Tuesday, December 21, 2004

Yojimbo (1961)

Foreword: I've actually seen the movie for quite some time, but i just got enough time to put thought about it and to write article about it.

Starring: Sekali lagi, tak bosan-bosannya Toshiro Mifune, Tatsuya Nakdai, Yoko Tsukasa, Isuzu Yamada, Daisuke Kato, Seizaburo Kawazu, dan peran kecil oleh Takashi Shimura
Directed By: Akira Kurosawa
IMDb Top 250: #103
My Rating:



Impresi pertama gw ketika ngeliat film ini, dari setting kota-nya terutama adalah "Wah, Western banget". Desain kota-nya (atau desa) adalah bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan sebuah jalan raya yang membelah kota tersebut tepat di tengah-tengah, lengkap dengan Devil's Grass yang meluncur malas diterpa angin. Akira Kurosawa memang sedikit banyak terinspirasi dari film-film western ketika membuat film ini. Dan uniknya, tiga tahun kemudian seorang sutradara yang pada akhirnya menjadi sutradara western terkenal, Sergio Leone membuat 'remake' shot-per-shot dari "Yojimbo" melalui sekuel pertama dari trilogi "Man with no Name": "A Fistful of Dollar" dengan Clint Eastwood pada posisi Toshiro Mifune. Thus, the circle is complete.

Arti harafiah dari "Yojimbo" adalah "Bodyguard". Film ini memposisikan Toshiro Mifune sebagai seorang (lagi-lagi) samurai ronin, tak bertuan yang pengembaraannya membawanya ke sebuah kota di mana didalamnya dua kubu gangster berseteru. Mengaku sebagai Sanjuro Kuwabatake, setelah membuat persahabatan yang unik dengan seorang penjaga warung sake dan mempelajari kejadian di kota tersebut, ia memutuskan untuk memainkan peran sebagai "Bodyguard" bagi pihak manapun (dari dua kubu gangster yang berseteru) yang membayarnya lebih.

Scene-scene awal mengindikasikan bahwa Sanjuro adalah seorang anti-hero yang brutal, tidak ubahnya dengan para villain yang merongrong ketentraman kota tersebut dan tentu saja mengedepankan ego dan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Gw enjoy banget nonton scene-scene awal, gw serasa lagi hura-hura, ongkang-ongkang kaki bersantai ketika Sanjuro dengan asik-nya membunuh tiga orang demi mendapatkan impresi dari pemimpin gangster yang berseteru bahwa ia lebih dari layak untuk menjadi seorang "Bodyguard". And that scene which follows the murder of three when he coldly asks for coffin-maker to make another three coffins was wicked cool. Dan cuma Toshiro Mifune yang bisa membuat gw menggeritkan gigi demi menahan emosi ke-keren-nan (rada ga jelas niy) yang muncul dari dalam diri gw.

However, setengah jalan genre-nya berbelok cukup drastis ketika akhirnya Sanjuro menunjukkan sisi melo-dramatic-nya, sisi kemanusiaan-nya yang terenyuh, yang lantas diikuti oleh kesalahan Sanjuro sehingga menyebabkan ia dipukuli dan disekap oleh salah seorang gangster. Dari sini genre-nya berubah jadi sedikit gelap. Gw pribadi ga terlalu suka sama alur-nya, too crappy, too western, too often tapi dari scene ini yang keren cara Kurosawa memvisualisasikannya. Gw paling inget ketika muka ancur Sanjuro (habis dipukuli) di-shot dalam gelap dengan sedikit cahaya yang menyinari sisi mukanya yang masih relatif mulus dan menyorot mata liar Sanjuro yang memancarkan kemarahan. And that's another teeth grinning for Toshiro Mifune.

All in all, dari awal sampai akhir film ini agak njelimet alur-nya. Suka lompat kesana-kemari. Bahkan dalam satu scene, gw sempet mundur beberapa menit karena scene Sanjuro berikutnya yang terpengaruh oleh scene sebelumnya ternyata cuma dipicu oleh satu dua baris script dalam hitungan detik yang secara mudah akan terlewat kalau nontonnya sambil lalu. Selain itu, adegan terakhirnya juga agak-agak cliche. But, i've seen worse. Dan meskipun Sanjuro pada akhirnya harus meluluh-lantakkan sepasukan gangster dengan sabetan pedang-nya, implikasi logisnya jauh lebih nyata dari pada...say, "Rambo"?, "Collateral Damage", "Cobra", atau any Van Damme's movie. Yah itulah, Kurosawa is Kurosawa bagaimanapun dia membuat film, artistik kaya "Dream" atau eksyen seperti ini, pada akhirnya gw masih merasa digiring ke konsep humanity yang selalu disuguhkannya.