Tuesday, June 15, 2004

Intermezzo: Of Steven Spielberg and why I didn't like him that much

Steven Spielberg. Siapa sih penikmat film yang tidak pernah mendengar namanya. Banyak yang menyanjungnya dan bahkan mengasosiasikan kata magic dengannya karena film-filmnya yang seringkali menghadirkan keajaiban yang memanjakan mata dan sudah umum jadi jaminan sukses di box-office.

Sebagai sutradara, dia sudah menghadirkan alien yang bersahabat lewat E.T. Kengerian yang ditimbulkan oleh monster laut, hiu di Jaws, atau oleh hewan purba di dua sekuel Jurassic Park. Petualangan arkeolog tampan nan jagoan lewat Indiana Jones (trilogy, so far). Pun tidak ketinggalan film-film berlatar belakang perang dunia I dan II seperti Empire of the Sun, 1941, Saving Private Ryan, dan Schlinder's List. Juga film-film bergenre science-fiction lewat A.I.:Artificial Intelligence dan Minority Report. Atau fantasi yang diwakili oleh petualangan Peter Pan di Hook. Total kira-kira ada 20 film dari Spielberg yang sudah tayang dan dari jumlah tersebut 15 diantaranya sudah saya apresiasi.

Lima belas dari 20. Saya rasa jumlah yang cukup bagi saya untuk bisa menarik kesimpulan dari film-film yang disutradarai (ingat, sutradara bukan sebagai produser) olehnya. Dari 15 film tersebut, hanya tiga film yang bisa saya kedepankan sebagai karyanya yang terbaik. Dan 12 film berikutnya berada di level yang sama ('sampah' atau 'cukup'). Ketiga film terbaik Spielberg menurut saya adalah Close Encounters of the Third Kind (1977), A.I.: Artificial Intelligence (2001) in no particular order dan Jaws (1975).

Close Encounters.. adalah film tentang U.F.O, jauh lebih gelap dan misterius dari E.T yang juauh lebih terkenal. Tapi, bagi saya film ini yang cukup monumental (waktu itu) sebagai film tentang U.F.O yang tidak melulu bernuansa aksi atau terlalu fiksi (i.e U.F.O di Independence Day atau Mars Attack!) tapi sangat-sangat drama.

A.I. juga mirip dengan Close Encounters.. dalam hal drama tentunya. Saya yakin banyak movie-goers yang menganggap A.I. itu membosankan. Tapi saya justru suka banget sama A.I. karena sepi dan luasnya set sehingga menimbulkan kesendirian yang benar-benar kerasa. Di atas setiap film Spielberg lainnya, A.I. saya anggap sebagai film yang memiliki 'jiwa' yang mampu membius dan membawa saya ke alam kreasi-nya Spielberg. Perlu diingat juga bahwa semua ciri-khas Spielberg yang muncul di film-film lainnya sangat minim muncul di sini. Sebagai gantinya sisi yang gelap dan lebih dewasa dari seorang Spielberg.

Jaws lain lagi, sebagai film hiu pertama yang saya tonton ketika masih SD, saya memiliki bayangan yang vivid tentang bagaimana seorang pria dewasa kepotong badannya di pinggang, sementara bagian bawahnya berada di mulut seekor hiu. Apresiasi saya lebih karena memoriabilita (Musangisme, ability to dwell deep into the memory) yang ditimbulkan oleh film ini.

Close Encounters of the Third Kind (1977) Poster Jaws (1975) Poster A.I.: Artificial Intelligence (2001) Poster

Lalu, ada apa dengan film-film selain tiga film di atas yang membuat saya lantas tidak terlalu antusias dengan Steven Spielberg.

Pertama, yang paling kentara dari film-filmnya Spielberg tentu adalah FX. Makin kini, film-filmnya Spielberg hampir selalu memfasilitasi FX yang 'wah' dalam penyajiannya. Jurassic Park, saya ambil sebagai contoh. Saya waktu nonton ini ketika itu masih SMP, dan ketika itu teman-teman saya komentar, "waw, dinonya keren". Oh, saya setuju tentu saja. Visualisasi T-Rex atau Raptor-nya cukup lah, tapi ketika menuju ke cerita. D'oh (Homer style). Apalagi ketika saya sudah membaca karya aslinya "Jurassic Park" oleh Michael Crichton. Karya Spielberg hanyalah untuk konsumsi penggemar film summer yang tidak perlu mikir. "The Lost World"?, sumpah saya ketawa ketawa nonton filmnya. Unsur tegang yang begitu intens di novelnya hilang tak berbekas di film ini.

Kedua, over dramatic, over sentimental. Oke saya ambil contoh Saving Private Ryan. Saya akui adegan pembuka-nya itu luar biasa. Tapi tidak lantas membuat film ini kemudian bagus, plot-nya telalu didramatisir dari mulai awal misi sampai kunjungan Matt Damon tua dan anak cucunya ke makam Tom Hanks.

Ketiga, saya sudah singgung di awal tadi. Adalah dangkalnya cerita yang dibangun oleh Spielberg karena porsi-nya udah diambil oleh visual FX. Ambil contoh Minority Report. Quoting a friend, "Too many misleadings" yang justru membawa kita ke lubang-lubang plot yang tidak logis. Terus terang, saya melihat film ini hanya sambil lewat. It's a mere "eye-candy".

Ironis, mengingat bahwa Close Encounter.. dan A.I. adalah di antara sedikit film-film (hanya empat) yang skenarionya ditulis oleh Spielberg sendiri.

All in all, Spielberg adalah sutradara yang sukses (sangat sukses malah) untuk memanfaatkan visual sebagai entertainment. Dan bagi mereka yang memang senang dimanjakan oleh tampilan yang 'wah' di mata dan rada-rada ogah untuk melihat ke dalam dan lebih dalam, film-film Spielberg tentu sangat amat menarik dan judul artikel yang saya tulis ini akan semerta-merta menerima sanggahan. Well, masing-masing dari kita punya apresiasi sendiri dalam menikmati film. Dan Spielbergian (Musangisme, hal-hal yang berkaitan dengan Spielberg) kebetulan kurang mengena bagi saya.