Monday, August 01, 2005

The Island (2005)

United States, 2005
Cast: Ewan McGregor, Scarlett Johansson, Steve Buscemi, Sean Bean, Djimon Honsou, Michael Clarke Duncan
Director: Michael Bay
My Rating: **1/2 / ****

Gw berangkat nonton film ini dengan informasi mengenai Ewan, Scarlett, Michael Bay, dan sedikit premise dari inti film-nya. So, imagine my surprise when i see names of the casts flashes before the movie really begins. Coba lihat, ada Steve Buscemi, yang selain Bennicio Del Toro adalah aktor spesialis aktor pendukung favorit gw, ada Sean Bean yang baru kemaren gw tulis bahwa dia adalah salah satu tokoh antagonis yang gw sukai, Djimon Honsou, aktor yang kemunculannya di beberapa seri Alias selalu membuat gw bahagia, dan Michael Clarke Duncan, aktor raksasa dengan seringai khas yang juga gw sukai. Man, all that with Ewan, and Scarlett, i gotta love the movie. Tapi apa lacur, karena filmnya diarahkan sama sutradara destruksi masal, Michael Bay, gw tidak berharap banyak sama film ini, selain jadi selingan untuk membuang ekses dua jam dari waktu gw.

Film ini dengan jelas terbagi menjadi dua bagian yang menurut gw, satu sama lain kontradiktif. Bila suka sama bagian yang satu, most likely tidak (atau less) menyukai bagian yang lain. Dalam kasus gw, gw suka bagian pertama, yaitu dari ketika awal film sampai ketika Lincoln Six-Echo (Ewan McGregor) dan Jordan Two-Delta (Scarlett Johansson) naik kereta menuju ke L.A.

I'm a sucker for a science-fiction. Tapi itu bukan berarti gw menyukai secara membabi-buta semua hal sci-fi. Gw malah akan sangat kesal apabila ada karya sci-fi yang terlalu menggurui, atau menganggap dirinya begitu penting sehingga merasa para penonton tidak akan paham sepenuhnya apabila tidak disuapi dengan ide dari sci-fi yang disajikannya. Mangkanya gw sebenarnya tidak berharap terlalu banyak terhadap sci-fi yang diangkat oleh bagian pertama dari film ini mengingat bahwa it's a summer movie, and Michael Bay who directed it. Tapi ternyata, walaupun tidak sepenuhnya memuaskan, bagian pertama (which is the sci-fi part of this movie) bisa piqued my curiosity.

Lincoln Six-Echo dan Jordan Two-Delta adalah dua orang dari sebuah komunitas tertutup yang dibangun in a near future where supposedly seluruh Bumi sudah terpopulasi oleh sebuah wabah. Komunitas ini yang menjaga para survivor ini dalam kehidupan yang teratur, higienis, dan serba rapih. Di komunitas ini, ada sebuah permainan lotere yang pemenangnya mendapat kesempatan untuk pergi ke "The Island" satu-satunya pulau di muka Bumi ini yang belum terkontaminasi wabah tersebut, dan mendapat titel sebagai surga terakhir di Bumi. Well, paling tidak itu yang dua tokoh kita dan ribuan manusia lainnya di komunitas tersebut diijinkan untuk tahu oleh pengelola komunitas ini, Merrick (Sean Bean). Sampai pada suatu ketika, bahaya yang paling ditakuti oleh semua komunitas tertutup lahir dan tumbuh dari seorang Lincoln Six-Echo, curiosity.

Sampai di sini, gw tertarik sekali sama isu-isu moral yang kemudian punya potensi untuk muncul dari sini. Dan gw senang karena Michael Bay tidak memvisualisasikan isu-isu ini secara verbal sehingga emosinya bisa lebih keluar dari layar. Yah, tapi itulah, ketika akhirnya Lincoln Six-Echo dan Jordan Two-Delta mengetahui kenyataan di balik komunitas tertutup tersebut, dan karena mereka menanggapinya less frantic dari yang sebelumnya gw harapkan, gw bersiap-siap untuk bosan karena sudah jelas bagian pertama yang menarik itu berakhir dan mari-kita-mulai-pemusnahan-masal-khas-film-aksi-Hollywood bagian kedua dimulai.

Action-nya sendiri a o-kay, formula yang sama diulang-ulang, persis seperti yang pernah dibilang smaa salah satu kritikus yang gw lupa namanya, sori pak, tapi intinya sih dia bilang semua filmmaker itu hanya buat satu film dan lantas diulang-ulang. Jadi tentu saja kita sudah bisa menebak seperti apa aksi yang dibawa sama Michael Bay di sini. Ada car-chase, ada helikopter, bergantungan di sisi gedung pencakar langit, api, batu-batu, peluru, dan seterusnya. Gw sendiri malah bertanya-tanya, aftermath dari disaster yang disebabkan oleh sepasukan tentara elit yang memburu Lincoln dan Jordan tentu menewaskan banyak orang, tapi Lincoln atau Jordan kelihatannya tidak punya simpati secuil pun sama mereka, padahal, di bagian pertama, dan sedikit menjelang akhir film, secara tersirat Lincoln punya pendapat mulia bahwa semua makhluk hidup mesti dihargai, tapi, kenyataannya? i dont know, but i felt it was so very wrong, and very contradictive.

Penyelesaian filmnya sendiri terlalu disederhanakan, series of fortunate events you may say, gw bener-bener gedeg kenapa Lincoln bisa punya rencana yang senekat itu dan benar-benar hanya bertumpu pada luck doang, dan kenapa karakter Djimon Honsou yang supposedly bekas tentara elit pasukan khusus Perancis bisa setolol dan seceroboh itu? tidak masuk akal.. secara keseluruhan, endingnya mungkin akan memuaskan bagian kedua dari film ini, tapi bagi gw yang lebih menyukai bagian pertama, gw sama sekali tidak puas, selain karena terlalu sederhana, sudah gw singgung di paragraf sebelumnya, endingnya bagi gw sangat kontradiktif dengan premis-premis yang disiratkan oleh script di bagian pertamanya. Tapi tentu saja, karena ini film blockbuster, summer, arahannya Michael Bay, penonton pasti akan datang ke bioskop untuk mencari hiburan ringan yang membuat semua tokoh utama senang, bukan film-film thoughtful yang bikin pusing macam THX 1138 atau malah 2001: A Space Odyssey.

Untuk cast-nya sendiri sih gw ga ada masalah. Seperti gw bilang, gw suka nyaris semua aktor-nya. Scarlett was my currently no.1 favourite young actress berkat peran-perannya di film sebelumnya yang sangat berkarakter. Cuman sayangnya, gw agak menurunkan penilaian gw karena di film ini dia ikut2an mainstream dengan beradegan mesra sama Ewan. Ewan? well, he's okay. Steve Buscemi, duh, gw udah suka banget sama aktor ini ketika melihatnya di Fargo. Sean Bean, dia memang paling cocok untuk memerankan peran2 semacam ini. Bisa-bisa akan jadi stereotip nanti, dan malah akan mematikan karirnya karena semua orang terlanjur percaya bahwa dia memang hanya bisa berakting untuk tipe peran semacam itu. Djimon Honsou, no comment, he's as cool as devil, dan Michael Clarke-Duncan, yang walaupun cuman tampil di dua adegan, mampu mengantarkan adegan paling kuat, dan paling memilukan di sepanjang film ini.

In short, walaupun gw terlalu sering mengerutkan kening di sepanjang bagian kedua (karena merasa ada yang salah dengan logika gw), gw cukup terhibur ketika nonton film ini. Walaupun akhirnya ketika gw keluar dari bioskop, gw baru merasa menyesal kenapa dengan deretan aktor-aktor yang kuat seperti ini, filmnya bisa terasa sangat hambar, dan tidak berkesan.