Sunday, June 19, 2005

Ran (1985)

Japan, 1985
Cast: Tatsuya Nakadai, Akira Terao, Jinpachi Nezu, Mieko Harada
Director: Akira Kurosawa
My Rating: ***** / **** (that's true, 5 out of 4 stars!)

Ini adalah salah satu film yang membuat gw mencintai film. Segala aspek di film ini dieksekusi dengan penuh emosi. Gw sampai lupa waktu, lupa kalau waktu nonton gw sebenenernya sangat kecapean dan sudah terjaga selama hampir 20 jam. Serasa hanya ada gw dan film ini.

King Lear
Sebelumnya, film favorit gw dari bapak Kurosawa ini Ikiru dan Throne of Blood. Dan film ini, precedes the two. Selain karena filmnya berwarna (elemen yang ga penting sebenernya, tapi seperti di Dreams, kehadiran warna membuat film Kurosawa jadi agak berbeda), filmnya juga merupakan fusi sempurna dari Ikiru dan Throne of Blood.

Ikiru menceritakan seorang tua yang pengen melakukan sesuatu sebelum ia meninggal. Sementara Throne of Blood yang diadaptasi dari Shakespeare's Macbeth menceritakan kerserakahan manusia terhadap kekuasaan. Ran contains all the aspect.

Ran juga diadaptasi dari salah satu tragedi Shakespeare "King Lear". Hence, it was a tragic movie, with a tragic ends.

Seorang raja (Hidetora Ichimonji) yang merasa sudah tua, lengser dari kedudukannya sebagai the Great Lord. Dia membagi kekuasaannya kepada tiga orang anaknya (Taro, Jiro, Saburo) namun dengan syarat ia tetap retain his title as the Great Lord. Sedangkan kepemimpinan sehari-hari diserahkan pada anak tertuanya Taro. Mirip sama kedudukan Raja dan Perdana Menteri di jaman sekarang ini. Hidetora sendiri adalah seorang tokoh yang sangat berpengalaman, vicious in wars, pemimpin yang dihormati dan disegani. Namun jika sudah berhadapan dengan anak-anaknya, ia tidak lagi bisa melihat udang di balik batu. Instingnya dibutakan oleh cintanya kepada anak-anaknya sehingga ia yakin mereka tidak ada yang berbuat macam-macam. Hence, ketika kerajaannya sudah dibagi-bagi, dan sedikit ritual tentang love, putra bungsunya Saburo angkat bicara. Saburo tidak menyukai keputusan ayahnya yang terburu-buru menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Pendapat Saburo ini didukung oleh salah satu jenderalnya Tango yang mengakibatkan keduanya (Saburo dan Tango) dibuang dari kerajaan Hidetora. Kesalahan yang fatal.

Seperti di Macbeth dan Throne of Blood, ada satu tokoh wanita yang sesuai dengan pendapat kuno "di balik kesuksesan dan kehancuran seorang pria, selalu terdapat seorang wanita", Lady Kaede. Dia memiliki dendam pada Hidetora dan ... seterusnya. Jalan ceritanya bisa ditebak sebenernya. Tapi inti dari film ini menurut gw tidak terletak pada jalan ceritanya, melainkan pada penokohan si Hidetora sendiri. Bagaimana ia kemudian melihat anak-anaknya memalingkan muka darinya, mengkhianati kepercayaannya, dan kemudian memerangi dirinya. Kehancurannya secara emosi lebih mengerikan daripada kehancurannya secara fisik. Dalam satu adegan yang sangat indah, captivating, entrapping, Hidetora berjalan terseok-seok melintasi barisan tentara. Dan sepertinya setiap langkah yang ia jalani, setiap kepingan dari kewarasannya terjatuh. Ngeri sekali. Gw hampir nangis ngeliatnya. Tidak ada yang bisa mengeksekusi adegan itu seindah Kurosawa. Why? baca sub-bab berikutnya.

Kurosawa: I Could Not Possible Directed Ran at an Earlier Age
Pada saat film ini dibuat, Kurosawa berumur 75 tahun. Sebelum Ran selesai, dia juga menghadapi berbagai masalah yang membuatnya berada di jalur yang sama dengan Hidetora... kehancuran emosi. Dia mencoba bunuh diri, nyaris buta, bangkrut, dan ada masalah juga dengan keluarganya. (Bisa dibaca selengkapnya di situs tentang Kurosawa. Where? Googling. It's easier than to remember the exact URL address). Pada intinya, kalau ada yang tahu apa yang dirasakan pak tua Hidetora yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian, mungkin pak tua Kurosawa, sehingga pada akhirnya setiap adegan yang melibatkan Hidetora bisa benar-benar tragis (terutama adegan Hidetora yang menggali kuburnya sendiri di akhir film, atau adegan terakhir. Sakit). So i guess, thank you Kurosawa for make this tragic stroy into a really-really beautiful tragic cinema experience.

Epilog
Adegan favorit gw? buanyak banget. Tapi mungkin yang paling berkesan, yang sepertinya sanggup menghipnotis gw sehingga gw bisa bener-bener lupa waktu, adalah adegan "siege at the third castle". Adegan perangnya bener-bener menghanyutkan. Hanya ditemani suara musik yang melankolis-tragis, tanpa ada suara pedang beradu, panah berdesing, teriakan, atau slow-mo, setiap detik yang berlalu bener-bener merupakan one helluva cinema experience.... seandainya gw nontonnya di bioskop, gw yakin semua penonton (yang mencintai film tentunya) bakal terdiam, dan gw pasti udah berurai air-mata. Tidak pernah gw melihat adegan perang di sebuah film yang dieksekusi seindah itu. Perhatikan kata-kata gw: Tidak pernah. LOTR? Kingdom of Heaven? ah.. they're just the feast for eyes and ears.. not much left for the conscience.