Wednesday, May 11, 2005

Kingdom of Heaven (2005)

United States/United Kingdom/Spain 2005
Cast: Orlando Bloom, Liam Neeson, Jeremy Irons, Eva Green, Edward Norton, Ghassan Massoud
Director: Ridley Scott
My Rating: *** / ****

Agak sulit buat gw untuk menilai film ini lepas dari pemikiran prinsipil gw karena latar belakang sejarah yang diambil untuk kepentingan film ini, "perang salib", perang berkepanjangan untuk memperebutkan Jerusalem antara kaum Muslimin dan Nasrani yang bahkan masih berlanjut sampai sekarang. Review ini akan singkat.

Best Epic since The Lord of the Rings
Setelah trilogi The Lord of the Rings, tidak bisa dipungkiri kalo moviegoers pada akhirnya akan secara tidak sadar membandingkan sebuah film epik dengan trilogi tersebut. King Arthur, Troy, dan Alexander adalah film-film epik pasca The Lord of the Rings yang kalah telak, babak belur ketika dibandingkan karena secara kualitas mmemang mengecewakan banyak pihak. Untuk Kingdom of Heaven sendiri, meskipun masih cukup 'menderita' ketika dibandingkan dengan The Lord of the Rings, terutama ketika adegan peperangan (pengepungan kota Jerusalem), Kingdom of Heaven bisa kabur dengan pembandingan itu dan alih-alih kemudian dibandingkan dengan tiga film epik yang gw sebutkan sebelumnya. And it was no contest.

"A man who in France has not a house is in the holy land the master of a city,"
Tahunnya, 1184. Tokohnya, Balian (Orlando Bloom). Evennya, Perang Salib ke-3. Balian dikisahkan lay low di sebuah desa di Perancis sebagai seorang pandai besi ketika Godfrey of Ibelin (Liam Neeson) yang ternyata adalah ayah kandungnya mengajaknya pergi berperang. Tentu saja Balian pergi (kalau tidak tentu tidak akan ada yang bisa diceritakan, kan?) tapi setelah berkonfrontasi sejenak dengan sub-conscius-nya whatever that is. Balian juga pergi berperang dengan alasan sendiri, salah satu cara Ridley Scott untuk menyampaikan sejarah yang sensitif dan rawan kontroversi dengan aman. Well, the story goes rather staightforward from here. Yerusalem diperintah oleh seorang raja muda yang terkena lepra, Baldwin IV (Ed Norton). Raja Baldwin ini ternyata menginginkan supaya umat Islam dan Kristen bisa hidup berdampingan. Tentu saja para ekstrimis (di sini direpresentasikan oleh tokoh Knights Templar, Guy de Lusignant (Marton Csokas)) yang menginginkan semua orang Islam dibantai. Pemimpin tentara Arab di sini juga digambarkan sangat bijak, lebih bijak malah dari pada raja Baldwin. Dia adalah Saladin (Massoud) yang citranya kemudian dijaga baik-baik di sepanjang film oleh Scott.

History when it came to Hollywood
Sejarah buat gw adalah masa lalu, bisa diceritain sesuka hati. Lagipula siapa yang bisa memverifikasi-nya kecuali sang pencipta waktu sendiri? Karenanya, meskipun pada akhirnya banyak diskusi mengenai sejarah perang Salib yang diangkat oleh Ridley Scott dan betapa banyaknya dia memangkas sejarah, memendekkannya supaya bisa dijadikan film sepanjang dua jam, gw sih ga peduli. Sebagai film yang berdiri sendiri, gw enjoy sama dialog-dialog di film ini. Adegan perangnya sih tidak ada yang benar-benar baru, i've seen it somewhere else before, tapi cukup enak dilihat. Cukup senang juga melihat penampilan Orlando Bloom yang akhirnya bisa keluar dari citra 'boyish'-nya. Meskipun ketika dia dijajarkan dengan Liam Neeson dan Jeremy Irons masih suka keteteran, dia bisa mengambil peran utama dengan bagus karena memang kebetulan film ini berpusat di sekitar Balian. Yang paling mengecewakan tentu saja si Eva Green. Entah kenapa Hollywood selalu merasa perlu menyelipkan adegan ranjang di film-film yang ia produksi. Padahal jaman segitu lepas kamu Nasrani, apalagi Muslim, perzinahan bukan sesuatu yang bisa lolos dengan mudah, tidak seperti sekarang. Bahkan seandainya gw disuruh menyebut sisi lemah dari film ini, gw bisa dengan gampang menyebut "setiap adegan yang ada si Eva Green". Maaf, Eva, kecantikanmu tidak banyak membantu.

Bukan Untuk Mencari Siapa yang Salah
Film ini juga mendapat kredit lebih karena dia lebih menggali sisi humanity dari para pelaku perang, bukan berkutat di perseturuan tanpa akhir untuk mencari siapa yang salah selama perang salib berlangsung. Digambarkan betapa tokoh-tokoh macam Saladin dan tentu saja Balian sendiri tidak begitu tertarik dengan konsep "Kill everyone, left none alive!". Menjelang akhir, ditemani dengan aerial shot dari Scott yang cukup mantap menangkap aftermath dari perang, kengerian yang ditimbulkannya, the absence of glory untuk kedua belah pihak, Balian dan Saladin akhirnya bertemu untuk mencari jalan damai. And that's how the movie ends. But definitely not how the war ends. Di sini, pesannya cukup jelas bahwa perang tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kerja ekstra untuk para penggali kubur (itupun kalau mereka masih hidup).... ada satu tambahan lagi sebenernya, dari film ini, seandainya memang benar diadaptasi dari sejarah, membuat gw merasa menyesal, bahwa dulu gara-gara seorang-dua orang ekstrimis, langkah awal untuk menciptakan perdamaian Islam - Kristen di Yerusalem jadi tidak terlaksana. Tapi bagaimanapun juga, emang sudah ditulis bahwa tanah itu selamanya akan jadi sengketa.