Tuesday, September 14, 2004

Traffic (2000)

Ada sesama apresiator film yang nyaris selalu bersebrangan pendapat dengan reviewer anda ini. Sebagai contoh, mengenai Stanley Kubrick. Teman saya ini berpendapat bahwa Kubrick itu sutradara sok pinter, menggurui mulu tanpa pernah peduli sama kepuasan penonton sedangkan saya sendiri berpendapat film-film Kubrick walaupun selalu mengakibatkan bertambahnya kerutan di antara alis, memberikan kepuasan yang lebih dari pada film summer jedang-jedung yang justru timbul jauh setelah beberapa lama. Dan juga beberapa perbedaan lain yang kebanyakan sifatnya prinsipil.

Tetapi, mengenai Benicio Del Toro kita punya persepsi yang sama. That he's one magnificent actor that is. You've seen him as Frankie Four-Finger in a helluva British-comedy "Snatch", you've seen him as the one responsible of taking away Naomi Watts' two children in "21 Grams". And both role though short were magnificently memorable ones. Now this is a movie which awarded him an Oscar for Best Supporting Actor at the Academy Award Ceremony 2001.

Traffic (2000)
Starring: Michael Douglas, Benicio Del Toro, Catherine Zeta-Jones, Erika Christensen, Dennis Quaid
Directed by: Steven Sodenberg (Erin Brokovich), recieved an Oscar for his directional effort in this movie.

Film ini dibuka dengan tone gersang yang mengetengahkan dua orang kepolisian Tijuana sedang menunggu untuk menyergap selundupan obat bius (kokain). Benicio Del Toro berperan sebagai salah satu dari polisi Meksiko tersebut.

Di belahan dunia lain, Ohio diceritakan secara paralel bebarengan dengan even di Meksiko dengan tone biru gelap kiprah seorang hakim anti drug (Michael Douglas) yang kemudian di tugaskan oleh POTUS (President of the United States -- of America tentunya) untuk menjadi czar kampanya anti-drug yang baru.

Di Florida, seorang ibu (Catherine Zeta-Jones) yang selama ini percaya terhadap legitimasi bisnis suaminya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa suaminya hanyalah seorang importir kokain dari Meksiko.

Di Cincinnati, seorang pelajar (Erika Christensen), third in her class, begitu mudah masuk ke dalam drug-addiction which utterly led to her destruction demi memenuhi suplai kebutuhan kokain-nya.

Di San Diego, dua agen DEA sedang berusaha untuk menangkap seorang agen penjual kokain.

Dan di Meksiko, seorang jenderal bertekad untuk menghancurkan salah satu kartel penyuplai kokain terbesar di negara itu.

Cerita-cerita di atas hanya memiliki satu benang merah, drug yang dalam film ini diwakili oleh kokain. Diadaptasi dari miniseri "Traffik" yang menceritakan bagaimana drug didistribusikan dari ladang-ladang petani Pakistan sampai mencapai jalan-jalan kota London, "Traffic" mengambil alur yang sama hanya memindahkan lokasi dari Pakistan ke Meksiko dan dari London ke US. Dan cerita-cerita di atas yang dikombinasikan secara apik oleh Sodenberg membuat film ini adalah salah satu film terbaik tahun 2000.

Saya sendiri selalu suka film-film yang tidak terpaku kepada cara bertutur sekuensial yang linear-linear saja. Dengan alasan itu, dari ketika tone gersang yang menggambarkan Tijuana berpindah menjadi tone biru gelap yang menggambarkan ruang sidang di Ohio saya langsung mempunyai hunch, "I'm gonna love this movie" dan ya, saya menyukai film ini.

Kemajemukan cerita ini dideferensialkan oleh Sodenbergh lewat tone-tone yang ia pakai. Sehingga di suatu titik ketika tone berubah, dengan cepat kita tahu kita sedang ada di mana dan fokus cerita lagi ke siapa.

Satu lagi mengenai kemajemukan cerita, film ini juga tidak lantas menimbulkan series of lucky happenings yang mengaitkan masing-masing cerita secara alur cerita. Bahkan Catherine Zeta-Jones tidak pernah ada satu scene dengan Michael Douglas. Sodenbergh mentransisikan satu cerita ke cerita lainnya dengan narasi yang relatif sederhana. Pada intinya memang cerita-cerita dalam Traffic ini hanya melompat dan mengitari benang merah yang diberikan sejak awal film ini bergulir, yaitu kokain.

Film ini juga berfungsi sebagai semacam dokumenter yang menceritakan perjalanan kokain dari kartel di Meksiko, distribusi ke US lewat para importir, sampai penjualannya di jalan-jalan suburban di US dan tentu saja orang-orang yang berkepentingan dengan drug tersebut, entah sebagai pengusaha, pengguna, penjual, sampai pemberantas.

Juga jelas diperlihatkan efek dari drug-addict yang menimpa seorang pelajar cemerlang (Erika Christensen) yang lantas melacurkan dirinya dan nyaris menghancurkan hidupnya demi memenuhi kebutuhannya akan kokain.

No good movie is too long, and this movie is way too short. Despite of 150 minutes of running time, film ini terasa begitu singkat buat saya dan agak-agak tidak rela untuk meninggalkan tempat saya duduk menonton film ini.

Kesimpulannya, film ini punya segalanya yang membuat film ini saya sukai. Alur cerita non-linear-sekuensial, drama yang mengharukan, pesan serius yang sukses tersampaikan, pretty-good action, dan tentu saja superb acting dari para aktor-nya dengan Benicio Del Toro jadi front-runner.

Akhir dari film ini juga tidak ditujukan untuk menjual mimpi hiperbolis untuk mengakhiri perang dengan drug. Karakter hakim yang dimainkan Michael Douglas bahkan mengajukan pertanyaan di akhir film ini "How do you fight a war when the people that you love are the enemy?". Film ini hanya menyuguhkan insight terhadap bisnis obat bius, not the solution. Insight yang disajikan dalam kisah yang kuat dan kompleks dengan sentuhan drama yang mengesankan.

The war still goes on.



Rating: **** / **** - Kenapa Oscar tahun 2001 terbang ke Gladiator? why? why? why?!!!!!