bersatu kembali dengan anak-nya (Fanning), film ini menyentuh sekali. Ditambah akting luar biasa Penn dan Fanning film ini tidak boleh dilewatkan oleh mereka yang ngaku-nya penggemar drama.

9. Elizabeth (1998)
Cate Blanchett. Sepertinya aktris satu ini memang terlahir sebagai seorang ratu. Tentu masih pada ingat dengan Galadriel, ratu elf Lothlorien di trilogi epik Lord of the Rings? keanggunannya ditampilkan cantik oleh Blanchett. Cerita yang berlatar belakang naiknya ratu Elizabeth I sebagai monarki baru Inggris ini dibintangi oleh Cate Blanchett sebagai Elizabeth. Film semi otobiografi ini mengangkat kisah naiknya Elizabeth ditengah konflik Katolik - Protestan yang sebenarnya bukan sentral dari film ini sehingga sutradara perlu menegaskan hal ini dengan satu adegan pembuka yang sebenarnya menurut saya tidak perlu ketika tiga orang Protestan dibakar hidup-hidup oleh otoritas Katolik. Well, saya suka film ini, saya suka Cate Blanchett, transformasinya begitu sempurna dari seorang gadis remaja menjadi sosok ratu yang angkuh dan berwibawa menunjukkan sebenarnya dia pantas meraih Oscar (yang terbang ke Gwyneth Paltrow dan lantas membuat saya membenci Gwyneth sampai sekarang). Selain Cate, Geoffrey Rush juga sangat notable performanya sebagai seorang di balik layar dari kepemimpinan Elizabeth. Desain kostum dan set yang luar biasa cakep, membawa kita serasa kembali ke Inggris abad 16. Selentingan tidak sedap menyebutkan bahwa film ini gagal di Oscar (dan kalah oleh Shakespeare in Love, "What???") adalah karena film ini debut sutradara India (Shekhar Kapur) di Hollywood.

10. Girl with a Pearl Earring (2003)
Film yang sangat miskin dengan dialog. Achievement terbesar dari film ini dan yang lantas membuat saya memasukkan film ini ke dalam daftar adalah sinematografinya. Berlatarbelakang kisah seorang pelukis, film ini menyajikan seni lewat tata cahaya, color tone yang dikerjakan dengan baik oleh para sinematografer-nya. Lebih lengkap, bisa dilihat di artikel lain dari blog ini.