United States, 1980
Cast: Robert deNiro, Joe Pesci, Cathy Moriarty
Director: Martin Scorcese
My Rating: **** / ****
Dari Wikipedia
Film noir is a stylistic approach to genre films forged in depression-era detective and gangster movies and hard-boiled detective stories which were a staple of pulp fiction. Film noir is based in large part on naturalism, a movement in literature based on realism. Film noir is French for "black film", and is pronounced accordingly ("fīlm nwahr"): the transliterated plural is films noir.
Raging Bull, menarik garis yang sama dengan tiga karya Scorcese sebelumnya, Who's That Knocking on My Door?, Mean Street, dan Taxi Driver. Pendeknya, film ini tidak indah, tidak ada suka di film ini, jadi siap-siap aja selama dua jam film ini tidak ada kata lagi yang lebih tepat untuk menggambarkan film ini selain "DEPRESI". Berat banget dah.
Jake LaMotta
Seperti yang gw singgung sebelumnya, ada paling nggak tiga film Scorcese sebelum Raging Bull yang mengusung tema noir yang sama dengan film ini. Jadi apa yang mau gw tulis di sini holds true with the previous three. Raging Bull merupakan film biopic dari seorang Jake LaMotta, petinju kelas menengah yang supposedly cukup terkenal (even though i never heard of his name, well, not that i into boxing, horrible sport, i must say) sampai lima kali melawan Sugar Ray Robinson (kalo ga pernah denger, kebangetah dah).
Sedikit mengingatkan pada Rocky eh? tentu tidak. Rocky adalah film drama yang uplifting, dengan happy ending, di akhir ceritanya. Yang nonton Rocky pasti senang di akhir ceritanya, dan sekali waktu bakal menyenandungkan lagu "Eyes of the Tiger". Tapi habis nonton Raging Bull? disarankan habis itu tidur, maen game, baca buku lucu, atau jalan-jalan. Film ini mulai dari soundtracknya, sinematografinya (shots entirely in black-and-white), alur ceritanya, tokoh-tokohnya, depresif banget. Boleh dibilang, film ini ada di kutub yang berlawanan dari Rocky.
Jake LaMotta adalah petinju kelas menengah yang supposedly jago berantem. Dia tahu kemampuannya, dan membuktikan kemampuannya. But something, something in his personality nail him in one place, stuck. Sampai ketika dia tidak memiliki lawan di ring profesional (semua orang takut padanya) namun dia tidak punya kesempatan untuk menjajal juara dunia. Simply because everybody (kecuali adiknya, Joe Pesci) didn't like him.
Gw tidak bisa menaruh kata yang tepat untuk personality dari seorang Jake ini. Mungkin gw akan ngembat istilah Freudisme "madonna-whore complex". Apa itu? Googling ;). Si Jake ini so drawn to himself, tapi yang ditekankan di film ini adalah bagaimana dia memandang seorang wanita yaitu -- mengacu pada madonna-whore complex -- sebagai virgin atau sebagai whore. Ada satu wanita yang ia inginkan (diperankan dengan bagus oleh Cathy Moriarty), hanya karena ia ingin memuaskan keinginan or fantasi seksual-nya saja (dont worry there is no too-vulgar scenes here), dan ketika ia sudah mendapatkannya, ia berubah menjadi sangat posesif dengan wanita itu, sampai-sampai ia jadi percaya, kalau cewenya ini, kalau sempat akan berselingkuh dengan setiap pria yang ditemuinya (termasuk adiknya sendiri). Robert DeNiro benar-benar luar biasa, kita tahu dia bermasalah tanpa ia harus memberitahukannya secara literal. Wajar kalau dia lantas mendapat Oscar pertamanya untuk aktor utama terbaik.
Ketidakmampuannya, lebih tepat, keposesifannya terhadap sang istri (yang sebetulnya mencintai Jake sepenuh hati) -- mirip dengan ketidak mampuan Travis Bickle dalam memperlakukan wanita di Taxi Driver, juga diperankan oleh Robert DeNiro -- diterjemahkan oleh Jake di atas ring. Dalam satu adegan yang brutal, digambarkan Jake menghancurkan wajah seorang petinju muda hanya karena si istri berkomentar secara kasual bahwa si petinju muda sebagai 'pretty boy' ketika Jake dan adiknya membahas kemungkinan bertarung dengan si petinju tersebut. Begitu seterusnya, sampai kemudian lingkaran setannya komplit. Jake selalu dalam keadaan cemburu, dan selalu ia melampiaskannya di atas ring, hingga suatu ketika, ketika ia tidak mampu lagi melampiaskan kecemburuannya, ia perlahan-lahan menghancurkan karirnya, keluarganya, dan tentu saja dirinya sendiri.
Depresi
Entah kenapa Martin Scorcese dirampok di tahun 1980 ketika Oscar memberikan penghargaan film terbaik dan sutradara terbaik kepada orang lain selain dirinya. Well, Martin Scorcese memang sudah terkenal sebagai salah satu sutradara terbaik yang belum pernah menang Oscar. Terakhir tentu saja tahun lalu, ketika semua orang menjagokannya untuk menang Oscar lewat The Aviator, bahkan ketika ia sudah menang di acara Golden Globe, Clint Eastwood datang. Tidak beruntung memang, tapi di tahun 1980, gw rasa sedikit yang bisa mencapai apa yang telah dicapai film ini dan Martin sendiri tentunya, gayanya mengeksekusi sinema, menerjemahkan depresifitas Jake LaMotta sehingga kita tidak hanya menjadi penonton tapi (tergantung penontonnya juga sih) juga lantas tertarik ke alam kelamnya Jake LaMotta. I dont know, it was just not fair. In short word, i really-really love this movie. Soundtracknya juga ndukung banget, ketika opening title berjalan, kita sudah tahu apa yang bakal disuguhkan film ini, dari situ, entah kita menerima atau tidak, Jake LaMotta bakal terus menyajikan depresi di layar, sampai akhir. Adegan terakhirnya juga mantap, khas Martin banget. This was a man, once was a great fighter, trying to relive his past, silently but compassionately clinging to one and only good memory he had of the past, desperately though knowing that it was a futility in a whole to redeem his past mistakes, chasing his own shadow, and tried to move on with whatever he had left. Dan semuanya ditunjukkan bukan diceritakan, jadi persepsi orang beda-beda, beautiful, simply beautiful.
Adegan favorit gw: Waktu pertandingan ke-5 dengan Sugar Ray Robinson, entah kenapa Jake LaMotta di ronde terakhir hanya berdiri di sisi ring menerima pukulan bertubi-tubi dari Robinson, darah muncrat ke mana-mana, istrinya menutup muka, penonton bersorak riuh-rendah, musiknya mendayu, slow-motion yang menyedihkan, adegan yang menyayat hati, sedih banget ngeliatnya. Tapi, kemudian ketika ia diputuskan kalah TKO, Jake LaMotta dengan 'pride' yang aneh mendatangi Sugar Ray, "I'm still standing Ray, You CANT get me down Ray, see that? I'm still standing Ray", gila! adegan yang menunjukkan carut-marutnya harga diri seorang Jake. Luar biasa!. Bukan adegan yang uplifting apalagi membahagiakan, tapi kena banget buat gw. Mantap!.