Wednesday, September 01, 2004

My Top 10 Movie of All Time (August 2004 edition)

Untuk membangun sebuah daftar yang mencakup top 10 film terbaik yang pernah disaksikan adalah sebuah usaha yang membutuhkan penilitian yang hati-hati dan paling tidak melihat kembali repositori film yang kadang-kadang hanya sebagian saja tersisa di pikiran sadar seseorang.

Mulai hari ini, sebagai seorang pecinta film, saya akan membuat sebuah daftar top * dengan * adalah angka sebarang lebih besar dari 1. Dan mohon diperhatikan, bahwa karena saya cuma bisa menyisihkan waktu 30 menti saja untuk membangun daftar ini, anggota dari daftar top * ini akan selalu berganti seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya repositori film yang terdapat di kepala saya.

Ini adalah daftar top 10 saya yang pertama, saya usahakan untuk selalu diupdate setiap bulannya. Daftar film yang ada tanda asterisk (*) adalah film yang memiliki daya tahan lebih lama karena achievement-nya yang begitu nyata sehingga susah dan bahkan mustahil untuk lantas ditendang dari daftar top * oleh film-film modern.

In no particular order.

1. Gone With the Wind (1938) *
Sebuah epik drama romantis, yang berdurasi 4 jam adalah sebuah tantangan ketahanan buat saya. Tapi, secara mengejutkan film ini tidak memberikan saya sedikitpun rasa bosan apalagi kantuk yang acap kali datang menyerang ketika saya menonton film-film berdurasi lebih dari tiga jam (ambil contoh Lord of the Rings, saya sempat bosan luar biasa ketika nonton film ini). Film ini begitu padat dan menarik, lupakan sejenak dialog yang kaku dan gestur-gestur teater jaman dulu karena memang itu ciri khas film tahun 30'an - 50'an. Scarlett O'Hara lah yang membuat film ini begitu istimewa. Bukan-bukan Vivian Leigh, tapi Scarlett O'Hara sang tokoh yang diimpesonasikan dengan baik oleh Vivian. Salah satu karakter film yang paling berkesan dan yang akan saya kenang sepanjang masa yang bahkan ketika credit-title mengalir, saya belum bisa memutuskan apakah saya akan bersimpati padanya atau membencinya.

2. Pulp Fiction (1994) *
Film yang begitu fenomenal. Mendobrak tatanan pop sebuah film dan lantas menghadirkan aliran baru dalam perfilman, Quentinian. Adalah Quentin Tarantino, ensiklopedia film berjalan yang berkesperimen dengan alur cerita yang dianut oleh sebuah film. Lewat Pulp Fiction, Quentin mengacak-ngacak alur film, mengabaikan alur waktu logika dan membiarkan penonton menikmati film apa adanya. Didukung oleh cast-cast top macam John Travolta, Uma Thurman, Samuel L. Jackson, Bruce Willis, Michael Clarke Duncan film ini begitu memesona sehingga tidak cukup untuk hanya nonton sekali. Esensi film ini kemudian direproduksi, dan dicontek oleh banyak judul yang sayangnya tidak pernah mencapai ujung kuku dari apa yang telah dicapai oleh film ini.

3. 2001: A Space Odyssey (1968) *
Satu lagi film yang monumental. Di tahun '60-an, film ini menyajikan sebuah film sci-fi yang bahkan masih tercium rasa modern-nya setelah 36 tahun berselang. Sebenarnya, film ini tidak bisa dinikmati dengan santai. Bisa dibilang bahwa ini merupakan film 'ultimate boredom', sepengetahuan saya jarang ada yang betah untuk duduk selama 3 jam menyaksikan eksploitasi visual dan warna-warni hiperbolis yang disajikan oleh Kubrick di sini. Akan tetapi, menurut saya film sci-fi ini termasuk sedikit dari film sci-fi tentang luar angkasa yang ajeg dan sedikit melanggar hukum-hukum fisika yang justru kerap dilanggar oleh film-film sci-fi blockbuster demi meraup untung macam Star Wars, atau Star Trek. Namun seperti halnya film garapan Kubrick yang lambat, dan membosankan, film ini tidak direkomendasikan buat mereka yang mencari film untuk bersantai.

4. Natural Born Killers (1994)
Film ini menurut saya, adalah film yang paling gamblang / jelas dalam menampilkan dualisme, jukstaposisi terbalik. Dari setting komedi sitkom, news-footage, shot hitam-putih dan berwarna film ini adalah eksperimen, exercising in-style dari seorang Oliver Stone yang menghadirkan kegetiran dalam humor, kebrutalan sebagai popularitas, dan pembunuhan sebagai kesenangan. Karakter-karakternya karikatur, fiktif, pun dalam menyajikan ceritanya, Stone sering kali menunjukkan kefiktif-an ceritanya dengan amat sangat jelas. Saya sangat enjoy menonton film ini. "Seeing once is not enough", kata Ebert. Dan saya setuju. Oh ya, naskah cerita dari film ini ditulis oleh Quentin Tarantino. See the connection? *wink-wink*

5. Seven Samurai (1954) *
Emosi. Film epik garapan sutradara terkemuka asal Jepang, Akira Kurosawa ini memiliki emosi yang sangat-sangat kuat. Setiap aspek yang ditunjukkan oleh film ini, setiap karakter yang diguratkan oleh pemain-pemainnya, setiap aksi yang ditampilkannya masing-masing sarat dengan emosi yang membuat saya larut dalam setiap menitnya. Satu dari sedikit film epik (durasi 3 jam atau lebih) yang saya tidak bosan untuk menontonnya. Memang, film-nya hitam putih, memang spesial efek berantemnya 'cupu' tapi memang itu bukan jualannya film ini. Dengan karakter film semacam ini, wajar kalau film ini jadi legenda dan mungkin adalah film-nya Kurosawa yang paling dikenal. Saya pun memulai perkenalan saya dengan Kurosawa lewat film ini.

6. The Shawshank Redemption (1994)
Stephen King adalah penulis favorit saya. Walaupun pada akhirnya terasa penurunan kualitas karya-karyanya Stephen King, saya selalu menyempatkan untuk menambah koleksi saya dengan karya-karya King. "Rita Hayworth and the Shawshank Redemption" adalah salah satu short-story yang dikumpulkan dalam buku Different Seasons. Tidak ada unsur misteri di cerita ini. Pure Drama. Ketika saya membaca novelnya, saya tak kuasa untuk menahan titik air mata saya. Benar-benar kisah yang mengharukan dan menggugah kebanggaan sebagai manusia bebas. Filmnya 'surprisingly' ajeg dengan jalan cerita yang ditampilkan di novelnya. Mungkin ini adalah salah satu film adaptasi yang paling sesuai dengan naskah aslinya, menurut saya. Tim Robbins, Morgan Freeman benar-benar sangat baik dalam memerankan tokoh-tokoh dalam cerita aslinya. Dan endingnya, meski tidak semengharukan novelnya, tetap membanggakan, dan cukup menyesakkan dada.

7. Big Fish (2003)
Kisah fantastis yang sangat imajinatif. Mengusung tema yang agak abstrak, dibungkus dengan fantasi, dan menceritakan seputar cinta, film ini rewarding. Warna-warnanya indah tapi tetap terasa kehadiran Tim Burton lewat shot-shot kelamnya. Menonton film ini juga membuat saya kembali ke masa kecil saya yang dipenuhi cerita-cerita fantastis tentang raksasa, penyihir, sampai kota tersembunyi yang penghuninya tak pernah memakai sepatu. Semuanya disajikan dengan baik oleh Tim Burton seakan-akan dia tidak sedang membuat film melainkan menceritakan kembali fantasinya. Catchy visuals, superb acting (Ewan McGregor, orang Skot yang ngomong Inggris aksen Mississippi), dan rewarding ending membuat film ini definitely become the best movie of 2003, as for me. Saya heran, kok bisa-bisanya 21 tidak memutar film ini.

8. I Am Sam (2001)
Kalau ada yang lebih istimewa dari film ini selain akting istimewanya Sean Penn, Dakota Fanning dan istimewanya emosi yang dibangkitkan oleh film ini adalah soundtrack dari film ini. The Beatles. Salah satu tokoh di film ini yang diperankan oleh Sean Penn adalah penggemar fanatik The Beatles sehingga sepanjang film selalu terdengar lagu-lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh penyanyi / band-band pop masa kini. Bercerita tentang perjuangan seorang ayah yang 'mentally-retarded' (Penn) untuk bersatu kembali dengan anak-nya (Fanning), film ini menyentuh sekali. Ditambah akting luar biasa Penn dan Fanning film ini tidak boleh dilewatkan oleh mereka yang ngaku-nya penggemar drama.

9. Elizabeth (1998)
Cate Blanchett. Sepertinya aktris satu ini memang terlahir sebagai seorang ratu. Tentu masih pada ingat dengan Galadriel, ratu elf Lothlorien di trilogi epik Lord of the Rings? keanggunannya ditampilkan cantik oleh Blanchett. Cerita yang berlatar belakang naiknya ratu Elizabeth I sebagai monarki baru Inggris ini dibintangi oleh Cate Blanchett sebagai Elizabeth. Film semi otobiografi ini mengangkat kisah naiknya Elizabeth ditengah konflik Katolik - Protestan yang sebenarnya bukan sentral dari film ini sehingga sutradara perlu menegaskan hal ini dengan satu adegan pembuka yang sebenarnya menurut saya tidak perlu ketika tiga orang Protestan dibakar hidup-hidup oleh otoritas Katolik. Well, saya suka film ini, saya suka Cate Blanchett, transformasinya begitu sempurna dari seorang gadis remaja menjadi sosok ratu yang angkuh dan berwibawa menunjukkan sebenarnya dia pantas meraih Oscar (yang terbang ke Gwyneth Paltrow dan lantas membuat saya membenci Gwyneth sampai sekarang). Selain Cate, Geoffrey Rush juga sangat notable performanya sebagai seorang di balik layar dari kepemimpinan Elizabeth. Desain kostum dan set yang luar biasa cakep, membawa kita serasa kembali ke Inggris abad 16. Selentingan tidak sedap menyebutkan bahwa film ini gagal di Oscar (dan kalah oleh Shakespeare in Love, "What???") adalah karena film ini debut sutradara India (Shekhar Kapur) di Hollywood.

10. Girl with a Pearl Earring (2003)
Film yang sangat miskin dengan dialog. Achievement terbesar dari film ini dan yang lantas membuat saya memasukkan film ini ke dalam daftar adalah sinematografinya. Berlatarbelakang kisah seorang pelukis, film ini menyajikan seni lewat tata cahaya, color tone yang dikerjakan dengan baik oleh para sinematografer-nya. Lebih lengkap, bisa dilihat di artikel lain dari blog ini.