Wednesday, June 08, 2005

"Untitled" or The Shining vs The Shining or How I Percieved American Culture

"The Shining" (1980) adalah film yang gw kasih penghargaan bergengsi sebagai "satu-satunya film horor Hollywood yang benar-benar menakutkan". Perhatikan gw menggunakan kata satu-satunya berarti sampai sekarang tidak ada film yang mendekati ke-horor-an film tersebut. Penghargaan gw kepada Stanley Kubrick.

Film "The Shining" sendiri, seperti laiknya film Kubrick lainnya, diadaptasi dari karya literatur. Dan karya siapa lagi yang diadaptasi selain karya penulis cerita horor paling populer (gw tidak memakai kata 'terbaik') di Amrik, Stephen King. Dan waktu itu, gw secara mudah berpikir bahwa Kubrick bisa dengan baik menterjemahkan horor-isme King ke layar, karena memang materi yang cukup bagus dan kapabilitas Kubrick sebagai sutradara (jarang lho, tulisan Stephen King bisa diadaptasi dengan baik). Tapi ternyata, ketika gw menulis review tentang "The Shining" (sambil mengumpulkan materi), gw baru tahu kalau S.King sendiri tidak menyukai film ini dan kemudian membuat satu judul miniseri yang diberi embel-embel "Stephen King's The Shining" untuk membedakannya dengan film-nya Kubrick. Saat itu gw penasaran, emang seperti apa sih karya aslinya? gw tidak tertarik untuk mencari miniserinya karena review yang jelek dari http://www.houseofhorrors.com/, website yang lumayan ngerti soal film horor.

Akhirnya baru bulan lalu gw berkesemapatan untuk membeli bukunya (along with "Carrie" and "Salem's Lot") dan membacanya (i'm on a mission: melengkapi koleksi Stephen King).

Perbedaan-perbedaan yang gw temui di buku dan film, as apparent as many of adapted movies, ternyata memang lumayan jauh. Tapi di luar kebiasaan, gw tidak merasa perbedaan2 itu menjadikan satu pihak kalah dan pihak yang lain lebih bagus, beda ketika gw mencaci film "Dreamcatcher" yang tidak bisa gw lepas dari entitas bukunya. Di kasus "The Shining", gw menganggap buku dan film sebagai entitas yang beda, lepas satu sama lain. Bahkan, "The Shining" adalah kasus pertama di mana ketika gw membaca bukunya setelah menonton filmnya, gw tidak mencampuradukkan karakter dari film ke dalam buku. Sederhananya, kalau di film, kita bisa lihat Jack Nicholson grinning malicously lewat Jack Torrance, atau Shely Duvall yang ... mmm, 'timid' sebagai Wendy, tapi ketika baca bukunya, imej Jack Nicholson benar-benar ilang, dan gw tidak bisa mengasosiasikan Jack Torrance dengan Jack Nicholson walaupun gw mencoba. Sebagai perbandingan, ketika gw baca The Lord of the Rings, ketika nama Gandalf disebut di buku, gw bisa dengan mudah menempel Ian McKellen di imajinasi gw. Dan itu yang membuat gw menyukai Kubrick lebih lagi, dan terutama membuat gw makin antusias membaca buku2nya Stephen King.

Sampai saat ini, gw berturut-turut baca bukunya Stephen King, mulai dari "The Stand", kisah epik yang coba gw sadur dan gw paksa sebagai inspirasi gw, dan untungnya, untungnya gagal, "Carrie", kisah gadis telekinesis yang membalas dendam (di latar belakang gw mendengar sorak-sorai pembaca yang menginginkan Carrie White untuk membalas dendam! Bunuh! Bunuh!) dan kemudian diadaptasi jadi film yang terkenal karena figur Carrie White di prom-night dengan tubuh berlumuran darah dari ujung rambut sampai ujung kaki, "'Salem's Lot", impersonasi Stephen King terhadap cerita Dracula (Bram Stoker) yang alih-alih bertempat di Transylvania, bertempat di 'Salem's Lot (kota kecil di Amrik), "Rage", kisah menarik tentang seorang anak remaja yang suatu hari, tiba-tiba memutuskan menembak mati dua gurunya dan menyandera empat puluh teman sekelasnya (recommended), "The Shining", dan sekarang "Pet Sematary". Sebelumnya gw udah membaca beberapa buku Stephen King, yang tentu saja kesemuanya bergenre horor. Tapi, yang sebenarnya menarik adalah karena unsur populer-nya. Dengan banyak-banyak membaca buku populer macam gini, gw (dengan berat hati) bisa menyatakan bahwa selain Indonesia, negara lain yang gw paham betul geografis-nya adalah Amerika. Gw sekarang tau letak kota-kota di Amerika, bukan cuma kota-kota besar macam New York, San Fransisco, Washington, atau Miami yang semua orang juga tau, tapi kota-kota level 2 (kota yang ga bisa dibilang kecil tapi masih kalah di departemen keterkenalan seperti kota-kota yg gw sebut sebelumnya) yang sering dijadikan set dari novel-novel populer macam gini. Kaya Maine, Boston, Portland, Seattle, Utah, Colorado, dan seterusnya.

Akhir-akhir ini gw kemudian berpikir, tidak ada negara lain yang geografisnya begitu nyata selain Indonesia dan Amerika. Indonesia? wajar, negara tempat gw lahir dan besar, dan ketika masih sekolah juga sering dicekoki dengan ilmu-ilmu bumi yang menunjukkan nama-nama daerah, tambang, budaya, dan seterusnya dalam sebuah mata pelajaran yang bernama "Geografi". Tapi Amerika? tidak pernah gw kesana, tidak pernah pula gw berkorespondensi dengan orang sana. Hal-hal yg gw tau tentang Amerika datang dari buku, film, dan internet. Dan tampaknya itu cukup. Gw sering menganggap remeh orang-orang yang berusaha mengikuti budaya barat (baca: U.S. of A.) sekena perutnya dan kemudian diekspos melalui acara-acara tv tengah malam berating "D" dan memiliki judul yang terkesan konotatif. Tapi kenyataannya dalam banyak hal, gw juga secara tidak sadar terjajah juga. Paling nggak dari media-media yang gw cerna, gw bisa seperti yg gw sebut tadi, pengetahuan geografi Amerika gw cukup intens, termasuk lokasi-lokasi penting macam Pentagon, Capitol Hill, Sungai Potomac, dan seterusnya yang sering dipakai di Tom Clancy. Apakah gw bisa disebut pengikut budaya barat? nggak tau juga. Yah paling ndak, yg gw baca kebanyakan cerita horor, dramatis, dan ambisius yang agak-agak sulit untuk diwujudkan di dunia nyata, bukan cerita-cerita provokatif yg membuat gw lantas memandang semua hal jadi berbeda dan sekenanya. But who knows what i do next? sekarang paling nggak gw lagi demen horor.

Well, that said, Sekarang gw lagi riset kecil mengenai serial-killer, cuman kok yang ceritanya ekstensif itu yang dari luar negeri (again, U.S. of A.) ya? tidak adakah serial-killer yang punya kadar psikopatisme cukup di negeri ini? padahal kalo kita liat sinetron2 (menurut gw, cara paling mudah menilai budaya suatu negara adalah dari tayangan-tayangan hiburan dari negara ybs, which sadly, put Indonesia's culture down the gutter), banyak banget kandidat-kandidat buat psikopat. Serial-killer, a man smart enough, a man cruel enough, dan cukup punya prinsip untuk menjustifikasi tindakannya.

On Campaign: No TV from 6 pm to 12.30 am. That is, if you still concerned about your family's (especially the young ones) mentality. Get your kids to watch a film, belajar ngaji, atau dongengin.