Tuesday, December 07, 2004

Rashomon (1950)

Disclaimer: Meskipun di beberapa entri terakhir gw mencoba memfasilitasi bahasa Inggris sekaligus merupakan pelatihan gw terhadap penggunaan bahasa tersebut, gw merasa waktu yang gw butuhkan buat nulis satu entri cukup signifikan. Oleh karena itu, gw akan menulis tiap entri berikutnya dengan bahasa ibu, dan nantinya baru gw terjemahin (meskipun ga bakal gw taruh di sini lagi, elsewhere, mungkin gw perlu punya binder yang menyimpan semua properti fisik dari hasil pemikiran gw yang sebelumnya tertuang di sini atau di situs lain).



Starring: Siapa lagi kalo bukan Toshiro Mifune, sekali lagi bersama-sama Takashi Simura, Minoru Chiaki, Machiko Kyo, dan Masayuki Mori, ditambah dengan tiga kast lagi: Kichijiro Ueda, Fumiko Honma, dan Daisuke Kato, film ini memang cuma terdiri atas delapan karakter saja.
Directed By: Akira Kurosawa

Beberapa orang menganggap "Rashomon", bersama-sama "Ran" dan "Shichinin no Samurai" sebagai masterpiece dari seorang Kurosawa. Gw pribadi sih setengah-setengah sama pendapat itu.. a masterpiece? kalau gw menempatkan diri gw di tahun 1950, ya.. gw bakal bilang itu masterpiece. Menurut beberapa sumber, film ini adalah film pertama yang ngambil gambar matahari secara langsung, sebuah shot yang sangat umum ditemui di film-film sekarang. Juga merupakan alasan kenapa Academy (pemberi Oscar) membuat kategori "Best Foreign Films". Dengan fakta-fakta itu disingkirkan, pendapat gw pribadi untuk film ini sih: cukup buat mikir tapi certainly not my favourite amongst Kurosawa's. Why, gw lebih suka "Yojimbo" yang lebih fun, "The Hidden Fortress" yang lebih grandeur, atau "Ikiru" yang lebih dalam mengupas sisi humanis yang jadi kelebihan Kurosawa. Afeksi gw terhadap film ini malah seperti terhadap "Throne of Blood". Secara kualitas mantap, tapi kelam dan depressing. Tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa gw tidak suka film ini, tidak. Gw anggap ini film bagus karena 'dalem' tapi sekali lagi, ke-kelam-an film ini yang membuat gw ikut2an 'kelam' yang di satu sisi menunjukkan kehebatan Kurosawa dalam mentransfer emosi dari film ini, di sisi lain mempengaruhi penilain gw yang jadi ikut2an 'kelam'.

"Rashomon" adalah sebuah studi mengenai relativitas kebenaran. Kurosawa menceritakan pengalamannya ketika menghadapi ketiga asisten-nya yang bertanya tentang tujuan dari skrip "Rashomon" ini dalam bukunya (gw lupa judul-nya). Pengalamannya tersebut kurang lebih menyimpulkan bahwa untuk bisa menikmati "Rashomon" secara utuh, mesti dilihat bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hati yang kompleks, the inability to tell the truth tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, dan seterusnya. Lebih jauh, Kurosawa bilang bahwa "Rashomon" ini film yang menceritakan tentang hidup... dan hidup itu tidak selamanya harus dimengerti.

Ada empat karakter yang menceritakan suatu kejadian dan masing-masing mengaku menceritakan kebenaran dari perspektif dirinya. Seorang samurai (Masayuki Mori) dan istrinya (Machiko Kyo) sedang berjalan di sebuah hutan ketika seorang bandit (the one and only, Toshiro Mifune) memutuskan untuk memperkosa si istri. Kejadian ini berbuntut dengan terbunuhnya sang samurai yang mayatnya ditemukan oleh seorang penebang kayu (Takashi Simura). In the later scenes that follows, masing-masing dari empat karakter ini (berurutan dari si bandit, sang istri, sang suami -- lewat mediator, dan penebang kayu) menceritakan kejadian as they know it lewat serangkaian flashback yang menarik.

Tapi tentu saja, keempat cerita itu tidak ada yang sama satu sama lain meskipun hasilnya sama saja: si samurai mati terbunuh tapi tidak ada senjata pembunuhnya, si istri ternodai dan belati bertahtakan mutiara milik si istri tidak ditemukan. Akira Kurosawa pun tidak mau susah-susah menunjukkan pada penontonnya mengenai versi mana yang benar-benar terjadi, atau siapa yang benar-benar jujur. Bahkan ketika salah satu karakter (pendeta (Minoru Chiaki)) bilang bahwa orang mati tidak bisa bohong, hence, the truth was told by the deceased samurai who has been summoned by a certain miko to tell tales, Kurosawa dengan subtle mengindikasikan bahwa bahkan orang mati pun masih membawa ego mereka yang membaurkan kemampuan mereka untuk berbicara dengan jujur, tak berbias.

Intinya sih, film ini merupakan teriakan Kurosawa akan 'kebenaran'. Kritik-nya sih, bahwa setiap manusia itu susah atau bahkan tidak bisa mengatakan 'kebenaran' tanpa diusik oleh ego mereka, kepentingan mereka, hence.. the heart of man is truly a remarkable thing.. unthinkable, unpredictable just like life itself. Buat gw, film ini juga merupakan kritik buat sistem peradilan -- 'asas praduga tak bersalah' -- modern soalnya setiap karakter di film ini masing-masing mengaku bahwa mereka sendiri-lah yang bertanggung jawab atas kematian sang samurai, bukan orang lain.

Yang lebih membingungkan lagi adalah adegan terakhir, adegan ini dengan mudah bisa menimbulkan ambiguitas ketika si penebang kayu setelah dituduh tidak jujur, tidak beda dengan pembunuh, dan semacamnya melakukan kebaikan yang nyaris tidak bisa dipikirkan tujuan maupun maksudnya. Apa tujuannya? apa maksudnya? hanya scene si penebang kayu, tersenyum dengan mata berkaca-kaca berjalan ke arah kamera di tengah hujan yang mereda di antara reruntuhan kuil Rashomon yang sebelumnya digunakan untuk berteduh yang disediakan Kurosawa sebagai jawaban.

Truly, not one of my personal favourite. Tapi bobot dari film ini, pesan yang dikandungnya, yang membuat ini layak jadi masterpiece. Oh ya, the sound.. the sound was annoying.

Rating: **** / **** - Still, not one of my favourite.