Also Known as "Grave of the Fireflies"
Directed by: Isao Takahata
IMDb Top 250: #168
My Rating:
Film anime produksi Studio Ghibli ke-tiga yang gw tonton (setelah "Spirited Away" - "Sen to Chihiro Kamikakushi" dan "Princess Mononoke" - "Mononoke Hime") dan paling depressing, paling sedih, paling nyebelin, walaupun secara kualitas gw masih lebih demen sama "Mononoke Hime". Well, gw bilang sih selevel sama "Spirited Away".
Film ini secara implisit memicingkan mata dengan sinis dan penuh kebencian terhadap perang. Bukan terhadap siapa di balik perang tersebut. Tapi cukup kepada perang itu sendiri lepas dari siapa ngebom siapa, atau siapa njajah siapa.
Mengisahkan pejuangan Seita, seorang bocah laki-laki remaja dan Setsuko, adik perempuannya yang baru berumur 4 tahun dalam menghadapi masa-masa sulit Perang Dunia II. Ayah Seita dan Setsuko adalah seorang pejuang yang tentu saja harus ada di garis depan. Dan ketika dalam suatu air-raid sekutu menyebabkan sang ibunda meninggal, Seita dan Setsuko harus berusaha untuk mempertahankan hidup.
Seorang temen memperingatkan bahwa film ini adalah film yang luar biasa mengharukan. Bahkan dia (kebetulan cewek) bilang, selalu menangis tiap kali nonton film ini entah untuk yang keberapa kalinya. Pftt.. girls. That's what i thought before i had my hands wet with it. Filmnya mengharukan dan buat gw, layak masuk ke jajaran film terbaik tentang perang (termasuk di antara "Full Metal Jacket", "Appocalypse Now", "A Bridge Too Far").
Yg gw suka dari film ini adalah nihil-nya ke-protagonis-an setiap karakter. Mungkin yg masih tersisa adalah lewat cute-ness dari Tetsuko. Some thought it annoying, tapi buat gw it just so natural kalo datengnya dari gadis kecil umur 4 tahun. Seita, sang kakak meskipun cinta-nya jelas tak terukur terhadap adiknya buat gw malah bisa qualify untuk jadi antagonis. Bagaimana tidak, he's lazy and stupid. Padahal jelas-jelas semua orang harus bahu membahu untuk membangun Jepang yang porak poranda gara-gara perang tapi apa yang dilakukannya? geez. Sang Bibi walaupun sangat menjengkelkan (kalo kita memutuskan untuk berpihak pada Seita) tapi tetap saja tindakannya sangat masuk akal demi melihat suasana perang yang membuat semua hal jadi susah. Pada intinya sih, gw melihat setiap karakter di film ini hanya melakukan apa yang memang mesti dilakukan di kondisi itu (pengecualian buat Seita yang memiliki harga diri agak berlebih). And for me, that was the strength of the movie.
Buat alur-nya? tidak masalah. Alurnya straight-forward. Lurus lurus saja dan dalam pace yang wajar. Gw akui gw terlalu berlarut pas menonton film ini yang lantas mempengaruhi penilaian gw. Tapi, gw yakin adegan terakhir dari film ini bisa membuat hati siapapun sesak.
Intinya, perang itu buruk. Tidak masalah siapa yang bersalah siapa yang benar. Perang itu buruk. Dan pesan itu, yang ingin disampaikan oleh film ini mengena. War sucks. Hey, Jepang adalah negara yang dulu selama tiga setengah tahun pernah membuat ribuan pemuda Indonesia mati meninggalkan keluarganya.
Damn, i miss my brothers.
Tuesday, December 21, 2004
Yojimbo (1961)
Foreword: I've actually seen the movie for quite some time, but i just got enough time to put thought about it and to write article about it.
Starring: Sekali lagi, tak bosan-bosannya Toshiro Mifune, Tatsuya Nakdai, Yoko Tsukasa, Isuzu Yamada, Daisuke Kato, Seizaburo Kawazu, dan peran kecil oleh Takashi Shimura
Directed By: Akira Kurosawa
IMDb Top 250: #103
My Rating:
Impresi pertama gw ketika ngeliat film ini, dari setting kota-nya terutama adalah "Wah, Western banget". Desain kota-nya (atau desa) adalah bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan sebuah jalan raya yang membelah kota tersebut tepat di tengah-tengah, lengkap dengan Devil's Grass yang meluncur malas diterpa angin. Akira Kurosawa memang sedikit banyak terinspirasi dari film-film western ketika membuat film ini. Dan uniknya, tiga tahun kemudian seorang sutradara yang pada akhirnya menjadi sutradara western terkenal, Sergio Leone membuat 'remake' shot-per-shot dari "Yojimbo" melalui sekuel pertama dari trilogi "Man with no Name": "A Fistful of Dollar" dengan Clint Eastwood pada posisi Toshiro Mifune. Thus, the circle is complete.
Arti harafiah dari "Yojimbo" adalah "Bodyguard". Film ini memposisikan Toshiro Mifune sebagai seorang (lagi-lagi) samurai ronin, tak bertuan yang pengembaraannya membawanya ke sebuah kota di mana didalamnya dua kubu gangster berseteru. Mengaku sebagai Sanjuro Kuwabatake, setelah membuat persahabatan yang unik dengan seorang penjaga warung sake dan mempelajari kejadian di kota tersebut, ia memutuskan untuk memainkan peran sebagai "Bodyguard" bagi pihak manapun (dari dua kubu gangster yang berseteru) yang membayarnya lebih.
Scene-scene awal mengindikasikan bahwa Sanjuro adalah seorang anti-hero yang brutal, tidak ubahnya dengan para villain yang merongrong ketentraman kota tersebut dan tentu saja mengedepankan ego dan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Gw enjoy banget nonton scene-scene awal, gw serasa lagi hura-hura, ongkang-ongkang kaki bersantai ketika Sanjuro dengan asik-nya membunuh tiga orang demi mendapatkan impresi dari pemimpin gangster yang berseteru bahwa ia lebih dari layak untuk menjadi seorang "Bodyguard". And that scene which follows the murder of three when he coldly asks for coffin-maker to make another three coffins was wicked cool. Dan cuma Toshiro Mifune yang bisa membuat gw menggeritkan gigi demi menahan emosi ke-keren-nan (rada ga jelas niy) yang muncul dari dalam diri gw.
However, setengah jalan genre-nya berbelok cukup drastis ketika akhirnya Sanjuro menunjukkan sisi melo-dramatic-nya, sisi kemanusiaan-nya yang terenyuh, yang lantas diikuti oleh kesalahan Sanjuro sehingga menyebabkan ia dipukuli dan disekap oleh salah seorang gangster. Dari sini genre-nya berubah jadi sedikit gelap. Gw pribadi ga terlalu suka sama alur-nya, too crappy, too western, too often tapi dari scene ini yang keren cara Kurosawa memvisualisasikannya. Gw paling inget ketika muka ancur Sanjuro (habis dipukuli) di-shot dalam gelap dengan sedikit cahaya yang menyinari sisi mukanya yang masih relatif mulus dan menyorot mata liar Sanjuro yang memancarkan kemarahan. And that's another teeth grinning for Toshiro Mifune.
All in all, dari awal sampai akhir film ini agak njelimet alur-nya. Suka lompat kesana-kemari. Bahkan dalam satu scene, gw sempet mundur beberapa menit karena scene Sanjuro berikutnya yang terpengaruh oleh scene sebelumnya ternyata cuma dipicu oleh satu dua baris script dalam hitungan detik yang secara mudah akan terlewat kalau nontonnya sambil lalu. Selain itu, adegan terakhirnya juga agak-agak cliche. But, i've seen worse. Dan meskipun Sanjuro pada akhirnya harus meluluh-lantakkan sepasukan gangster dengan sabetan pedang-nya, implikasi logisnya jauh lebih nyata dari pada...say, "Rambo"?, "Collateral Damage", "Cobra", atau any Van Damme's movie. Yah itulah, Kurosawa is Kurosawa bagaimanapun dia membuat film, artistik kaya "Dream" atau eksyen seperti ini, pada akhirnya gw masih merasa digiring ke konsep humanity yang selalu disuguhkannya.
Starring: Sekali lagi, tak bosan-bosannya Toshiro Mifune, Tatsuya Nakdai, Yoko Tsukasa, Isuzu Yamada, Daisuke Kato, Seizaburo Kawazu, dan peran kecil oleh Takashi Shimura
Directed By: Akira Kurosawa
IMDb Top 250: #103
My Rating:
Impresi pertama gw ketika ngeliat film ini, dari setting kota-nya terutama adalah "Wah, Western banget". Desain kota-nya (atau desa) adalah bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan sebuah jalan raya yang membelah kota tersebut tepat di tengah-tengah, lengkap dengan Devil's Grass yang meluncur malas diterpa angin. Akira Kurosawa memang sedikit banyak terinspirasi dari film-film western ketika membuat film ini. Dan uniknya, tiga tahun kemudian seorang sutradara yang pada akhirnya menjadi sutradara western terkenal, Sergio Leone membuat 'remake' shot-per-shot dari "Yojimbo" melalui sekuel pertama dari trilogi "Man with no Name": "A Fistful of Dollar" dengan Clint Eastwood pada posisi Toshiro Mifune. Thus, the circle is complete.
Arti harafiah dari "Yojimbo" adalah "Bodyguard". Film ini memposisikan Toshiro Mifune sebagai seorang (lagi-lagi) samurai ronin, tak bertuan yang pengembaraannya membawanya ke sebuah kota di mana didalamnya dua kubu gangster berseteru. Mengaku sebagai Sanjuro Kuwabatake, setelah membuat persahabatan yang unik dengan seorang penjaga warung sake dan mempelajari kejadian di kota tersebut, ia memutuskan untuk memainkan peran sebagai "Bodyguard" bagi pihak manapun (dari dua kubu gangster yang berseteru) yang membayarnya lebih.
Scene-scene awal mengindikasikan bahwa Sanjuro adalah seorang anti-hero yang brutal, tidak ubahnya dengan para villain yang merongrong ketentraman kota tersebut dan tentu saja mengedepankan ego dan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Gw enjoy banget nonton scene-scene awal, gw serasa lagi hura-hura, ongkang-ongkang kaki bersantai ketika Sanjuro dengan asik-nya membunuh tiga orang demi mendapatkan impresi dari pemimpin gangster yang berseteru bahwa ia lebih dari layak untuk menjadi seorang "Bodyguard". And that scene which follows the murder of three when he coldly asks for coffin-maker to make another three coffins was wicked cool. Dan cuma Toshiro Mifune yang bisa membuat gw menggeritkan gigi demi menahan emosi ke-keren-nan (rada ga jelas niy) yang muncul dari dalam diri gw.
However, setengah jalan genre-nya berbelok cukup drastis ketika akhirnya Sanjuro menunjukkan sisi melo-dramatic-nya, sisi kemanusiaan-nya yang terenyuh, yang lantas diikuti oleh kesalahan Sanjuro sehingga menyebabkan ia dipukuli dan disekap oleh salah seorang gangster. Dari sini genre-nya berubah jadi sedikit gelap. Gw pribadi ga terlalu suka sama alur-nya, too crappy, too western, too often tapi dari scene ini yang keren cara Kurosawa memvisualisasikannya. Gw paling inget ketika muka ancur Sanjuro (habis dipukuli) di-shot dalam gelap dengan sedikit cahaya yang menyinari sisi mukanya yang masih relatif mulus dan menyorot mata liar Sanjuro yang memancarkan kemarahan. And that's another teeth grinning for Toshiro Mifune.
All in all, dari awal sampai akhir film ini agak njelimet alur-nya. Suka lompat kesana-kemari. Bahkan dalam satu scene, gw sempet mundur beberapa menit karena scene Sanjuro berikutnya yang terpengaruh oleh scene sebelumnya ternyata cuma dipicu oleh satu dua baris script dalam hitungan detik yang secara mudah akan terlewat kalau nontonnya sambil lalu. Selain itu, adegan terakhirnya juga agak-agak cliche. But, i've seen worse. Dan meskipun Sanjuro pada akhirnya harus meluluh-lantakkan sepasukan gangster dengan sabetan pedang-nya, implikasi logisnya jauh lebih nyata dari pada...say, "Rambo"?, "Collateral Damage", "Cobra", atau any Van Damme's movie. Yah itulah, Kurosawa is Kurosawa bagaimanapun dia membuat film, artistik kaya "Dream" atau eksyen seperti ini, pada akhirnya gw masih merasa digiring ke konsep humanity yang selalu disuguhkannya.
Monday, December 20, 2004
King Arthur (2004)
Starring: Clive Owen, Stephen Dillane, Keira Knightley, Hugh Dancy, Ioan Gruffudd
Directed by: Antoine Fuqua
IMDb top 250: -
My Rating:
Jerry Bruckheimer. Ever heard the name?. Seharusnya dia adalah jaminan mutu buat film-film eksyen berbobot (masih ingat "Bad Boys"? atau "Pirates of the Caribbean"?) dan tampaknya itu yang dijanjikan oleh trailer film ini.
Well then, untuk mengomentarin film ini, terlebih gw tekankan bahwa kesimpang-siuran legenda Arthur dan ksatria meja bundar telah melahirkan banyak versi yang bahkan sampai menimbulkan anggapan bahwa Arthur dan temen-temennya adalah 100% fiksi. Hal ini menjadi patokan gw -- membuat legenda Arthur yang ditawarkan oleh King Arthur sebagai sebuah entitas sendiri yang independen terhadap legenda-legenda lainnya -- buat menikmati film ini supaya lantas penilaian gw tidak berbias terhadap pengetahuan gw mengenai origin dari si Arthur (dan temen2nya tentunya).
Clive Owen adalah Arthurius seorang keturunan Romawi ber-ibu orang Inggris aseli. Ketika dia sudah dewasa, dia ditugaskan untuk menjaga wilayah Romawi di Inggris yang mendapat gangguan terus-menerus dari penduduk asli yang menginginkan kemerdekaan (Merlin dan kawan-kawannya beserta si cantik Keira Knightley sebagai Guinevere) and later, the Saxons. Arthurius a.k.a Arthur tidak sendiri ada serombongan ksatria yang membantunya: Lancelot, Bors, Galahad, Gawain, Tristan, sama satu lagi gw lupa namanya. Inti ceritanya sendiri ada pada masa bakti Arthurius dan temen2nya yang udah habis sehingga mereka layak mendapatkan kebebasan mereka. Namun, Romawi mengirim mereka ke satu misi terakhir, menyelamatkan sekeluarga Romawi (ngapain mereka ada di sana?) yang ada di utara tembok (wilayah Romawi ada di selatan tembok) ditengah ancaman orang-orang pribumi dan rombongan Saxon yang melabuh di pantai utara Inggris (sekali lagi: ngapain tu orang Romawi bikin tempat tinggal di sana? jauh di wilayah musuh? quoting Obelix: "Orang Romawi memang gila").
Put that aside, start film-nya sungguh buruk. Sederetan narasi (entah lewat audio atau graphic), time-leap 15 tahun yang singkat, agak-agak ndak jelas Who's Whos and Why's Whys. Pokoknya tahu-tahu 7 orang ksatria naik kuda membunuh orang-orang pribumi yang membuat gw bertanya: "apa tujuannya?" soalnya Antoine Fuquo menggambarkan para ksatria ini (terutama Tristan, Lancelot, dan Bors) tak ubah-nya kaya orang Saxon, barbar, whatever lah yang doyan ngebantai orang. Geez. You just got yourself a bad mark there, Antoine. Karakter-karakter-nya laughable. Serius, gw pengen ketawa setiap kali melihat Clive Owen dengan tampang sok imut-nya sekuat tenaga pengen memotretkan image seorang Arthur yang dihormati kawan dan disegani lawan. Dan sayangnya, cuma Clive Owen / Arthur yang mendapat kesempatan untuk dibangun sedemikian rupa karakternya. Karakter-karakter lainnya? bah... numpang lewat. Palingan cuma Lancelot (banci, perengek, sok keren) dan Bors ("Rus!!", sok patriotik padahal paling bar-bar) dan itupun tidak cukup.. jauh banget dari cukup.
Berikutnya, kita punya Kiera sebagai Guinevere. Gw ga ada masalah sama pakaian suku-nya yang ultra minim di samping. Sekali lagi, gw nonton film ini menganggap seakan-akan gw ga pernah baca cerita Arthur. Tapi yang mengganggu gw adalah 'kegatelan'-nya itu lho. Dia seakan-akan udah ga sabar untuk mencopot pakaiannya di hadapan Arthur (atau Lancelot) dan lantas membiarkan dirinya 'dimasuki' oleh Arthur (atau Lancelot, whoever come first). Oke, romantis (maunya). But? what do i got? just a whore.. praktis semenjak adegan di kemah antara Arthur dan Guinevere gw udah males nonton film ini.
Jadi, biar gw simpulkan. Film ini tidak punya alur cerita yang kuat. Satu misi terakhir dari Roma. Karakter-karakter yang dangkal, Guinevere yang 'kegatelan', skrip yang payah, eksyen yang ya... oke lah walaupun tak sebaik "Braveheart", buat penggemar eksyen terutama yang sabet-sabetan gw rasa bisa terhibur. Trus satu adegan yang membuat gw cukup bisa untuk muntah, atau terguling-guling ngakak. Ketika dalam menit-menit yang menjemukan, para ksatria (temen) Arthur yang sebelumnya hendak meninggalkan Arthur dan kaum pribumi berjuang sendiri melawan Saxon saling memandang satu sama lain, tersenyum, dan lantas mengambil senjata mereka untuk kembali ke sisi Arthur (maaf, gw ga nganggep ini Spoiler kok, if you see the movie, you ought to see it coming long before it actually happened). Ekspresi, angel-shot, dan skrip-nya bener-bener bikin gw mau ngakak. Jadi, secara keseluruhan meskipun Jerry bilang ini film action/drama, bagi gw film ini gw sebut sebagai film "unintentional comedy". A failed comedy yang menambah panjang jajaran film-film tentang Arthur yang jeblok secara kualitas. Sayang sekali melihat Kiera, atau Clive mau-maunya tampil di film kaya gini.
Directed by: Antoine Fuqua
IMDb top 250: -
My Rating:
Jerry Bruckheimer. Ever heard the name?. Seharusnya dia adalah jaminan mutu buat film-film eksyen berbobot (masih ingat "Bad Boys"? atau "Pirates of the Caribbean"?) dan tampaknya itu yang dijanjikan oleh trailer film ini.
Well then, untuk mengomentarin film ini, terlebih gw tekankan bahwa kesimpang-siuran legenda Arthur dan ksatria meja bundar telah melahirkan banyak versi yang bahkan sampai menimbulkan anggapan bahwa Arthur dan temen-temennya adalah 100% fiksi. Hal ini menjadi patokan gw -- membuat legenda Arthur yang ditawarkan oleh King Arthur sebagai sebuah entitas sendiri yang independen terhadap legenda-legenda lainnya -- buat menikmati film ini supaya lantas penilaian gw tidak berbias terhadap pengetahuan gw mengenai origin dari si Arthur (dan temen2nya tentunya).
Clive Owen adalah Arthurius seorang keturunan Romawi ber-ibu orang Inggris aseli. Ketika dia sudah dewasa, dia ditugaskan untuk menjaga wilayah Romawi di Inggris yang mendapat gangguan terus-menerus dari penduduk asli yang menginginkan kemerdekaan (Merlin dan kawan-kawannya beserta si cantik Keira Knightley sebagai Guinevere) and later, the Saxons. Arthurius a.k.a Arthur tidak sendiri ada serombongan ksatria yang membantunya: Lancelot, Bors, Galahad, Gawain, Tristan, sama satu lagi gw lupa namanya. Inti ceritanya sendiri ada pada masa bakti Arthurius dan temen2nya yang udah habis sehingga mereka layak mendapatkan kebebasan mereka. Namun, Romawi mengirim mereka ke satu misi terakhir, menyelamatkan sekeluarga Romawi (ngapain mereka ada di sana?) yang ada di utara tembok (wilayah Romawi ada di selatan tembok) ditengah ancaman orang-orang pribumi dan rombongan Saxon yang melabuh di pantai utara Inggris (sekali lagi: ngapain tu orang Romawi bikin tempat tinggal di sana? jauh di wilayah musuh? quoting Obelix: "Orang Romawi memang gila").
Put that aside, start film-nya sungguh buruk. Sederetan narasi (entah lewat audio atau graphic), time-leap 15 tahun yang singkat, agak-agak ndak jelas Who's Whos and Why's Whys. Pokoknya tahu-tahu 7 orang ksatria naik kuda membunuh orang-orang pribumi yang membuat gw bertanya: "apa tujuannya?" soalnya Antoine Fuquo menggambarkan para ksatria ini (terutama Tristan, Lancelot, dan Bors) tak ubah-nya kaya orang Saxon, barbar, whatever lah yang doyan ngebantai orang. Geez. You just got yourself a bad mark there, Antoine. Karakter-karakter-nya laughable. Serius, gw pengen ketawa setiap kali melihat Clive Owen dengan tampang sok imut-nya sekuat tenaga pengen memotretkan image seorang Arthur yang dihormati kawan dan disegani lawan. Dan sayangnya, cuma Clive Owen / Arthur yang mendapat kesempatan untuk dibangun sedemikian rupa karakternya. Karakter-karakter lainnya? bah... numpang lewat. Palingan cuma Lancelot (banci, perengek, sok keren) dan Bors ("Rus!!", sok patriotik padahal paling bar-bar) dan itupun tidak cukup.. jauh banget dari cukup.
Berikutnya, kita punya Kiera sebagai Guinevere. Gw ga ada masalah sama pakaian suku-nya yang ultra minim di samping. Sekali lagi, gw nonton film ini menganggap seakan-akan gw ga pernah baca cerita Arthur. Tapi yang mengganggu gw adalah 'kegatelan'-nya itu lho. Dia seakan-akan udah ga sabar untuk mencopot pakaiannya di hadapan Arthur (atau Lancelot) dan lantas membiarkan dirinya 'dimasuki' oleh Arthur (atau Lancelot, whoever come first). Oke, romantis (maunya). But? what do i got? just a whore.. praktis semenjak adegan di kemah antara Arthur dan Guinevere gw udah males nonton film ini.
Jadi, biar gw simpulkan. Film ini tidak punya alur cerita yang kuat. Satu misi terakhir dari Roma. Karakter-karakter yang dangkal, Guinevere yang 'kegatelan', skrip yang payah, eksyen yang ya... oke lah walaupun tak sebaik "Braveheart", buat penggemar eksyen terutama yang sabet-sabetan gw rasa bisa terhibur. Trus satu adegan yang membuat gw cukup bisa untuk muntah, atau terguling-guling ngakak. Ketika dalam menit-menit yang menjemukan, para ksatria (temen) Arthur yang sebelumnya hendak meninggalkan Arthur dan kaum pribumi berjuang sendiri melawan Saxon saling memandang satu sama lain, tersenyum, dan lantas mengambil senjata mereka untuk kembali ke sisi Arthur (maaf, gw ga nganggep ini Spoiler kok, if you see the movie, you ought to see it coming long before it actually happened). Ekspresi, angel-shot, dan skrip-nya bener-bener bikin gw mau ngakak. Jadi, secara keseluruhan meskipun Jerry bilang ini film action/drama, bagi gw film ini gw sebut sebagai film "unintentional comedy". A failed comedy yang menambah panjang jajaran film-film tentang Arthur yang jeblok secara kualitas. Sayang sekali melihat Kiera, atau Clive mau-maunya tampil di film kaya gini.
Collateral (2004)
Disclaimer: Film ini gw tonton dalam suasana yang sangat kondusif, jadi gw bisa memberikan penilaian yang cukup obyektif dan tak berbias. Sehingga meskipun bukan film yang terakhir kali gw tonton, gw bisa dengan mudah menulis tentangnya di sini.
Starring: Tom Cruise, Jamie Foxx, Jada Pinkett-Smith
Directed by: Michael Mann
IMDb top 250: -
My Rating:
Gw suka sama pergerakan kameranya. It was so fluid that it gives me the feeling that i was on the scene instead of sitting on the outside beyond perimeter of the screen. But, i guess that was it. Meskipun Jamie Foxx dan Tom Cruise cukup keren aktingnya, tapi gw tidak melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa soalnya menurut gw sih, you can't expect less from both of them.
Ini adalah film ketiga besutan sutradara Michael Mann yang gw tonton setelah "Heat" (damn, it was the best heist movie ever) n "Ali" dan menurut gw, film ini adalah film yang terburuk bila dibandingkan dengan kedua film tadi.
Vincent (Tom Cruise) datang ke L.A dengan satu tujuan. Di dalam tablet PC yang diserahkan oleh cameo Jason Statham di LAX terdapat daftar nama-nama yang harus ia habisi sebelum pagi menjelang. Ya, Vincent adalah seorang pembunuh profesional, a heartless mother-f*cker who knew how to shoot. Dan dalam misi-nya ia memanfaatkan "a guy in a wrong place and in a wrong time", seorang sopir taksi shift malam, Max (Jamie Foxx) untuk mengantarkannya keliling L.A dan dimulailah perjalanan si pembunuh dengan chauffeur-nya.
Sebenernya ceritanya lumayan bagus, skrip-nya juga cerdas (dibawakan dengan manis oleh Tom Cruise, Vincent jadi benar-benar perfect -- too perfect -- walaupun tidak nyata sebagai seorang pembunuh yang tak punya hati, profesional, tahan banting, pencinta jazz dan sekaligus filosofis) bahkan gw hampir jatuh cinta sama adegan awal ketika Max ngobrol sama Jada Pinkett-Smith yang disampaikan tanpa banyak kata-kata kecuali kata-kata yang cerdas tapi jelas nunjukin betapa lonely-nya orang Amrik dan dari situ karakter Max jadi terkonstruksi dengan apik soalnya di sepanjang film, Max nyaris tidak beranjak ke mana-mana.
Total ceritanya sendiri juga jauh dari mengecewakan, gw pribadi sih ndak terlalu suka sama aksyen-nya yang menurut gw cuman ditambah-tambahin buat menambah nuansa pop biar para penonton jadi lebih tertarik untuk menontonnya. Buat gw, yang paling menarik dari film ini adalah clash-of-characters-nya (tentu saja karakter-nya Foxx sama Cruise) yang sayangnya jadi agak hambar menjelang akhir film.
So, what's with two and half rating you say? well, praktis rating gw banyak dipengaruhi oleh sepertiga akhir film ketika akhirnya Max memutuskan untuk berbuat sesuatu yang heroik dengan terang-terangan menentang Vincent yang diklimakskan dengan adegan yang menurut gw terasa agak dipaksakan apabila mengingat latar belakang Vincent dan Max. Many illogical plots as well ketika di sepanjang film, Vincent tertembak, terguling, tercelakai, dan teraniaya tapi tetep bisa komit dalam menunaikan tugasnya atau adegan di rumah sakit ketika Vincent dan Max mengunjungi ibu-nya Max (what was that scene meant anyway?). But that aside, gw suka sama clash-of-characters-nya (Jamie Foxx vs Tom Cruise). Sedikit mengingatkan gw sama Robert De Niro vs Al Pacino di "Heat". Cuman sekali lagi, sayang ternoda oleh sepertiga akhir film yang bernuansa aksyen Hollywood standar.
Starring: Tom Cruise, Jamie Foxx, Jada Pinkett-Smith
Directed by: Michael Mann
IMDb top 250: -
My Rating:
Gw suka sama pergerakan kameranya. It was so fluid that it gives me the feeling that i was on the scene instead of sitting on the outside beyond perimeter of the screen. But, i guess that was it. Meskipun Jamie Foxx dan Tom Cruise cukup keren aktingnya, tapi gw tidak melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa soalnya menurut gw sih, you can't expect less from both of them.
Ini adalah film ketiga besutan sutradara Michael Mann yang gw tonton setelah "Heat" (damn, it was the best heist movie ever) n "Ali" dan menurut gw, film ini adalah film yang terburuk bila dibandingkan dengan kedua film tadi.
Vincent (Tom Cruise) datang ke L.A dengan satu tujuan. Di dalam tablet PC yang diserahkan oleh cameo Jason Statham di LAX terdapat daftar nama-nama yang harus ia habisi sebelum pagi menjelang. Ya, Vincent adalah seorang pembunuh profesional, a heartless mother-f*cker who knew how to shoot. Dan dalam misi-nya ia memanfaatkan "a guy in a wrong place and in a wrong time", seorang sopir taksi shift malam, Max (Jamie Foxx) untuk mengantarkannya keliling L.A dan dimulailah perjalanan si pembunuh dengan chauffeur-nya.
Sebenernya ceritanya lumayan bagus, skrip-nya juga cerdas (dibawakan dengan manis oleh Tom Cruise, Vincent jadi benar-benar perfect -- too perfect -- walaupun tidak nyata sebagai seorang pembunuh yang tak punya hati, profesional, tahan banting, pencinta jazz dan sekaligus filosofis) bahkan gw hampir jatuh cinta sama adegan awal ketika Max ngobrol sama Jada Pinkett-Smith yang disampaikan tanpa banyak kata-kata kecuali kata-kata yang cerdas tapi jelas nunjukin betapa lonely-nya orang Amrik dan dari situ karakter Max jadi terkonstruksi dengan apik soalnya di sepanjang film, Max nyaris tidak beranjak ke mana-mana.
Total ceritanya sendiri juga jauh dari mengecewakan, gw pribadi sih ndak terlalu suka sama aksyen-nya yang menurut gw cuman ditambah-tambahin buat menambah nuansa pop biar para penonton jadi lebih tertarik untuk menontonnya. Buat gw, yang paling menarik dari film ini adalah clash-of-characters-nya (tentu saja karakter-nya Foxx sama Cruise) yang sayangnya jadi agak hambar menjelang akhir film.
So, what's with two and half rating you say? well, praktis rating gw banyak dipengaruhi oleh sepertiga akhir film ketika akhirnya Max memutuskan untuk berbuat sesuatu yang heroik dengan terang-terangan menentang Vincent yang diklimakskan dengan adegan yang menurut gw terasa agak dipaksakan apabila mengingat latar belakang Vincent dan Max. Many illogical plots as well ketika di sepanjang film, Vincent tertembak, terguling, tercelakai, dan teraniaya tapi tetep bisa komit dalam menunaikan tugasnya atau adegan di rumah sakit ketika Vincent dan Max mengunjungi ibu-nya Max (what was that scene meant anyway?). But that aside, gw suka sama clash-of-characters-nya (Jamie Foxx vs Tom Cruise). Sedikit mengingatkan gw sama Robert De Niro vs Al Pacino di "Heat". Cuman sekali lagi, sayang ternoda oleh sepertiga akhir film yang bernuansa aksyen Hollywood standar.
Another Week
Wassup Blog?
Not seeing much movies lately, some precious time had been forcefully ripped-off me last week. Most recent was last weekend, when my friend, my high-school friend -- even though that i had to admit that we never a so-called close acquaintance during my gray-pants old days -- had a wedding ceremony in Bandung and since my friends in Jabotadebek had already planned the How's and When's all to the tiny details, i had decided to tag along to Bandung for a two nights ride.
Well, Bandung was okay -- much-much crowded, warmer and dirtier than the last time i remembered it which gradually reduced my affection toward the city --, my friend's wedding ceremony was superb tough, nice party, loads of great foods, actually i had a great time there, and a full tummy afterwards. Also met several friends, one of which was one of the few close friends that i used to had, and another one who had disappeared for several years due to some reasons best untold. Pretty nostalgic, there were 10 of us and we shared the same past and talked about past, the shame, the laughter, the sorrow, all of which usually brought us a good relief of laughter and happiness.
The bad news is, when we're about to hike off Bandung back to where we came from (Jakarta) we were jammed by the sudden crowd, a sea of humans crowing Dago because that night was happened to be the annually held Dago Festival. That night, it seems like every living soul, every breather in Bandung were came out of their houses and populated Dago by foot on which made Dago magnificently un-penetrable by our vehicle. Hence, we were trapped in the crowd for about three hours before we could manage to escape Dago Festival and head back to Jakarta. That was one of the tiresome experience i ever had. Eight hours which almost twice as usual required for us to make a trip from Bandung to Jakarta. But, it was a nice and pleasant trip none-the-less. I had a great time, and i just wish that everybody (especially our drivers) were also had a great time.
Friends, i love u all.
Not seeing much movies lately, some precious time had been forcefully ripped-off me last week. Most recent was last weekend, when my friend, my high-school friend -- even though that i had to admit that we never a so-called close acquaintance during my gray-pants old days -- had a wedding ceremony in Bandung and since my friends in Jabotadebek had already planned the How's and When's all to the tiny details, i had decided to tag along to Bandung for a two nights ride.
Well, Bandung was okay -- much-much crowded, warmer and dirtier than the last time i remembered it which gradually reduced my affection toward the city --, my friend's wedding ceremony was superb tough, nice party, loads of great foods, actually i had a great time there, and a full tummy afterwards. Also met several friends, one of which was one of the few close friends that i used to had, and another one who had disappeared for several years due to some reasons best untold. Pretty nostalgic, there were 10 of us and we shared the same past and talked about past, the shame, the laughter, the sorrow, all of which usually brought us a good relief of laughter and happiness.
The bad news is, when we're about to hike off Bandung back to where we came from (Jakarta) we were jammed by the sudden crowd, a sea of humans crowing Dago because that night was happened to be the annually held Dago Festival. That night, it seems like every living soul, every breather in Bandung were came out of their houses and populated Dago by foot on which made Dago magnificently un-penetrable by our vehicle. Hence, we were trapped in the crowd for about three hours before we could manage to escape Dago Festival and head back to Jakarta. That was one of the tiresome experience i ever had. Eight hours which almost twice as usual required for us to make a trip from Bandung to Jakarta. But, it was a nice and pleasant trip none-the-less. I had a great time, and i just wish that everybody (especially our drivers) were also had a great time.
Friends, i love u all.
Tuesday, December 14, 2004
Taxi Driver (1976)
Starring: Robert De Niro, Cybill Sepherd, Harvey Keitel, Jodie Foster (when she was 14, i suppose)
Directed by: Martin Scorcese
IMDb Top 250: #43
Perkenalan pertama gw sama Martin Scorcese terjadi pas di film "Gangs of New York", film yang langsung gw suka karena adegan pembukanya yang brutal, violent, and ugly tentang perkelahian antar geng di kota New York pas era Perang Sipil di mana setiap geng yang berantem bertemu di sebuah tempat (selayaknya padang Kurusetra di cerita Mahabharata) dan bertarung hand-to-hand. But that's another story.
"Taxi Driver" ini film-nya Robert De Niro. Dalam maksud bahwa sepanjang 115 menit film ini berjalan, jarang sekali kita tidak melihat tampang Robert De Niro di situ (yang paling gw inget sih cuman adegan dansa Jodie Foster (Iris) sama mucikarinya, Sport (Harvey Keitel)). Robert De Niro adalah Travis Bickle seorang ex-marinir pulang dari Vietnam untuk bekerja menjadi seorang supir taksi di New York. Segera kita melihat potret kota New York dari mata seorang Travis lewat shot-shot yang secara mudah bisa meng-capture the harsh-ness, the rough-ness, and the dirty-ness of New York suburbs and the people in it. Demikian Travis kemudian memandang orang-orang di sekitarnya. Dia melihat mereka sebagai sampah dan dalam sebuah monolog yang terkenal, dia ingin ada hujan yang turun begitu derasnya sehingga menyapu bersih jalanan kota New York dari sampah-sampah itu.
Travis Bikcle juga seorang penyendiri. Dia tidak punya siapa-siapa dan sekali waktu ia menulis surat untuk kedua orang-tua-nya tanpa pernah mau menyebutkan di mana ia tinggal dan apa pekerjaan dia yang sesungguhnya. Kesendiriannya ini benar-benar diekspresikan oleh Martin Scorsese dengan baik sehingga atmofsirnya jatuh ke luar layar. Ada satu adegan yang menjadi monumental berkaitan dengan ke-anti-sosial-an Travis Bickle ketika ia melakukan monolog di depan cermin. Very sad, very touching.
Suatu ketika, Travis bertemu dengan seseorang (Becky - Cybill Sepherd) dan lantas memutuskan untuk mengencaninya.. dari sinilah muncul konflik batin baik di sisi Travis ataupun buat gw, penonton. Buat gw pribadi, pada saat itu gw mulai ragu akan simpati gw terhadap kesendirian Travis, gw juga ragu apakah gw harus merasa kasihan atau kesal akan ketidakbisaan Travis dalam menjalin hubungan dengan manusia. Dan dari sini, alur film kemudian berbelok tajam, mengubah karakter seorang Bickle dan menyetirnya untuk 'menyelamatkan' seorang pelacur muda, Iris (Jodie Foster) yang menurut sudut pandangnya, gadis ini ingin keluar dari cengkeraman mucikarinya, Sport (Harvey Keitel). Tapi, apakah memang si gadis ingin diselamatkan? ataukah itu hanya ilusi dari Bickle yang ingin melakukan sesuatu agar ia tidak merasa tercampakkan dan terhina seperti apa yang ia rasakan terhadap orang-orang disekitarnya? perlu dilihat sendiri.
Secara keseluruhan, "Taxi Driver" buat gw adalah film yang menjengkelkan. Sound effect-nya bener-bener bikin depresi. Di satu titik gw merasa terbawa ke alam 'kelam'-nya Kurosawa dan itu sudah cukup untuk membuat gw merasa 'bt'. Tapi, karakter-karakter yang terlibat di dalamnya ciamik sekali. Kredit lebih untuk Robert De Niro yang secara alamiah menentukan baik buruknya film ini mengingat 95% dari panjang film kita akan selalu melihat Travis Bickle, sedih, sendiri dan depresi jadi sudah jelas, apabila De Niro tidak bisa meyakinkan penonton sebagai Travis Bickle, filmnya tentu tidak akan sefenomenal ini. Cybill Sepherd gw juga suka banget aktingnya sebagai Becky di sini. Jodie Foster? hmm, rada aneh juga melihatnya masih selangkah di umur belasan tapi she's good none-the-less.
So, meski film ini termasuk film yang boring dengan alur yang lambat, dan kadang-kadang tidak jelas tujuannya, gw suka film ini karena Travis Bickle-nya. Dia menawarkan sesuatu yang selalu membuat gw terkagum-kagum sehabis nonton film: Dualisme. Gw simpati, tapi gw juga anti-pati, gw kasian, tapi juga gw tidak peduli.. perasaan-perasaan yang bertolak belakang yang gw berikan kepada Travis Bickle. And the ending, bukankah ending-nya membuatmu bertanya-tanya? apa sih yang sebenernya terjadi sama Travis?. Yang jelas, he's there always with his Taxi, strolling New York City on the midnight ride, disgusted himself to the people - trash - around him and wishing that someday a rain would wash the street clean of them.
Rating: *** / **** - A bit overrated you say? well, i'm not sure myself, but i could feel myself as Travis Bickle, lonely and deserted. And he's the blood of this film and his taxi was his vein. The characters are the reason for the rating.
Directed by: Martin Scorcese
IMDb Top 250: #43
Perkenalan pertama gw sama Martin Scorcese terjadi pas di film "Gangs of New York", film yang langsung gw suka karena adegan pembukanya yang brutal, violent, and ugly tentang perkelahian antar geng di kota New York pas era Perang Sipil di mana setiap geng yang berantem bertemu di sebuah tempat (selayaknya padang Kurusetra di cerita Mahabharata) dan bertarung hand-to-hand. But that's another story.
"Taxi Driver" ini film-nya Robert De Niro. Dalam maksud bahwa sepanjang 115 menit film ini berjalan, jarang sekali kita tidak melihat tampang Robert De Niro di situ (yang paling gw inget sih cuman adegan dansa Jodie Foster (Iris) sama mucikarinya, Sport (Harvey Keitel)). Robert De Niro adalah Travis Bickle seorang ex-marinir pulang dari Vietnam untuk bekerja menjadi seorang supir taksi di New York. Segera kita melihat potret kota New York dari mata seorang Travis lewat shot-shot yang secara mudah bisa meng-capture the harsh-ness, the rough-ness, and the dirty-ness of New York suburbs and the people in it. Demikian Travis kemudian memandang orang-orang di sekitarnya. Dia melihat mereka sebagai sampah dan dalam sebuah monolog yang terkenal, dia ingin ada hujan yang turun begitu derasnya sehingga menyapu bersih jalanan kota New York dari sampah-sampah itu.
Travis Bikcle juga seorang penyendiri. Dia tidak punya siapa-siapa dan sekali waktu ia menulis surat untuk kedua orang-tua-nya tanpa pernah mau menyebutkan di mana ia tinggal dan apa pekerjaan dia yang sesungguhnya. Kesendiriannya ini benar-benar diekspresikan oleh Martin Scorsese dengan baik sehingga atmofsirnya jatuh ke luar layar. Ada satu adegan yang menjadi monumental berkaitan dengan ke-anti-sosial-an Travis Bickle ketika ia melakukan monolog di depan cermin. Very sad, very touching.
Suatu ketika, Travis bertemu dengan seseorang (Becky - Cybill Sepherd) dan lantas memutuskan untuk mengencaninya.. dari sinilah muncul konflik batin baik di sisi Travis ataupun buat gw, penonton. Buat gw pribadi, pada saat itu gw mulai ragu akan simpati gw terhadap kesendirian Travis, gw juga ragu apakah gw harus merasa kasihan atau kesal akan ketidakbisaan Travis dalam menjalin hubungan dengan manusia. Dan dari sini, alur film kemudian berbelok tajam, mengubah karakter seorang Bickle dan menyetirnya untuk 'menyelamatkan' seorang pelacur muda, Iris (Jodie Foster) yang menurut sudut pandangnya, gadis ini ingin keluar dari cengkeraman mucikarinya, Sport (Harvey Keitel). Tapi, apakah memang si gadis ingin diselamatkan? ataukah itu hanya ilusi dari Bickle yang ingin melakukan sesuatu agar ia tidak merasa tercampakkan dan terhina seperti apa yang ia rasakan terhadap orang-orang disekitarnya? perlu dilihat sendiri.
Secara keseluruhan, "Taxi Driver" buat gw adalah film yang menjengkelkan. Sound effect-nya bener-bener bikin depresi. Di satu titik gw merasa terbawa ke alam 'kelam'-nya Kurosawa dan itu sudah cukup untuk membuat gw merasa 'bt'. Tapi, karakter-karakter yang terlibat di dalamnya ciamik sekali. Kredit lebih untuk Robert De Niro yang secara alamiah menentukan baik buruknya film ini mengingat 95% dari panjang film kita akan selalu melihat Travis Bickle, sedih, sendiri dan depresi jadi sudah jelas, apabila De Niro tidak bisa meyakinkan penonton sebagai Travis Bickle, filmnya tentu tidak akan sefenomenal ini. Cybill Sepherd gw juga suka banget aktingnya sebagai Becky di sini. Jodie Foster? hmm, rada aneh juga melihatnya masih selangkah di umur belasan tapi she's good none-the-less.
So, meski film ini termasuk film yang boring dengan alur yang lambat, dan kadang-kadang tidak jelas tujuannya, gw suka film ini karena Travis Bickle-nya. Dia menawarkan sesuatu yang selalu membuat gw terkagum-kagum sehabis nonton film: Dualisme. Gw simpati, tapi gw juga anti-pati, gw kasian, tapi juga gw tidak peduli.. perasaan-perasaan yang bertolak belakang yang gw berikan kepada Travis Bickle. And the ending, bukankah ending-nya membuatmu bertanya-tanya? apa sih yang sebenernya terjadi sama Travis?. Yang jelas, he's there always with his Taxi, strolling New York City on the midnight ride, disgusted himself to the people - trash - around him and wishing that someday a rain would wash the street clean of them.
Rating: *** / **** - A bit overrated you say? well, i'm not sure myself, but i could feel myself as Travis Bickle, lonely and deserted. And he's the blood of this film and his taxi was his vein. The characters are the reason for the rating.
New Layout
This site has been down for a whole week. It because approximately a week ago when i was about to wrote another article about movies, to my folliness, i did something on the template which up to this date i had not clue whatsoever on what did i do wrong at the time. All i knew was that this site had practically un-accessible the whole time.
So instead of finding out what i've been done wrong which sort of like finding a needle in the hay-stack, i've recreated the template for this site right from scratch. Yea, and it may not much but i guess the new layout represented more thoroughly the ideas that came to my head than the old ones.
So instead of finding out what i've been done wrong which sort of like finding a needle in the hay-stack, i've recreated the template for this site right from scratch. Yea, and it may not much but i guess the new layout represented more thoroughly the ideas that came to my head than the old ones.
Tuesday, December 07, 2004
Rashomon (1950)
Disclaimer: Meskipun di beberapa entri terakhir gw mencoba memfasilitasi bahasa Inggris sekaligus merupakan pelatihan gw terhadap penggunaan bahasa tersebut, gw merasa waktu yang gw butuhkan buat nulis satu entri cukup signifikan. Oleh karena itu, gw akan menulis tiap entri berikutnya dengan bahasa ibu, dan nantinya baru gw terjemahin (meskipun ga bakal gw taruh di sini lagi, elsewhere, mungkin gw perlu punya binder yang menyimpan semua properti fisik dari hasil pemikiran gw yang sebelumnya tertuang di sini atau di situs lain).
Starring: Siapa lagi kalo bukan Toshiro Mifune, sekali lagi bersama-sama Takashi Simura, Minoru Chiaki, Machiko Kyo, dan Masayuki Mori, ditambah dengan tiga kast lagi: Kichijiro Ueda, Fumiko Honma, dan Daisuke Kato, film ini memang cuma terdiri atas delapan karakter saja.
Directed By: Akira Kurosawa
Beberapa orang menganggap "Rashomon", bersama-sama "Ran" dan "Shichinin no Samurai" sebagai masterpiece dari seorang Kurosawa. Gw pribadi sih setengah-setengah sama pendapat itu.. a masterpiece? kalau gw menempatkan diri gw di tahun 1950, ya.. gw bakal bilang itu masterpiece. Menurut beberapa sumber, film ini adalah film pertama yang ngambil gambar matahari secara langsung, sebuah shot yang sangat umum ditemui di film-film sekarang. Juga merupakan alasan kenapa Academy (pemberi Oscar) membuat kategori "Best Foreign Films". Dengan fakta-fakta itu disingkirkan, pendapat gw pribadi untuk film ini sih: cukup buat mikir tapi certainly not my favourite amongst Kurosawa's. Why, gw lebih suka "Yojimbo" yang lebih fun, "The Hidden Fortress" yang lebih grandeur, atau "Ikiru" yang lebih dalam mengupas sisi humanis yang jadi kelebihan Kurosawa. Afeksi gw terhadap film ini malah seperti terhadap "Throne of Blood". Secara kualitas mantap, tapi kelam dan depressing. Tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa gw tidak suka film ini, tidak. Gw anggap ini film bagus karena 'dalem' tapi sekali lagi, ke-kelam-an film ini yang membuat gw ikut2an 'kelam' yang di satu sisi menunjukkan kehebatan Kurosawa dalam mentransfer emosi dari film ini, di sisi lain mempengaruhi penilain gw yang jadi ikut2an 'kelam'.
"Rashomon" adalah sebuah studi mengenai relativitas kebenaran. Kurosawa menceritakan pengalamannya ketika menghadapi ketiga asisten-nya yang bertanya tentang tujuan dari skrip "Rashomon" ini dalam bukunya (gw lupa judul-nya). Pengalamannya tersebut kurang lebih menyimpulkan bahwa untuk bisa menikmati "Rashomon" secara utuh, mesti dilihat bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hati yang kompleks, the inability to tell the truth tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, dan seterusnya. Lebih jauh, Kurosawa bilang bahwa "Rashomon" ini film yang menceritakan tentang hidup... dan hidup itu tidak selamanya harus dimengerti.
Ada empat karakter yang menceritakan suatu kejadian dan masing-masing mengaku menceritakan kebenaran dari perspektif dirinya. Seorang samurai (Masayuki Mori) dan istrinya (Machiko Kyo) sedang berjalan di sebuah hutan ketika seorang bandit (the one and only, Toshiro Mifune) memutuskan untuk memperkosa si istri. Kejadian ini berbuntut dengan terbunuhnya sang samurai yang mayatnya ditemukan oleh seorang penebang kayu (Takashi Simura). In the later scenes that follows, masing-masing dari empat karakter ini (berurutan dari si bandit, sang istri, sang suami -- lewat mediator, dan penebang kayu) menceritakan kejadian as they know it lewat serangkaian flashback yang menarik.
Tapi tentu saja, keempat cerita itu tidak ada yang sama satu sama lain meskipun hasilnya sama saja: si samurai mati terbunuh tapi tidak ada senjata pembunuhnya, si istri ternodai dan belati bertahtakan mutiara milik si istri tidak ditemukan. Akira Kurosawa pun tidak mau susah-susah menunjukkan pada penontonnya mengenai versi mana yang benar-benar terjadi, atau siapa yang benar-benar jujur. Bahkan ketika salah satu karakter (pendeta (Minoru Chiaki)) bilang bahwa orang mati tidak bisa bohong, hence, the truth was told by the deceased samurai who has been summoned by a certain miko to tell tales, Kurosawa dengan subtle mengindikasikan bahwa bahkan orang mati pun masih membawa ego mereka yang membaurkan kemampuan mereka untuk berbicara dengan jujur, tak berbias.
Intinya sih, film ini merupakan teriakan Kurosawa akan 'kebenaran'. Kritik-nya sih, bahwa setiap manusia itu susah atau bahkan tidak bisa mengatakan 'kebenaran' tanpa diusik oleh ego mereka, kepentingan mereka, hence.. the heart of man is truly a remarkable thing.. unthinkable, unpredictable just like life itself. Buat gw, film ini juga merupakan kritik buat sistem peradilan -- 'asas praduga tak bersalah' -- modern soalnya setiap karakter di film ini masing-masing mengaku bahwa mereka sendiri-lah yang bertanggung jawab atas kematian sang samurai, bukan orang lain.
Yang lebih membingungkan lagi adalah adegan terakhir, adegan ini dengan mudah bisa menimbulkan ambiguitas ketika si penebang kayu setelah dituduh tidak jujur, tidak beda dengan pembunuh, dan semacamnya melakukan kebaikan yang nyaris tidak bisa dipikirkan tujuan maupun maksudnya. Apa tujuannya? apa maksudnya? hanya scene si penebang kayu, tersenyum dengan mata berkaca-kaca berjalan ke arah kamera di tengah hujan yang mereda di antara reruntuhan kuil Rashomon yang sebelumnya digunakan untuk berteduh yang disediakan Kurosawa sebagai jawaban.
Truly, not one of my personal favourite. Tapi bobot dari film ini, pesan yang dikandungnya, yang membuat ini layak jadi masterpiece. Oh ya, the sound.. the sound was annoying.
Rating: **** / **** - Still, not one of my favourite.
Starring: Siapa lagi kalo bukan Toshiro Mifune, sekali lagi bersama-sama Takashi Simura, Minoru Chiaki, Machiko Kyo, dan Masayuki Mori, ditambah dengan tiga kast lagi: Kichijiro Ueda, Fumiko Honma, dan Daisuke Kato, film ini memang cuma terdiri atas delapan karakter saja.
Directed By: Akira Kurosawa
Beberapa orang menganggap "Rashomon", bersama-sama "Ran" dan "Shichinin no Samurai" sebagai masterpiece dari seorang Kurosawa. Gw pribadi sih setengah-setengah sama pendapat itu.. a masterpiece? kalau gw menempatkan diri gw di tahun 1950, ya.. gw bakal bilang itu masterpiece. Menurut beberapa sumber, film ini adalah film pertama yang ngambil gambar matahari secara langsung, sebuah shot yang sangat umum ditemui di film-film sekarang. Juga merupakan alasan kenapa Academy (pemberi Oscar) membuat kategori "Best Foreign Films". Dengan fakta-fakta itu disingkirkan, pendapat gw pribadi untuk film ini sih: cukup buat mikir tapi certainly not my favourite amongst Kurosawa's. Why, gw lebih suka "Yojimbo" yang lebih fun, "The Hidden Fortress" yang lebih grandeur, atau "Ikiru" yang lebih dalam mengupas sisi humanis yang jadi kelebihan Kurosawa. Afeksi gw terhadap film ini malah seperti terhadap "Throne of Blood". Secara kualitas mantap, tapi kelam dan depressing. Tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa gw tidak suka film ini, tidak. Gw anggap ini film bagus karena 'dalem' tapi sekali lagi, ke-kelam-an film ini yang membuat gw ikut2an 'kelam' yang di satu sisi menunjukkan kehebatan Kurosawa dalam mentransfer emosi dari film ini, di sisi lain mempengaruhi penilain gw yang jadi ikut2an 'kelam'.
"Rashomon" adalah sebuah studi mengenai relativitas kebenaran. Kurosawa menceritakan pengalamannya ketika menghadapi ketiga asisten-nya yang bertanya tentang tujuan dari skrip "Rashomon" ini dalam bukunya (gw lupa judul-nya). Pengalamannya tersebut kurang lebih menyimpulkan bahwa untuk bisa menikmati "Rashomon" secara utuh, mesti dilihat bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hati yang kompleks, the inability to tell the truth tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, dan seterusnya. Lebih jauh, Kurosawa bilang bahwa "Rashomon" ini film yang menceritakan tentang hidup... dan hidup itu tidak selamanya harus dimengerti.
Ada empat karakter yang menceritakan suatu kejadian dan masing-masing mengaku menceritakan kebenaran dari perspektif dirinya. Seorang samurai (Masayuki Mori) dan istrinya (Machiko Kyo) sedang berjalan di sebuah hutan ketika seorang bandit (the one and only, Toshiro Mifune) memutuskan untuk memperkosa si istri. Kejadian ini berbuntut dengan terbunuhnya sang samurai yang mayatnya ditemukan oleh seorang penebang kayu (Takashi Simura). In the later scenes that follows, masing-masing dari empat karakter ini (berurutan dari si bandit, sang istri, sang suami -- lewat mediator, dan penebang kayu) menceritakan kejadian as they know it lewat serangkaian flashback yang menarik.
Tapi tentu saja, keempat cerita itu tidak ada yang sama satu sama lain meskipun hasilnya sama saja: si samurai mati terbunuh tapi tidak ada senjata pembunuhnya, si istri ternodai dan belati bertahtakan mutiara milik si istri tidak ditemukan. Akira Kurosawa pun tidak mau susah-susah menunjukkan pada penontonnya mengenai versi mana yang benar-benar terjadi, atau siapa yang benar-benar jujur. Bahkan ketika salah satu karakter (pendeta (Minoru Chiaki)) bilang bahwa orang mati tidak bisa bohong, hence, the truth was told by the deceased samurai who has been summoned by a certain miko to tell tales, Kurosawa dengan subtle mengindikasikan bahwa bahkan orang mati pun masih membawa ego mereka yang membaurkan kemampuan mereka untuk berbicara dengan jujur, tak berbias.
Intinya sih, film ini merupakan teriakan Kurosawa akan 'kebenaran'. Kritik-nya sih, bahwa setiap manusia itu susah atau bahkan tidak bisa mengatakan 'kebenaran' tanpa diusik oleh ego mereka, kepentingan mereka, hence.. the heart of man is truly a remarkable thing.. unthinkable, unpredictable just like life itself. Buat gw, film ini juga merupakan kritik buat sistem peradilan -- 'asas praduga tak bersalah' -- modern soalnya setiap karakter di film ini masing-masing mengaku bahwa mereka sendiri-lah yang bertanggung jawab atas kematian sang samurai, bukan orang lain.
Yang lebih membingungkan lagi adalah adegan terakhir, adegan ini dengan mudah bisa menimbulkan ambiguitas ketika si penebang kayu setelah dituduh tidak jujur, tidak beda dengan pembunuh, dan semacamnya melakukan kebaikan yang nyaris tidak bisa dipikirkan tujuan maupun maksudnya. Apa tujuannya? apa maksudnya? hanya scene si penebang kayu, tersenyum dengan mata berkaca-kaca berjalan ke arah kamera di tengah hujan yang mereda di antara reruntuhan kuil Rashomon yang sebelumnya digunakan untuk berteduh yang disediakan Kurosawa sebagai jawaban.
Truly, not one of my personal favourite. Tapi bobot dari film ini, pesan yang dikandungnya, yang membuat ini layak jadi masterpiece. Oh ya, the sound.. the sound was annoying.
Rating: **** / **** - Still, not one of my favourite.
Subscribe to:
Posts (Atom)