Art Heist, 2004
Cast: Ellen Pompeo, William Baldwin, Abel Folk, Ed Lauter
Director: Bryan Goerers
My Rating: 1/2 / ****
Art Heist. Film ini membuat gw menangis. Bukan, bukan karena film ini mengaduk-aduk emosi sampai membuat diriku yang sensitif ini menitikkan air mata saking terserapnya pesan film dengan baik, tapi karena film-nya sungguh-sungguh buruk. Mrs.Pompeo, the leading actress, yang sepintas lalu mirip sama Renee Zellwegger, was so pathetic, gw hampir2 tidak bisa melihat layar ketika dia tersenyum atau berbicara, blblblbl, i've never seen a worse performance by leading actress before. Sungguh. Keseluruhan ceritanya sendiri standar habis, pencurian karya seni, penyelidikan polisi oleh seorang polisi yang tipikal sekali, act based on pure instinct, pengkhianatan yang hanya akan mengejutkan penonton yang BELUM PERNAH nonton film atau serial televisi sebelumnya, dan oh oh, kita juga punya penjahat tipikal yang di akhir film dengan bodohnya menjelaskan panjang lebar motif-nya sebelum sang jagoan kita yang hampir mati menembaknya di dada. Familiar? i bet it does. Satu-satunya hal yang menarik dari film ini adalah... apa ya? tidak ada. Jangan ulangi kesalahan gw. (Gw meminjam komentar ini dari salah seorang kritikus yang gw ga inget namanya) "Kecuali kalau kamu adalah salah satu anggota dari sekte sesat pemuja Baldwin bersaudara, jangan tonton film ini". Gw jarang2 denger komentar sekasar itu dari kritikus. Now, that was the bright side of this horrible experience. One, i've never seen worse performance by leading actress before, kudos to Mrs.Pompeo, and two, i've never heard of that kind of comment which made me laugh when i read it.
National Treasure, 2004
Cast: Nicolas Cage, Diane Kruger, Justin Bratha, Sean Bean
Director: Jon Turtletaub
My Rating: ** / ****
National Treasure. "Let's get out of here, before someone sees the smoke". Kalimat ini diucapkan Sean Bean (the ultimate choice for antagonist role, if you'd ask me, and that's one credit to this film's casting director), ketika Ben (Nicolas Cage) dan Riley (Justin Bratha), dua orang "Treasure Protector" terperangkap di dalam bangkai kapal ... dan menghadapi ber-barel-barel bubuk mesiu siap ledak yang sudah menyala. Kapal ini sendiri ditemukan Ben dan tim-nya ... di kutub utara. Now, i've never been to Arctic, and probably never will, tapi gw yakin, kalo gw jadi Sean Bean gw tidak akan memasalahkan asap hasil ledakan. Kalo misalnya meledaknya 200 meter dari pelabuhan New York gw masih bisa khawatir, tapi come on, siapa yang ia khawatirkan akan melihat asap dari ledakan tersebut di Arctic? Sinterklas? pffttt...
Other than that, the film was passable, pace-nya yang cepet menutupi sebagian besar kekurangannya. Tapi sebenernya kurang cepet buat merampok atensi gw. Halfway through, i'm bored to the death. Nicolas Cage, huh, sok pinter banget, malah buat gw Nic Cage seperti ngigau tanpa ngerti apa yang barusan ia omongin. Dan aksi2-nya kontradiktif sekali, dia bisa (terdengar) pintar tapi at times, he could be as dumb as a donkey's ass. And that kiss? ewwww, sempet-sempetnya, but i think it was a necessity if the movie-maker intended to (which obviously does) make this as a date-movie, tapi tentu saja, dalam tiga / empat tahun terakhir, gw tidak pergi ke bioskop atau duduk di depan monitor untuk berkencan, so i give the scene (the kiss-scene) with thumbs-down, and yes it's plural. Keseluruhan filmnya seperti menonton versi layar-lebarnya Da Vinci Code (yang akan dapat kehormatan itu sebentar lagi), dengan fakta-fakta yang menyembunyikan kenyataan Founding Fathers, dicampur dengan sedikit narasi a la CSI ketika si Ben mengajukan teorinya dan lantas membawa kita untuk melihat apa yang ia lihat, but as i was saying before, the film was passable. But by the way, Diane Kruger was soooo cute... *drollll*
Envy, 2004
Cast: Ben Stiller, Jack Black, Rachel Weisz
Director: Barry Levinson
My Rating: * / ****
Envy. Ben Stiller + Jack Black = Totally Wicked Fun. Well, or so i thought. Tapi tampaknya persamaan tersebut perlu gw koreksi setelah gw nonton Envy. Betul, ceritanya cukup menarik, dan ke-satir-an komedi-nya kental banget, terasa sekali seperti kopi tanpa gula, but, that's it. Gw tidak bisa menikmati performa Jack Black di sini seperti di film-film sebelumnya, juga Ben Stiller, yang tidak seperti biasanya, tidak membodohi diri sendiri atau dibodohi rekan mainnya. Well, masih sih, tapi tidak sekeras di "Meet the Fockers" misalnya. Padahal buat gw sih, ketika gw melihat film yang dibintangi oleh Ben Stiller, gw berharap ia bakal dibodohi rekannya atau membodohi diri sendiri. Memang, di film ini karakter Ben Stiller jelas-jelas membodohi diri sendiri dan lantas tidak bisa lari dari kenyataan tersebut ketika hasil dari kebodohannya adalah "envy" terhadap si tetangga dan teman baiknya yang mendadak menjadi kaya luar biasa. Film ini pengennya satir, komedi yang berbalut tragedi. Ada beberapa adegan yang cukup berhasil, seperti ketika keluarga Stiller pergi berlibur ke 'danau', atau jamuan makan malam oleh keluarga Black dengan Flan-nya dan orkestra piano yang dimainkan anaknya, tapi sayangnya, ke-satir-an tersebut tiba-tiba mengikis dirinya sendiri. Puncaknya ketika Ben Stiller meminta maaf pada Jack Black dengan seri monolog yang menjelaskan jalan cerita dari film ini, literally. It was a failed attempt to humor, which in turn becomes tediously boring and sickening. Ben Stiller / Jack Black juga sepertinya main terlalu kalem di film ini, padahal seperti sebelumnya gw harapkan, mereka paling tidak menampilkan energi mereka seperti di film-film sebelumnya. Thus, the one rating resulted from their failed attempt to meet my expectation. Gw jadi ingat, sebuah film satir yang luar biasa kejam, Fargo (1980) yang dibuat oleh Coen Brothers. Film ini bisa membuat gw ketawa SAMBIL meringis saking kejamnya adegan yang ditampilkan di akhir film. Really.
By the way, to-day (July 27th) marked the 2 years anniversary of ScreeningLog, with currently 103 reviews has been written and published.

But itulah, seperti Dream Theater, gw tidak lantas menyukainya ketika pertama kali mendengar ia bernyanyi. Tapi seperti Dream Theater pula, sebagian bawah sadar gw menyuruh gw untuk stick-to-her. Masih ingat dulu, album pertama Dream Theater (selanjutnya DT) yang gw beli adalah 'A Change of Seasons' dengan satu lagu 26 menit yang berjudul sama. Lagu ini, struck me as odd, waktu itu gw tidak menggumamkan musik mereka, belum sanggup untuk mencerna lompatan-lompatan dari tiap segmen lagu tersebut. Tapi, entah kenapa sebulan setelahnya (setelah gw mendapat uang saku dari ortu yang cuma cukup untuk beli satu kaset setiap bulan) gw beli 'Falling Into Infinity' dan cinta gw terhadap DT mulai dibangun setapak demi setapak dari situ. Sama halnya dengan Ayumi Hamasaki (Ayu). Gw kenal Ayu bebarengan dengan gw kenal sama Utada Hikaru dengan one-time-hit-nya yang ballad sekali, 'First Love' dan juga dengan satu aliran yang sekarang populer dengan sebutan J-Pop. Waktu itu gw berpikir, 'aduh suara apa ini?', soalnya memang vokal Ayu itu rada aneh, sedikit melengking dan mungkin sebagian besar orang tidak menyebutnya merdu. Tapi, seperti DT gw juga ngumpulin lagu-lagu-nya Ayu.
Album terakhir yang gw beli adalah 'Rainbow' (2002). Album ini juga unik soalnya pas gw denger pertama kali gw merasa aneh, tidak ada yang spesial and time-and-again i would return to my favourite album of hers, 'A Song for XX' yang merupakan album pertamanya dia. Namun, (sama seperti DT) dengan naiknya frekuensitas album ini gw puter, makin naik pula favourite-ness gw sama dia. Dan sekarang, saat ini, album ini jadi favorit gw. Well, sebenernya album favorit gw selalu berubah-ubah. Di saat tertentu gw suka album ini, di saat yang lain gw suka album itu, dan seterusnya. Tapi, ada satu album yang paling sering gw denger di antara yang lain-lain, album pertama, 'A Song for XX'. Ayu menulis semua lagunya sendiri, dan lirik-liriknya secara tidak langsung merefleksikan jalan hidupnya. Lahir di Fukuoka, 2 Oktober '78, Ayumi ditinggalin bokapnya dan tinggal bersama ibu dan neneknya. Dia merintis karir dari bawah sebagai (per usual in Japan) model. Setahun kemudian, while karaoke-ing, dia ditemui sama seorang produser dan kemudian merilis singel 'Poker Face' yang ia tulis dan menceritakan tentang seorang gadis lemah yang menghadapi masa-masa sedih dan sendiri tapi selalu berusaha untuk tetap tersenyum. And that was practically her story. Secara keseluruhan album pertamanya sebenernya secara musikalitas masih kurang bila dibandingin sama album-album setelahnya. Tapi liriknya buat gw sangat powerful dan sering kali memotivasi gw menghadapi masa sulit. Honest. Pendeknya, album itu boleh dibilang album sedih-nya Ayumi tapi di balik kesedihan itu, Ayu mengingatkan untuk tetap strong, dan tabah. Hence the title, 'A Song for XX' yang sebenernya memiliki arti 'A Song for Ayumi' karena dia intinya mengingatkan dirinya sendiri supaya tidak berlarut-larut dalam kesedihan.